Jumat, 06 Januari 2012

From Zero to Hero: Suatu Representional of The Mind


Kita selalu mengagumi kisah-kisah mereka yang berjuang dari si pecundang menjadi pahlawan, from zero to hero. Apresiasi kita junjung ke tingkat tertinggi bagi mereka yang mampu menjadi pahlawan. Banyak contoh nyata yang bisa kita sodorkan mengenai mereka yang berjuang dari titik nol hingga menjadi sukses seperti saat ini. Hal demikian juga telah banyak dilirik oleh industri film untuk mengangkatnya ke layar lebar. Tentu dengan pencitraan yang agak berlebihan agar kisah tersebut tidak begitu hambar dikonsumsi publik dan keuntungan tetap dapat diraih. Sederet film dengan tema from zero to hero dapat dengan mudah kita sebutkan. Dalam skala nasional ada film Obama Anak Menteng, yang mengangkat kisah masa kecil Presiden Obama di Jakarta. Dalam skala hollywood ada Longest Yard, Mighty Duck, Miracle, Sister Act 2, Coach Carter, dan sederet film lainnya. Film-film seperti ini beberapa didasarkan pada kisah nyata, beberapa merupakan rekaan saja. Namun alur yang tersaji sepanjang film biasanya serupa; mereka awalnya dikenal sebagai pecundang, bertemu dengan seseorang yang tepat, dan berakhir menjadi pemenang.
Menyaksikan film-film seperti ini beberapa diantara kita mungkin terinspirasi, tetapi jelas semua merasa terhibur. Kita menyukai proses yang mereka jalankan menuju sukses tersebut. Saya akan mengemukakan contoh dari salah satu film hollywood berjudul Coach Carter yang diperankan dengan sangat baik oleh Samuel L. Jackson.

"You save my life, sir. Thank you." (Timo Cruz)
Film ini terinspirasi dari kisah nyata. Bercerita tentang pelatih tim basket SMA Richmond, Ken Carter. SMA Richmond memiliki tim basket yang terkenal tak berkualitas sejak beberapa tahun belakangan. Pelatih Carter diminta untuk menggantikan pelatih basket sebelumnya di Richmond. Pelatih Carter yang merupakan negro yang berpenampilan rapi sempat diejek olek tim asuhannya saat pertama bertemu. Ia tak ambil peduli. Ia menyodorkan sebuah kontrak yang mesti disepakati tiap pemain dan pelatih serta disetujui oleh orang tua ataupun wali mereka. Isi kontrak tersebut menarik. Diantaranya mereka harus mengenakan pakaian rapi dan berdasi, hadir dikelas, dan indeks prestasi belajar mereka minimal 2,3.
Pelatih Carter terkenal tegas dan tak kompromi pada hal-hal diluar kontrak yang disepakati. Namun, berkat usahanya kini tim basket Richmond yang sebelumnya dikenal sebagai pecundang mulai menjejakkan diri menjadi pemenang ditiap pertandingan yang dihadapinya.
Rupanya kemenangan yang selalu diraih tim ini melenakan mereka terhadap kontrak yang mesti dipenuhi. Kemenangan yang telah didapat menjadikan mereka besar kepala. Pelatih Carter menyadari hal demikian dan berupaya mengingatkan timnya untuk tidak cepat puas.
Jika harapan yang digantungkan padanya dahulu saat diminta melatih tim basket Richmond adalah agar memperoleh kemenangan, maka pelatih Carter menetapkan hal jauh diatas itu. Anak-anak asuhannya mesti melanjutkan jenjang ke tingkat perguruan tinggi. Dan basket dapat menjadi salah satu jalur untuk memperoleh beasiswa perguruan tinggi, tentunya juga didukung dengan indeks prestasi belajar mereka yang baik. Sayangnya hampir semua timnya tidak memiliki prestasi baik dalam bidang akademis. Selain itu lingkungan sekitar mereka tidak memiliki visi untuk kehidupan yang lebih baik. Hanya sedikit sekali lulusan Richmond yang melanjutkan studi di universitas, kebanyakan dari mereka justru melanjutkannya ke penjara.
Melihat prestasi akademik timnya yang anjlok, pelatih Carter memutuskan untuk membatalkan tiap pertandingan sebelum mereka mencapai indeks prestasi minimal yang tertera di dalam kontraks. Tindakannya ini mendapat kecaman dari banyak pihak mulai dari sekolah hingga warga sekitar yang mengidolakan tim basket tak terkalahkan ini. Bagaimana dengan tim? Mereka menerima alasan Pelatih Carter yang tidak mau hanya sekedar mendapat kemenangan ditiap pertandingan, tetapi ia ingin timnya punya masa depan selepas lulus dari Richmond. Dengan usaha keras, mereka berjuang sebagai tim mencapai target indeks prestasi minimal dan berhasil. Akhirnya mereka diperbolehkan bermain basket lagi setelah indeks prestasi terpenuhi. Lawan terakhir mereka di film ini adalah SMA St. Francis yang tim basketnya terkenal hebat. Mereka tidak menang melawan St. Francis, tetapi mereka telah menang melawan diri mereka sendiri. Terbukti diantara mereka mendapatkan 5 beasiswa masuk perguruan tinggi, dan 6 orang melanjutkan ke jenjang universitas.

"Winning in here means you have also winning out there” (Coach Carter)
Dalam representational of the mind, kita dapat men"duga" tindakan yang dilakukan seseorang lewat mekanisme yang sama walau mungkin tafsiran satu hal dengan hal lain dapat berbeda. Mekanisme itu bergerak dari sensory input yang merangsang belief dan desire untuk melakukan suatu tindakan tertentu (behaviour). Ya, terkesan behaviouristik jika kita mencoba menjelaskan apa yang dilakukan pelatih Carter terhadap tim asuhannya. Namun, kerangka ini dirasa cukup baik yang dapat digunakan sebagai analisis memahami film tersebut dari sudut pandang kesadaran.
Jika sensory input ini digantikan oleh masuknya Ken Carter sebagai pelatih baru tim basket Richmond dan dia memiliki keyakinan (belief) bahwa tim ini dapat bangkit tidak hanya sebagai pemenang pertandingan, melainkan juga sebagai pemenang dari diri mereka sendiri, ia pun berhasrat (desire) untuk membuktikan hal tersebut lewat tindakan-tindakan yang bahkan kita tidak pikirkan seperti membatalkan pertandingan sebelum indeks prestasi belajar timnya membaik. Namun hal ini tidak dapat sekedar dimaknai sebagai suatu stimulus yang diberikan Carter kemudin direspon oleh timnya. Sepanjang film kita akan menyaksikan bahwa stimulus yang coba diberikan Carter terhadap timnya sering kali tidak berjalan baik. Timo Cruz, salah seorang anggota tim bahkan berkali-kali keluar-masuk tim karena tidak menyetujui arahan pelatihnya.
Stimulus yang diberikan Carter adalah visi, harapan, dan komitmen kepada tim asuhannya untuk berbuat lebih bagi hidup mereka tidak sekedar memperoleh kemenangan ditiap pertandingan, tetapi juga diluar pertandingan basket. Carter mencoba merubah persepsi tim asuhannya. Ia mengajak mereka untuk merefleksikan hidup masing-masing, mengajak mereka untuk bekerja lebih giat keluar dari kemelut lingkungan sekitar yang tak memiliki masa depan lebih baik. Visinya jelas, we winning in here and also winning out there.
Mekanisme the representational of the mind dalam pembacaan terhadap film ini memiliki kekurangannya, yakni kita tidak dapat memprediksi tindakan apa saja yang akan dilakukan Carter untuk tim asuhannya agar menjadi pemenang tidak hanya dalam pertandingan basket tetapi juga pemenang dari tiap pertandingan hidup mereka. Kelemahan mekanisme ini adalah mengabaikan aspek keunikan manusia bahwa ia makhluk yang berpikir dan memutuskan apapun tidak hanya karena stimulus yang diberikan tetapi juga pilihan yang direfleksikan. Kita tidak menyangka Carter akan sebegitu nekatnya untuk membatalkan tiap pertandingan sebelum indeks prestasi akademik timnya mencapai standar padahal mereka sedang berada diatas angin sebagai tim yang tak terkalahkan.
Tiap pilihan punya rasionalitasnya masing-masing dan tidak dapat sekedar menjadi alasan dari kondisi yang mungkin sama dialami. Pilihan yang diambil Carter buktinya tidak populis bahkan ditentang seluruh warga. Namun ia punya alasan yang belum tentu pelatih lain akan melakukan hal yang sama jika berada diposisi Carter. Setiap pilihan juga punya konsekuensi yang mesti ditanggung dan Carter menyadari itu semua.

"They failed at the last, but thet get more than winning"
Hidup merupakan misteri yang tak kunjung dapat kita kuak tiap lapisannya. Pada awalnya tim basket Richmond yang dikenal pecundang dapat berubah menjadi tim yang tak terkalahkan. Terbukti tidak pernah kalah dalam tiap pertandingan. Namun, di akhir film saat mereka mesti berhadapan dengan St. Francis mereka mesti menelan kekalahan. Penonton kecewa luar biasa. Tak adil rasanya perjuangan yang telah dilalui tim ini hingga pertandingan terakhir. Namun itulah hidup. Kita hanya dapat berharap bahwa tim ini akan terus menang, tetapi kenyataan berkata lain.
Gagalkah pelatih Carter jika kita hanya bersandar pada pandangan behavioristik stimulus-respon? Mungkin ya, tetapi tim ini mendapatkan apa yang jauh lebih berharga ketimbang kemenangan dilapangan, yaitu kemenangan melawan diri mereka sendiri. Stimulus yang diberikan Carter tidak hanya sekedar porsi latihan yang ditambah, melainkan ia memberikan visi, memberikan harapan mengenai kehidupan yang dapat dijejaki lebih baik oleh tim ketimbang target kemenangan dilapangan yang telah mereka peroleh. Hal itu lah yang menjadikan film ini berbeda. Perubahan yang dialami oleh tim basket Richmond dimulai dari kesadaran yang terus coba ditanamkan Carter untuk dapat menjadi yang terbaik diluar yang mereka duga. Dia memberikan timnya lebih dari sekedar kemenangan, dia memberikan hidup.