senjakalakata
kata, senjakala, senja
Jumat, 19 Desember 2014
Kamala, Sembuhlah!
Selasa, 02 Desember 2014
Cahaya Mata
Jumat, 14 November 2014
Peran Ulama Santri dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Buku : Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949
Penulis : Zainul Milal Bizawie
Penerbit : Pustaka Compass, Tangerang, xxxii + 420 hal
Versi lain sebuah rekonstruksi sejarah menegakkan kemerdekaan di bumi Indonesia. Buku pertama dari trilogi sejarah Mata Rantai Ulama-Santri dalam kiprahnya melawan penjajah. Ditulis oleh Zainul Milal Bizawie yang tumbuh kembang dalam tradisi NU. Sebuah sejarah yang tak lekang kepentingan.
Buku-buku sejarah yang kadung terbit mengenai Indonesia hampir tak pernah membahas secara komprehensif peran ulama-santri. Yang banyak dijumpai biasanya soal peran raja atau tokoh penting dalam suatu kerajaan pun organisasi. Sementara peran tokoh agama, hampir pasti tak disinggung di dalamnya.
Padahal, dalam buku-buku seperti Babad Tanah Jawi hingga telaah antropologis Clifford Geertz, secara implisit pun eksplisit memaparkan kehidupan masyarakat Jawa khususnya yang tak lekang pengaruh tokoh agama. Dalam perang melawan VOC di tanah Jawa yang diinisiasi oleh dua kerajaan besar Islam – Mataram dan Banten – dibaliknya ada jejak ulama yang memberikan pendapat kepada raja pun turun langsung ke medan laga.
Bahkan, paska perang Pangeran Diponegoro, perlawan terhadap penjajah bergeser ke pesantren hingga membangun jaringan ulama-santri dan antar pesantren. Setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro adalah para ulama-santri yang meneruskan perjuangannya. Sebut saja Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta'ad Cirebon, Kyai Hasan Besyari Tegalsari Ponorogo dan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan serta lainnya. Mereka ini menjadi simpul-simpul yang membentuk jejaring ulama di Nusantara hingga menjadi benteng utama perjuangan menegakkan Indonesia. Nahdatul Ulama (NU) menjadi jam'iyah terbesar di Nusantara.
Tak pelak saat dicetuskan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, jejaring ulama santri ini massif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya pengobar semangar ulama-santri, Resolusi Jihad juga menyasar pemerintah agar tegas dalam menentukan sikap mempertahankan kedaulatan NKRI.
Batas akhir Resolusi Jihad yang diserukan adalah ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui Belanda. Peristiwa ini terjadi pada 19 Desember 1949 saat berlangsung Konferensi Meja Bundar. Sebab tujuan resolusi jihad tersebut adalah diakuinya kedaulatan dan teguhnya RI.
Buku setebal 240 hal ini boleh disebut sebagai upaya Milal yang besar dalam tradisi NU untuk menghadirkan yang tercecer dalam kisah sejarah perjuangan Indonesia. Jika selama ini tak ada penulis sejarah yang mengulas mengenai peran ulama-santri dalam kemerdekaan Indonesia, boleh jadi karena peran mereka tak dominan atau bahkan diingkari. Karena sejarah adalah soal siapa yang menyusun dibelakangnya dan demi kepentingan apa.
Kiranya Milal menyadari betul bahwa sejarah bukanlah gelar kisah masa lalu yang bisa objektif an sichdengan meghadirkan semua pelaku. Sejarah adalah soal perspektif dengan menyodorkan meotodologi seketat mungkin untuk menghadirkan kebenaran. Tetapi mengenai kebenaran itu sendiri, Nietzsche punya pandangannya, truth is for down the list of the things that are important to man and society.
Rabu, 12 November 2014
Doa
Rendaplah laraku,
Hapuskan senja yang tak lagi menguning
Biar mega berganti pelangi setelah hujan turun
Deraskan lapangku,
Agar pedih kunjungi semenanjung
Damai merasuk kalbu
Laraskan jiwaku,
Simfoni sumbang mengalun jadi indah
Digdaya tak menjelma jumawa
Terangkan pikirku,
Biar fitrah hampiri sesat tak terurai
Bebungaan kuarkan harum taman surga
Duhai Semesta pemiliki hidup matiku
Sungguh sempurna tak pernah merupa
Aku hilang akal dan rasa
Buta tuli juga
-13112014-
Selasa, 11 November 2014
Demokrasi Disensus; Politik Dalam Disensus
DEMOKRASI DISENSUS; POLITIK DALAM PARADOKS
Penulis: Budiarto Danujaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, xxxv + 430 hal, Jakarta, 2012
Daya tarik demokrasi bagi negara-negara di dunia rupanya masih sangat kuat. Berbagai gelombang yang menuntut demokratisasi yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi penandanya. Rezim totaliter yang sebelumnya diusung oleh negara-negara tersebut akhirnya mesti runtuh juga ditangan rakyat yang menginginkan kebebasan dan independensi bagi hak-hak mereka. Demokrasi adalah jawabannya.
Meskipun sampai saat ini demokrasi hanya baru bergerak dalam batasan formal-prosedural, menjadi semacam jargon keberadaan sistem dan perilaku politik-sebagai prasyarat untuk meraih legitimasi dalam pergaulan politik global, tetapi tak menyurutkan kepercayaan banyak orang untuk terus berharap hak-hak mereka dijaga dan dihargai dalam demokrasi. Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi bahwa didalamnya ada jalan menuju kesejahteraan berupa penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda dan saling menghargai menjadi semacam utopia tersendiri. Nyatanya demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan akbar saat masa modern di Eropa belum bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda. Silang sengkarut pendapat antar individu bahkan kelompok seringkali berujung pada pengeliminasian kelompok yang dianggap minoritas. Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa dan kuasa lebih besar, menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni.
Lewat persoalan inilah, Budiarto Danujaya, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia menuliskan keluh kesahnya perihal demokrasi dalam buku berjudul Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks. Demokrasi yang umum dipahami sejak dari masa modern hingga sekarang adalah demokrasi yang memenangkan mayoritas. Mayoritas dalam kerangka filsafat politik adalah rakyat. Sehingga demokrasi adalah gagasan mengenai kuasa dari rakyat. Kuasa rakyat ini terepresentasikan dengan wakil-wakil rakyat yang dipercaya membawa suara rakyat dalam tata kelola suatu negara. Pengambilan keputusan dalam suatu perkara yang menyangkut rakyat diambil lewat jalan kesepakatan atau konsensus.
Inilah yang mewarnai tampilan pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan negara bangsa. Demokrasi dijalankan selama ini dengan membawa muatan konsensus. Konsensus terbentuk atas cita rasa bersama (sensus communis) yang berlandaskan rasionalitas individualisme normatif. Artinya kesepakatan dicapai dengan tujuan terhadap yang ideal dalam kondisi satu dengan yang lain setara. Padahal dalam pengambilan keputusan apapun tidak ada kondisi setara antara satu pihak dengan pihak lain. Selalu ada beban kepentingan dan konflik yang beradu disitu. Selalu ada pihak yang tidak terangkul dalam upaya mencapai kesepakatan dalam demokrasi konsensus.
Jika demokrasi yang mengutamakan konsensus dalam laku pengambilan keputusan dipercaya mampu membawa kebaikan bagi rakyat banyak dengan mengeliminasi pihak yang tercecer dalam upaya mencapai kesepakatan, maka demokrasi dianggap gagal. Kegagalan demokrasi konsensus ini terlihat dari ide awal yang ingin menjamin hak-hak setiap individu. Tidak terangkulnya pihak yang tercecer dalam konsolidasi kesepakatan dalam mekanisme konsensus adalah bukti tak terbantahkan gagalnya demokrasi sebagai tata pemerintahan. Berbagai kasus kekerasan agama dan sosial lain di Indonesia menjadi cerminan tidak terangkul dan terabaikannya hak-hak setiap warga negara untuk memperoleh kebebasan atas apa yang diyakininya.
Bertitik tolak dari persoalan inilah, Budiarto Danujaya mencoba menawarkan pembacaan demokrasi lewat cara yang berbeda. Ia menawarkan melihat demokrasi dengan mengedepankan disensus. Ketakpercayaan bahwa sistem politik apapun mampu menggalang konsensus dengan asas semua senang, semua terima keputusan menjadi landasan dalam memahami demokrasi sebagai disensus. Asumsi antropologis yang dijabarkan Budiarto adalah ketidakmungkinan konsensus untuk tak mereduksi otonomi dalam korelasi. Karena korelasi antarmanusia pada dasarnya merupakan koeksistensi antarunikum. Upaya menuju konsensus dengan sendirinya tidak akan pernah selesai karena selalu ada yang tertinggal dalam pencapaian pada satu kesepakatan.
Pengambilan keputusan dalam kerangka demokrasi disensus bukanlah pencapaian terhadap kesepakatan final, melainkan diartikan sebagai keikutsertaan pada proses politik sebagai terminal sementara dalam dinamikan antagonisme berkelanjutan dalam medan politik. Sementara itu antagonisme merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman yang sudah menjadi sifat dasar relasi sosial. Sehingga tak mungkin merangkum segala perbedaan dalam demokrasi ke dalam konsensus. Demokrasi sebagai wadah memiliki kapasitas menggalang harmoni dari faktisitas sosiopolitik yang beragam dan berbeda.
“Manusia diera ini ditakdirkan bukan untuk mengatasi melainkan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan keragaman; jadi, menerima situasi polisemi serta ambivalensi yang diakibatkan apa adanya, termasuk dalam ranah etik maupun politik,” tulis Budiarto di dalam bukunya (hal. xxx). Jelas sudah bahwa dalam telaahnya, Budiarto Danujaya ingin menegaskan kembali arti demokrasi sebagai penghargaan terhadap hak-hak individu masyarakat. Demokrasi Disensus yang ditulisnya mencoba menawarkan kembali demokrasi sebagai etikopolitik, suatu sikap hidup bersama dengan mereka yang berbeda.
Biografi Karni Ilyas; Lahir Untuk Berita
40 Tahun Jadi Wartawan, Karni Ilyas; Lahir Untuk Berita
Penulis: Fenty Effendy
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, xix + 396 hal, Jakarta, 2012
40 tahun, rentang waktu yang cukup panjang untuk menuai hasil dari apa yang pernah diimpikan seorang Karni Ilyas. Mencoba untuk konsisten dengan apa yang pernah dicita-citakan sewaktu kecil menjadi pertaruhan tersendiri. Sisanya ditunjukkan lewat totalitas yang dituntun elan vital – daya juang. Dan semua menghasilkan cerita yang lebih dari sebuah kesuksesan; sebuah perjuangan...
***
Rabu, 17 Oktober 2012 silam, ballroom Djakarta Theater disambangi sejumlah orang terkenal. Tampak beberapa yang hadir pada malam itu ialah Wiranto, Rahman Tolleng, Jusuf Kalla, Jimly Assidiqie, Abu Rizal Bakrie, dan sejumlah nama lain yang tak kalah beken. Hari itu memang dipersiapkan sebagai acara luncur buku biografi Karni Ilyas, 40 Tahun Jadi Wartawan; Lahir Untuk Berita.
Pada acara yang juga disiarkan secara langsung oleh tvone, terurai segelintir kisah mengenai jejak hidup pria kelahiran Johong Pahambatan, Balingka 25 September 2012. Anak pertama pasangan Ilyas Sultan Nagari dan Syamsinar ini rupanya sejak muda sudah ingin menjadi seorang wartawan. Saat itu ia tengah berjalan-jalan dengan sepupunya disepanjang tepi Laut Padang naik Bendi, menceritakan kepada sepupunya ingin menjadi wartawan. Alasannya sederhana, kepingin terkenal!
Namun, nyatanya terkenal hanyalah sebuah jawaban tanpa pikir yang dilontarkan Karni kepada sepupunya. Liku untuk tetap konsisten dijalur kewartawanan menunjukkan bukan menjadi terkenal yang ditujunya. Terbukti dirinya bahkan sempat menolak jabatan sebagai Jaksa Agung saat Megawati Soekarnoputri menjabat presiden hingga ditawari menjadi direktur perusahaan petrokimia, Karni tak bersemangat. Memang bukan disana passion-nya.
Saya teringat salah satu novel berjudul The Alkemist karya Paulo Coelho, si pengarang yang lagi digandrungi dunia sastra saat ini. Novel tersebut menceritakan mengenai perjalanan Santiago, seorang pengembala muda yang melepas semua domba-dombanya untuk mengejar mimpi sampai ke Piramida yang ada di Mesir. Coelho menggunakan metafora Legenda Pribadi untuk menyebut setiap impian yang datangnya dari hati nurani, Jiwa Dunia. Saya melihat Santiago pada sosok Karni Ilyas yang kini berusia 60 tahun.
Perjalanan menjadi seorang wartawan bukan sebuah tur menyenangkan yang selalu dialami Karni. Mumulai profesi wartawan di Suara Karya, dirinya hanya bermodalkan ijazah SMA. Sempat diragukan kemampuannya oleh Rahman Tolleng, pimpinan redaksi Suara Karya saat itu, Karni tidak menyerah. Ia tetap ngeyel meyakinkan Rahman Tolleng untuk menjajal dirinya dalam menghimpun dan menulis berita, terutama berita hukum dan kriminal.
Sifat keras dan kerja kerasnya dalam memburu berita sampai ke sumber langsung inilah yang membawa dirinya dilirik TEMPO. Tak seperti gaya wartawan lain yang asik nongkrongin dan menunggu narasumber, Karni justru memilih melakukan lobi-lobi sendiri kepada setiap narasumber utama yang mesti ia kejar. Berita tanpa konfirmasi langsung dari yang berperkara tidak memuaskan dahaga beritanya. Lima tahun setelahnya Karni ditunjuk sebagai redaktur yang mengampu rubrik hukum dan kriminalitas.
Sekitar tahun 1992 saat TEMPO mengambil alih majalah dwimingguan, FORUM Keadilan yang hampir mati suri, Karni ditunjuk oleh Eric Samola, bos besar PT Grafiti Press untuk mengurusnya. Format majalah yang ingin mengetengahkan persepsi hukum dan demokrasi secara lebih luas dan umum menjadi ideologi yang coba ditanamkan Karni bagi FORUM keadilan. Belum punya nama taktis membuat majalah ini tidak dikenal umum. Namun, siapa sangka berkat tangan dinginnya, Karni mampu membuat FORUM menjadi majalah yang paling banyak dibaca masyarakat pada kurun waktu 1992-1999.
Sempat mewawancarai Kartika Thahir, janda wakil bos Petamina atas rekening US$ 78 juta yang diduga merupakan uang suap membuat hatrick tersendiri dalam sejarah karier jurnalistik Karni. Bagaimana tidak, dirinyalah satu-satunya wartawan yang mampu melakukan wawancara dengan Kartika saat siapapun tidak mampu menembus kesempatan melakukan wawancara . Selain itu, Kartika yang sengaja menghilangkan dirinya selama 12 tahun membuat cerita kesuksesan Karni menjadi sempurna.
Meski gigih dan gencar dalam memburu berita – dan hampir-hampir memiliki insting menangkap berita yang akan laku dipasaran – tidak seiring langkah Karni mulus begitu saja. Forum ditangan dinginnya tidak hanya sekedar “laku”, melainkan juga kritis dalam menyajikan berita yang akan disantap masyarakat. Tak pelak , majalah yang oplahnya tiap kali terbit mencapai 150 ribu eksemplar turut jadi bidikan orde baru untuk dibungkam. Namun - lagi-lagi, kemampuan lobinya dengan para petinggi militer membuat FORUM bisa terus bernapas .
Saat itu diketahui Karni dengan cerdik menghubungi beberapa petinggi militer seperti Prabowo, Hendropiyono, dan Hartono. “Saya meminta mereka semua menelepon ke Harmoko bahwa yang punya majalah itu mereka,”demikian yang ditulis Fenty Effendy dalam biografi Karni Ilyas (hal.222). Beberapa Jenderal ini menelepon Harmoko yang kemudian menjadi bingung. Karni mengetahui Harmoko tidak akrab dengan militer dan menggunakan kesempatan itu untuk menyelamatkan FORUM Keadilan.
Dalam buku setebal 396 halaman ini juga memuat berbagai testimoni dari berbagai kalangan yang turut menggambarkan perangai Karni yang tegas dan keras. Beberapa mantan wartawan yang pernah bersama Karni menuturkan, sosok pria kecil dan berkulit gelap ini tidak terima kegagalan. Kalimat andalannya saat memarahi wartawan asuhannya adalah Jangan Menunggu Tahi Hanyut.
Selain sukses membesarkan FORUM Keadilan, Karni juga sebagai salah satu orang yang mendirikan Jakarta Lawyers Club (JLC) ditahun 1992. JLC merupakan wadah diskusi para praktisi hukum yang kemudian meluas patisipannya. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam JLC multidisiplin namun dibedah lewat perspektif asas penegakan hukum.
Dipecat sebagai pemimpin redaksi FORUM Keadilan karena intimidasi pemilik modal tak lantas mematikan kecintaan Karni untuk terus bergelut di dunia jurnalistik. Dirinya diminta Henry Pribadi, pemilik SCTV untuk membidani kesuksesan divisi pemberitaan liputan 6. Lagi-lagi berkat tangan dinginnya, Liputan 6 yang mati segan mati tak mau itu lambat laun menjajaki diri sebagai program berita yang banyak ditonton oleh masyarakat. Prinsipnya yang ingin mendapatkan berita teranyar lewat sumber utama membuat pamor SCTV melonjak. Salah satu pemberitaan sukses Liputan 6 saat dibawah Karni adalah soal bom bali dan teroris, Amrozi cs.
Karni Ilyas merupakan sosok manusia biasa yang tampil luar biasa dengan segala kegigihan dan kerja keras. Totalitasnya dalam menghimpun berita menunjukkan dirinya memang lahir untuk berita. Sosoknya mengingatkan siapa pun bahwa menjadi wartawan adalah pilihan hidup, bukan pilihan pekerjaan. Dia wartawan yang jarang kita jumpai saat ini...
Semangat Membatu Film Rata-rata
Garuda 19; Semangat Membatu
Sutradara : Andibachtiar Yusuf
Pemain : Mathias Muchus, Ibnu Jamil, Rendy Ahmad, Sumarlin Beta
Produksi : Mizan Productions 2014
Indra Sjafri kemimpi suatu saat sepakbola Indonesia berlaga di Piala Dunia. Langkah pertama telah dijejak. Timnas U-19 berhasil menjuarai piala AFF U-19 pada 2013. Kisah ini kemudian diangkat ke layar lebar. Ide memberi semangat, eksekusi film biasa saja.
***
Sepanjang 2013 lalu, kita ingat, salah satu hal membanggakan diraih Indonesia adalah berhasil peroleh juara dalam AFF U-19 setelah mengalahkan Vietnam. Di tengah pusaran dualisme berebut kuasa di PSSI, anak-anak didik Indra Sjafri mampu menorehkan prestasi. Apalagi selama ini dunia sepakbola Indonesia sepi prestasi, gaduh masalah.
Kegemilangan Garuda Jaya yang jarang terjadi menyelipkan kisah Indra Sjafri dan tim pelatihnya mencari bibit-bibit terbaik hingga jauh ke pelosok negeri. Semua dengan biaya dan usaha sendiri. Sementara pusat tak mau peduli. Kisah inilah yang menarik hati Andibachtiar Yusuf, sang sutradara untuk mengangkat kisahnya ke muka khalayak dalam medium film. Garuda 19 sendiri diadaptasi dari buku “Semangat Membatu” karya FX Rudy Gunawan dan Guntur Cahyo Utomo.
Cerita dibuka dengan momen adu finalti laga final Indonesia vs Vietnam pada piala AFF U-19 di Sidoarjo. Garuda Jaya berhasil lolos final setelah berjibaku mengalahkan Korea Selatan yang dikenal jawara sepakbola asia. Kisah pun berlanjut alur mundur saat Indra Sjafri (Mathias Muchus) beserta tim pelatihnya; coach Guntur (Ibnu Jamil), coach Djarot (Puadi Redi), coach Nur Saelan (Reza Aditya), dan Adit (Verdi Solaiman) mencari bibit pemain dari Ngawi, Jawa Timur hingga Alor, NTT.
Perjalanan Sjafri dan tim demi mengumpulkan pemain terbaik negeri ditengah kondisi federasi yang kacau kiranya menjadi ide besar film ini dibuat. “Semangat membatu” tak cuma soal kepercayaan Sjafri di Indonesia pasti menyimpan mutiara di pelosok-pelosok nun jauh sana, tapi juga soal ke”batu'an Sjafri ingin membawa Indonesia menuju piala dunia.
Sayangnya, semangat membatu yang menjadi kuncian film ini tak begitu terasa. Cenderung hambar dan biasa saja. Peran keempat pelatih pendamping Sjafri terasa mengganggu. Tek tok dialog yang dilontarkan keempatnya tak asyik ditelinga. Mereka lebih tampak seolah Punakawan dalam cerita Wayang.
“Piala Dunia” yang sering dilontarkan Sjafri untuk membakar semangat tim mudanya juga tak menghasilkan daya greget. Belum lagi selipan cinta remaja yang dilakoni Yabes (pemuda asal Alor, NTT) dan Yazid (pemuda asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara) dengan pujaan hati masing-masing. Bagian mengenai romantika remaja mereka pun tak tergali dalam dan nanggung.
Tapi akting menawan ditampilkan oleh Rendy Ahmad, pemeran Sahrul si beck asal Ngawi, Jawa Timur. Pemuda asal Belitung ini memukau saat berakting di film Sang Pemimpi sebagai Arai. Jika pada film sebelumnya ia sukses menampilkan Arai dengan logat dan tabiat Belitung, kini Rendy menampilkan Sahrul dengan logat Jawa kental. Peralihan logat tersebut sukses dibawakan Rendy dalam film tersebut. Tampak alamiah ditengah bangunan film yang biasa saja.
Keseluruhan film berdurasi dua jam ini biasa saja. Meski ide dan semangat yang ingin ditampilkan bagus, tapi tak tampak dalam sajian film. Semua serba nanggung.
Seorang kawan pernah berujar, Film Indonesia jarang yang memiliki formula untuk menjadi sukses. Apa yang menjadi formula itu? Katanya, tidak ada formulanya. Sebuah film hanya perlu jujur dan apa adanya. Salah satunya bisa tergambar dari seberapa kuat skenario yang disajikan.