Jumat, 19 Desember 2014

Kamala, Sembuhlah!



"Kamala, kamala, kamala..."

Suara itu bergema. Seolah datang dari ketidaksadaran yang berada entah dimana. Lirih dan berulang, tapi juga agak mendesak. Sepanjang langkahku malam itu, suara itu menerus mengikuti, tak mau pergi juga.

"Kamala, kamala, kamala, sembuhlah..."

Hatiku kelu. Sakitnya sekujur tubuh. Ngilu bagai teriris sembilu. Semua karenamu yang berhati batu. Kau tak paham juga pengarai diri sendiri yang telah kukatakan dengan seluruh bahasa yang kuketahui. Kau asyik sendiri mengulum mimpi. Mengabaikan aku yang katanya kau cintai. 

Kau biarkan aku sepi dan teronggok sendiri. Kutelantarkan mimpi sendiri demi khayali mimpi-mimpi kita yang telah dirajut bersama. Tapi kau lupa berusaha untuk kita. Aku mengayuh sendiri, kau seruput bahagia dari sana. Aku mengombak sendiri, kau tak mau dengar keluhku.

"Sembuhlah, Kemala. Kemala, sembuhlah..."

Begitu dalam kuberikan mimpiku padamu. Kau acak sendiri dan gunakan semaumu. Kusandarkan diriku agar tak lagi berlayar, aku ingin melabuh padamu saja. Kau biarkan aku usaha sendiri. Kau nikmat sendiri. Kuberikan kau bahagia, kau berikan aku nestapa. 

Kutinggalkan engkau, kau tunjuk aku bersalah. Aku bersamanya, kau sebut aku sundal. Aku lepaskan ia, kau biarkan aku kembali sendirian. 

"Kemala, kemala, kemala, sembuhlah... Sembuhlah, Sayang."

Suara itu menggema entah dari mana. Aku susuri taman penuh bebungaan. Angin menyapa diam-diam. Semilir harum menjenguk indra penciumanku. Meski malam telah turun, hatiku masih berdarah-darah. Aku hilang gairah. Kau adalah bangsat yang tak mau mengerti bahasa jiwa.

"Kemala, kemala, kemala, sembuhlah. Sembuhlah, Sayang. Sembuhlah, Sayang. Kemala, Sayang."

Bulir itu keluar juga. Air mataku menitik. Sakitku kau tak peduli. Bagaimana mungkin aku mencintai batu yang tak berusaha memperlakukanku sama seperti aku memperlakukannya? Bagaimana mungkin aku masih terus berharap kau berubah dan mau berusaha untukku? Bagaimana mungkin kubiarkan diriku kalah dengan semua harapan palsu itu. Kau tak jua mau tahu. Kau adalah doa yang kuharap Tuhan tak kabulkan lagi harapan palsuku.

Demi Tuhan, Kau berjiwa batu. Aku ngilu hingga ke ulu. Kau tetap jadi batu. Hatimu sedemikian busuk untuk dapat kuobati lagi dengan keikhlasanku. Kau menyia-nyiakannya. Aku sakit hati.

"Kemala, kemala, kemala, Sayangku. Sayangku, sembuhlah..."

Malam semakin larut. Langkahku boyah. Hatiku kelu dan dingin. Tak lagi kudengar suara selain suara itu. Suara yang entah dari mana, suara yang memintaku sembuh. Lamat-lamat suara itu makin berisik. Ia teguh memintaku agar lekas sembuh. Sakit apa aku? Mengapa harus sembuh? Sakit apa aku? Mengapa kau begitu berisik?

"Kemala..."

Aku memejam entah dimana. Kesadaranku memudar. Kau mengabur, abu...

***

"Kamala atau Kemala atau Lotus atau Teratai adalah bunga yang cantik. Ia hidup sendiri di tengah koloni air tawar yang tak sejenis dengannya. Ia mampu beradaptasi dengan itu semua dan tampil cantik lagi anggun. Kau tahu, ada satu Kamala yang begitu aku suka."

"Apa itu?" Tanyaku.

"Kamala berwarna ungu. Ia jarang tumbuh. Kamala lain jamak berwarna merah muda. Yang ungu ini hidup sendiri. Selalu tumbuh satu saja."

Aku tersenyum.

"Tapi diantara semuanya aku akhirnya menemukan Kamala ungu yang jarang itu."

Kupandangi kau, bingung akan maksudmu. 

"Aku temukan kau, Kemala. Akhirnya aku temukan Kamala-ku. Sembuhlah, Sayang. Sembuhlah, Kamala."

Kau yang muncul tak dinyana jiwa. Sakitku kau yang sembuhkan, bukan dia. Kau yang berhati lapang, terjang semua sekat demi bebaskanku tumbuh seumpama kamala ungu. Katamu, jika hayat sesuatu yang renta, mengepaklah...


Selasa, 02 Desember 2014

Cahaya Mata


Bahagia itu terlihat di mata. Bagaimanapun mata jendela dunia. Ia adalah letupan kembang api perasaanmu. Gundah, letih, sedih, gembira, marah, hingga bahagia tergambar disana. Juga cinta...

Matamu serupa parade yang menggambarkan suasana hati. Bola mata hitam pada mata elang itu terlihat cemerlang saat kau bahagia. Seolah akan keluar tetesan air mata dari sana. Seumpama sungai, jernih airnya hendak meluap tapi tak sampai. Hidungmu kembang kempis menahan curahan rasa bahagia yang tergambar dari kedua matamu yang biasa saja. Tetapi dengan mantra ajaib cinta, hatimu yang keras serupa batu melunak. Hatimu panas dan penuh jadi satu. Meluapkan rona yang naik ke kerongkongan, buat tercekat dan hendak mengeluarkan air mata; haru. Kau hanya bisa membayang dalam kata-kata yang tak terucap perihal apa yang disebut bahagia.

Aku tahu kau tak pernah merasa demikian, bukan? Mungkin pernah. Beberapa kali yang tak lagi kau ingat kapan waktunya. Tapi perasaan yang begini memabukkan, kau baru rasakan dengan khidmat, kan? 

Hanya kedua matamu yang menggantikan peran kata yang tak pernah sanggup keluar dari bibirmu. Matamu penuh percikan api. Ia menyiarkan festival dimana bahagia jadi sajian utamanya. 

Matamu tak pernah salah. Ia selalu jujur. Meski kau berikhtiar sekuat tenaga menyembunyikannya lewat senyum. Tapi aku selalu tahu, senyummu palsu. Tak seperti matamu yang berkata-kata jernih meski tanpa suara. 

Kau menyimpan lara dan duka untuk sendiri. Ibarat si putri malu, kau mengatup saat kusentuh dengan hal selain cinta. Kau mengeras dan bersikeras menutup meski kuminta kau kembali membuka daunmu. Sementara jika kusentuh kau dengan cinta, kau akan terus berkembang, mengajakku bermain buka-tutup hati dan kau senang bukan kepalang. 

"Bahagia itu bisa tersenyum," kataku suatu kali padamu saat kita berbincang tentang banyak hal. Tentang semesta yang tengah kita bangun dari kepingan realitas yang berserak acak. Seringkali kepingannya tak pas dengan apa yang kita harapkan. 

Kau diam, setuju padaku. Sebab kau mengalaminya langsung, bahagia itu. Lewat senyum kau bisa merasakannya. Kau mencumbui bahagia rasa sempurna dengan bumbu sederhana. Kau menatapku dan binar matamu kembali meletup-letup dalam kuluman senyum. 

Mata juga dapat memancarkan senyum. Pertanda ia mengamini semesta bahagia. Sebuah mantra ajaib yang kutiupkan pada kita berdua hingga senyum ini tak juga mau usai. 

"Aku tak dapat berhenti tersenyum. Bagaimana ini?" Tanyamu suatu kali saat kita tengah menggelar mimpi di depan sana pada suatu malam.

Aku tak menjawabmu. Kubiarkan diriku turut larut dalam senyum sempurnaku. Kau mabuk, aku pun mabuk. Kita sama-sama tak ingin mengakhirinya. Pun tak tahu bagaimana cara menghentikan kucuran rasa bahagia ini. Satu hal yang kutahu, semua senyum dan parade kembang api dimata kita adalah perasaan paling jujur dari apa yang kita rasakan saat ini; Cinta.

Dalam gempita rasa bahagia yang begitu sederhana kuperkenalkan kau apa arti rumah. Kita membikin rumah bagi satu sama lain. Fondasi bahagia jadi jaminannya selain perasaan cinta yang tak pernah habis. Kita mesti membikin rumah, sebab aku tahu jauh dalam dirimu kau lelah berkelana dari perasaan sepimu. Sebab sepi dan sendiri hampir melekat denganmu yang bermata elang. Meski seringkali merasa damai dalam sendirimu, kau kadang merindukan rumah. Aku ingin menjadi rumah itu.

Kuingat, aku punya persyaratan mutlak yang mesti kau penuhi jika kau ingin terus mencicipi bahagia dimana matamu seumpama ribuan kembang api yang mengangsa saat malam tahun baru dan tak usainya bibirmu menyunggingkan senyum terus berlangsung. Kau hanya perlu buatku tenang, buatku nyaman, dan buatku percaya. Agar aku dapat merebahkan diriku dan kuberikan bahagia itu hanya untukmu. 

Suatu kali kupeluk kau erat, bersandar mesra di dada bidangmu. "Tolong jaga hatiku," pesanku padamu suatu malam lewat. 

Kau balas memelukku erat, mengecup pucuk kepalaku. Aku merasa haru sekaligus tenang. Aku bertaruh kau akan menjagaku apapun yang terjadi. Karena bahagiamu ada padaku. Akulah peniup serbuk sari bahagia itu.

***

Kita tak pernah dapat menebak masa yang terbentang di depan sana. Meski kita berjibaku setiap menit untuk merangkai nasib sendiri dan menyulam bahagia dengan saling beradaptasi perangai satu sama lain. Tapi Tuhan selalu punya jalan sendiri menunjukkan kuasa-Nya. Kita terjebak di sana. 

Rumah yang kita bangun pelan-pelan diterjang ombak. Kita berpisah jalan. Sakitnya luar biasa bagimu. Sekarat kondisimu, sementara aku dirudung sembilu setiap waktu. Bahagia kita retak. Tapi kupikir Tuhan hendak menguji rumah kita, menguji atap bahagia. Apakah kita tetap bertahan ataukah bercerai mimpi. 

"Kau begitu tega padaku. Kau berkhianat. Caramu sampah." 

Kau pecah dalam amarah, kecewa, dan berdarah-darah. Perasaan bahagiamu yang ternyata seumpama gelembung sabun pecah berurai-serak. Aku memang salah karena rapuh. Aku berkhianat, ya. Aku sampah. Aku bukan sampah.

"Kau juga punya andil disana. Kau mengabaikan permintaanku saat kubilang tolong jaga hatiku. Kau menganggapku seumpama mainan yang bisa kau singkirkan saat kau bosan atau kembali saat kau butuhkan. Komunikasimu buruk. Aku selalu yang mesti meminta terlebih dahulu padamu. Sakitku akumulatif. Kau tak kunjung peka."

Kau dan aku sama-sama hancur. Kita mati suri dalam luka sendiri-sendiri.

***

Hancurnya rumah yang kita bangun dari keping sekeping mimpi seharusnya menjadi alasan kuat bahwa mungkin kita tak bisa bersama. Kita tak mungkin bahagia lagi. Kita tak direstui Tuhan bersama dalam bahagia. 

Tapi munafik bagiku jika terus menyandarkan alasan dengan membawa nama Tuhan untuk alasan yang tak kumengerti. Aku berlebihan. Ya, aku memang salah karena rapuh hingga cintaku yang penuh utuh padamu terbagi kepada orang lain. Akulah yang bisa kau tunjuk-tunjuk untuk kau persalahkan terus menerus sepanjang hayatmu. Akulah yang bisa kau rendahkan sedemikian rupa bagai sampah atas apa yang tak pernah kuminta sebelumnya; jatuh cinta lagi. Akulah yang akan jadi alasanmu untuk kau berlaku jumawa di atas kita. Aku si peniup serbuk sari bahagia ini dihadapanmu kini hanya seonggok bangkai. 

***

Siapa yang bisa menebak mekanisme cinta setelahnya? Kata seorang bijak, cinta adalah penawar sekaligus racun. Keduanya jadi satu. Ia dua sisi mata pisau yang bisa menjadi pelindung pun penghancur. Cinta adalah kasih atau benci. Cinta adalah elan vital kehidupan manusia.

Kau mengaduh sakit padaku saat aku hampir kalah dan hendak menghapusmu dalam imaji hidupku. Aku mencintaimu, aku masih sangat mencintaimu. Kau pun demikian. Kita sama-sama merindukan bahagia rasa sederhana itu. 

"Aku berusaha untuk menghapusmu dalam hidupku. Aku berusaha membencimu. Aku berusaha tersenyum dan bangkit," katamu." Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa menghapusmu dalam hidupku. Aku tak bisa membencimu. Aku tak bisa tersenyum dan terpuruk. Aku tak bisa bahagia."

Air mataku tumpah. Perasaanku penuh. Hatiku dilanda badai hebat. 

"Aku tak bisa bahagia tanpamu."

Kita pun pada akhirnya kembali membangun rumah dari serpihan badai hebat yang kini menjelma kanker. Semuanya melekat dan tak bisa hilang. Tetapi kau berbesar hati menerimaku lagi karena cinta.

Pupuk itu pada awalnya kita sebar banyak-banyak. Semua bagian yang bolong kita coba perbaiki bersama. Meski aku selalu tahu dalam lubuk hati masing-masing, kita ragu hubungan ini akan langgeng. Kita akan mampu menggapai bahagia lagi. Kau masih begitu sakit atas apa yang kulakukan. Aku juga masih ragu kau akan memperbaiki sifatmu dan menerimaku utuh. Kita simpan sekam dalam diam. Kita pelihara ranjau yang siap sedia meledak jika salah injak. 

Tetapi bahagia itu tak dinyana masih mampu hadir ditengah hubungan penuh ancaman itu. Bahagia itu masih dengan rasa yang sama. Binar matamu kembali menyala dan pelan-pelan kutiupkan kembali mantra sisa yang kupunya agar kau kembali tersenyum.

***

Salah seorang kawanku di Yogya pernah berkata, cinta pantas diuji hingga 33 kali. "Bagai hitungan biji tasbih sebelum kalian melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Setiap masalah adalah biji tasbih yang mesti dirapal. Jika kalian bisa merapalnya meski susah payah, itu bagus."

Kupikir badai pertama yang meluluh-lantakkan rumah kita adalah hitungan biji tasbih pertama. Kita bangkit bersama untuk melanjutkan merapal biji tasbih kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya meski terseok-seok menjalaninya. Tapi bayangan bahagia yang hendak kita bangun selalu menjadi cambuk agar tak lantas berhenti berusaha. 

Rupanya hidup punya kejutannya sendiri. Aku bertemu muka dengan biji tasbih kedua, tapi mungkin bagimu ini tak masuk hitungan untuk hubungan kita. 

Seseorang dari masa lalumu yang pernah kau sangat cinta membawa kabar mencengangkan. Aku bukan marah atas apa yang terjadi padanya, melainkan karena kau masih sayang padanya. Kau rela mengorbankan banyak hal untuknya meski hanya terbersit dalam pikiranmu. Aku yakin kau masih menyimpan asa padanya. Kau masih mencintainya juga meski kau berkilah tidak.

Kau tak berusaha keras meyakinkanku jika memang semua prasangkaku salah. Aku murka, kau menjauh. Kau melarikan diri dari rasa marahku. Tak kau padamkan apiku, justru kau biarkan saja. Aku terbakar sendiri. Kau kemana kan janjimu dulu untuk membuatku bahagia dan membuatku tenang? Kau memilih bersama dengan orang dari masa lalumu, membantunya sekuat tenagamu. Sementara kau biarkan aku menghidu hingga sakit sendiri. 

Tahukah kau, saat seperti ini yang sering datang dalam hubungan kita membuatku selalu teringat kembali dengan ia yang kucinta juga. Ia yang kau benci karena merebutku dan bahagiamu. Ia yang mengambil kepingan hatiku sebelah. Ia selalu menggantikan tempatmu saat kau semestinya bertanggung jawab pada hubungan kita. Ia menjadi tempat aku mencurahkan segala rupa beban hatiku. Karena kau tak mau mendengarkanku dan memilih melarikan diri. Sementara ia selalu sedia menyediakan hati untukku mengaduh sakit.

Aku berpikir selesai dengan hubungan kita. Kau diam dalam jenak tak berusaha meyakinkanku. Kau relakan hubungan kita selesai. Padahal janji kita dulu di taman itu adalah untuk saling berusaha untuk hubungan ini. Tetapi kau biasa saja saat aku bilang kita selesai. Aku masih begitu terluka atas sikapmu yang demikian rela membiarkan hubungan kita selesai. Aku mengujimu dan kau mengabulkan permintaanku begitu saja. 

"Ya sudah kalau kau ingin selesai. Aku harus komentar apa," begitu katamu padaku, dingin.

Lagi-lagi mesti aku yang menghamba padamu agar kita membicarakan ini empat mata. Aku ingin kita bertemu dan menuntaskannya sampai akhir. Meski pada akhirnya kata "kita selesai" tak jadi hadir, aku hanya tahu kau mulai berubah. Kau perlahan meninggalkan rumah itu dengan jalinan komunikasi kita yang tak sebebas dan selepas dulu. Aku merasa banyak hal yang kau sembunyikan padaku. Kau mengabaikanku setapak demi setapak. Aku mulai redup dalam mencapai bahagia bersamamu. 

Ya, aku mengeluarkan kata "kita selesai" lagi. Kau lagi-lagi biasa saja. Kau menerimanya. Mungkin memang kau sudah muak denganku. Kau ingin berkelana lagi dan sendiri dalam urusan hidupmu. Dalam keangkuhanmu kau selalu rela melepaskanku. Mungkin memang kita tak lagi semarak menuju bahagia yang sebelumnya kita pancangkan tinggi-tinggi untuk diraih. 

Hampir sebulan kita tak lagi bersama. Kini kau mengaduh lagi. Kau bilang sakit karena mencintaiku. Aku juga sakit mencintaimu. Aku tak tahu, apakah bahagiamu masih sama? Apakah ini masuk hitungan biji tasbih kita?

Sore itu kita bersitatap sekian detik. Kau tersenyum. Tetapi kutahu itu semua palsu. Matamu kehilangan redup. Tak ada kehidupan di sana. Tandus dan kemarau. 

Haruskah selalu aku yang mesti menyapamu untuk kita berbincang bersama? Haruskah aku yang memintamu kembali padaku? Haruskah aku yang mengobatimu terlebih dahulu? Lantas kau berbuat apa padaku? Luka kita sama meski kau menganggap lukamu lebih dalam dan menganga.

Cahaya matamu mati suri. Tak ada gemericik api lagi disana. Mata tak pernah salah, meski senyummu berusaha mengelabuinya. Kita akan kembali karena cinta atau selesai karena cinta pula. Tapi bahagia adalah selalu bisa tersenyum. Tak hanya dibibir, melainkan juga tampak dimata.

Pangkalan Jati, 23 Januari 2014

Jumat, 14 November 2014

Peran Ulama Santri dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia




Buku : Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949

Penulis : Zainul Milal Bizawie

Penerbit : Pustaka Compass, Tangerang, xxxii + 420 hal

 

 

Versi lain sebuah rekonstruksi sejarah menegakkan kemerdekaan di bumi Indonesia. Buku pertama dari trilogi sejarah Mata Rantai Ulama-Santri dalam kiprahnya melawan penjajah. Ditulis oleh Zainul Milal Bizawie yang tumbuh kembang dalam tradisi NU. Sebuah sejarah yang tak lekang kepentingan.

 

 

Buku-buku sejarah yang kadung terbit mengenai Indonesia hampir tak pernah membahas secara komprehensif peran ulama-santri. Yang banyak dijumpai biasanya soal peran raja atau tokoh penting dalam suatu kerajaan pun organisasi. Sementara peran tokoh agama, hampir pasti tak disinggung di dalamnya.

 

Padahal, dalam buku-buku seperti Babad Tanah Jawi hingga telaah antropologis Clifford Geertz, secara implisit pun eksplisit memaparkan kehidupan masyarakat Jawa khususnya yang tak lekang pengaruh tokoh agama. Dalam perang melawan VOC di tanah Jawa yang diinisiasi oleh dua kerajaan besar Islam – Mataram dan Banten – dibaliknya ada jejak ulama yang memberikan pendapat kepada raja pun turun langsung ke medan laga.

 

Bahkan, paska perang Pangeran Diponegoro, perlawan terhadap penjajah bergeser ke pesantren hingga membangun jaringan ulama-santri dan antar pesantren. Setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro adalah para ulama-santri yang meneruskan perjuangannya. Sebut saja Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta'ad Cirebon, Kyai Hasan Besyari Tegalsari Ponorogo dan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan serta lainnya. Mereka ini menjadi simpul-simpul yang membentuk jejaring ulama di Nusantara hingga menjadi benteng utama perjuangan menegakkan Indonesia. Nahdatul Ulama (NU) menjadi jam'iyah terbesar di Nusantara.

 

Tak pelak saat dicetuskan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, jejaring ulama santri ini massif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya pengobar semangar ulama-santri, Resolusi Jihad juga menyasar pemerintah agar tegas dalam menentukan sikap mempertahankan kedaulatan NKRI.

 

Batas akhir Resolusi Jihad yang diserukan adalah ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui Belanda. Peristiwa ini terjadi pada 19 Desember 1949 saat berlangsung Konferensi Meja Bundar. Sebab tujuan resolusi jihad tersebut adalah diakuinya kedaulatan dan teguhnya RI.

 

Buku setebal 240 hal ini boleh disebut sebagai upaya Milal yang besar dalam tradisi NU untuk menghadirkan yang tercecer dalam kisah sejarah perjuangan Indonesia. Jika selama ini tak ada penulis sejarah yang mengulas mengenai peran ulama-santri dalam kemerdekaan Indonesia, boleh jadi karena peran mereka tak dominan atau bahkan diingkari. Karena sejarah adalah soal siapa yang menyusun dibelakangnya dan demi kepentingan apa.

 

Kiranya Milal menyadari betul bahwa sejarah bukanlah gelar kisah masa lalu yang bisa objektif an sichdengan meghadirkan semua pelaku. Sejarah adalah soal perspektif dengan menyodorkan meotodologi seketat mungkin untuk menghadirkan kebenaran. Tetapi mengenai kebenaran itu sendiri, Nietzsche punya pandangannya, truth is for down the list of the things that are important to man and society.

 

 

 

Rabu, 12 November 2014

Doa



Rendaplah laraku,

Hapuskan senja yang tak lagi menguning

Biar mega berganti pelangi setelah hujan turun


Deraskan lapangku,

Agar pedih kunjungi semenanjung

Damai merasuk kalbu


Laraskan jiwaku,

Simfoni sumbang mengalun jadi indah

Digdaya tak menjelma jumawa


Terangkan pikirku,

Biar fitrah hampiri sesat tak terurai

Bebungaan kuarkan harum taman surga


Duhai Semesta pemiliki hidup matiku

Sungguh sempurna tak pernah merupa

Aku hilang akal dan rasa

Buta tuli juga



-13112014-

Selasa, 11 November 2014

Demokrasi Disensus; Politik Dalam Disensus




DEMOKRASI DISENSUS; POLITIK DALAM PARADOKS

Penulis: Budiarto Danujaya

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, xxxv + 430 hal, Jakarta, 2012

 

Daya tarik demokrasi bagi negara-negara di dunia rupanya masih sangat kuat. Berbagai gelombang yang menuntut demokratisasi yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi penandanya. Rezim totaliter yang sebelumnya diusung oleh negara-negara tersebut akhirnya mesti runtuh juga ditangan rakyat yang menginginkan kebebasan dan independensi bagi hak-hak mereka. Demokrasi adalah jawabannya.

 

Meskipun sampai saat ini demokrasi hanya baru bergerak dalam batasan formal-prosedural, menjadi semacam jargon keberadaan sistem dan perilaku politik-sebagai prasyarat untuk meraih legitimasi dalam pergaulan politik global, tetapi tak menyurutkan kepercayaan banyak orang untuk terus berharap hak-hak mereka dijaga dan dihargai dalam demokrasi. Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi bahwa didalamnya ada jalan menuju kesejahteraan berupa penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda dan saling menghargai menjadi semacam utopia tersendiri. Nyatanya demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan akbar saat masa modern di Eropa belum bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda. Silang sengkarut pendapat antar individu bahkan kelompok seringkali berujung pada pengeliminasian kelompok yang dianggap minoritas. Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa  dan kuasa lebih besar, menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni.

 

Lewat persoalan inilah, Budiarto Danujaya, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia menuliskan keluh kesahnya perihal demokrasi dalam buku berjudul Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks. Demokrasi yang umum dipahami sejak dari masa modern hingga sekarang adalah demokrasi yang memenangkan mayoritas. Mayoritas dalam kerangka filsafat politik adalah rakyat. Sehingga demokrasi adalah gagasan mengenai kuasa dari rakyat. Kuasa rakyat ini terepresentasikan dengan wakil-wakil rakyat yang dipercaya membawa suara rakyat dalam tata kelola suatu negara. Pengambilan keputusan dalam suatu perkara yang menyangkut rakyat diambil lewat jalan kesepakatan atau konsensus.

 

Inilah yang mewarnai tampilan pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan negara bangsa. Demokrasi dijalankan selama ini dengan membawa muatan konsensus. Konsensus terbentuk atas cita rasa bersama (sensus communis) yang berlandaskan rasionalitas individualisme normatif. Artinya kesepakatan dicapai dengan tujuan terhadap yang ideal dalam kondisi satu dengan yang lain setara. Padahal dalam pengambilan keputusan apapun tidak ada kondisi setara antara satu pihak dengan pihak lain. Selalu ada beban kepentingan dan konflik yang beradu disitu. Selalu ada pihak yang tidak terangkul dalam upaya mencapai kesepakatan dalam demokrasi konsensus.

 

Jika demokrasi yang mengutamakan konsensus dalam laku pengambilan keputusan dipercaya mampu membawa kebaikan bagi rakyat banyak dengan mengeliminasi pihak yang tercecer dalam upaya mencapai kesepakatan, maka demokrasi dianggap gagal. Kegagalan demokrasi konsensus ini terlihat dari ide awal yang ingin menjamin hak-hak setiap individu. Tidak terangkulnya pihak yang tercecer dalam konsolidasi kesepakatan dalam mekanisme konsensus adalah bukti tak terbantahkan gagalnya demokrasi sebagai tata pemerintahan. Berbagai kasus kekerasan agama dan sosial lain di Indonesia menjadi cerminan tidak terangkul dan terabaikannya hak-hak setiap warga negara untuk memperoleh kebebasan atas apa yang diyakininya.

 

Bertitik tolak dari persoalan inilah, Budiarto Danujaya mencoba menawarkan pembacaan demokrasi lewat cara yang berbeda. Ia menawarkan melihat demokrasi dengan mengedepankan disensus. Ketakpercayaan bahwa sistem politik apapun mampu menggalang konsensus dengan asas semua senang, semua terima keputusan menjadi landasan dalam memahami demokrasi sebagai disensus. Asumsi antropologis yang dijabarkan Budiarto adalah ketidakmungkinan konsensus untuk tak mereduksi otonomi dalam korelasi. Karena korelasi antarmanusia pada dasarnya merupakan koeksistensi antarunikum. Upaya menuju konsensus dengan sendirinya tidak akan pernah selesai karena selalu ada yang tertinggal dalam pencapaian pada satu kesepakatan.

 

Pengambilan keputusan dalam kerangka demokrasi disensus bukanlah pencapaian terhadap kesepakatan final, melainkan diartikan sebagai keikutsertaan pada proses politik sebagai terminal sementara dalam dinamikan antagonisme berkelanjutan dalam medan politik. Sementara itu antagonisme merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman yang sudah menjadi sifat dasar relasi sosial. Sehingga tak mungkin merangkum segala perbedaan dalam demokrasi ke dalam konsensus. Demokrasi sebagai wadah memiliki kapasitas menggalang harmoni dari faktisitas sosiopolitik yang beragam dan berbeda.

 

“Manusia diera ini ditakdirkan bukan untuk mengatasi melainkan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan keragaman; jadi, menerima situasi polisemi serta ambivalensi yang diakibatkan apa adanya, termasuk dalam ranah etik maupun politik,” tulis Budiarto di dalam bukunya (hal. xxx). Jelas sudah bahwa dalam telaahnya, Budiarto Danujaya ingin menegaskan kembali arti demokrasi sebagai penghargaan terhadap hak-hak individu masyarakat. Demokrasi Disensus yang ditulisnya mencoba menawarkan kembali demokrasi sebagai etikopolitik, suatu sikap hidup bersama dengan mereka yang berbeda.

Biografi Karni Ilyas; Lahir Untuk Berita




40 Tahun Jadi Wartawan, Karni Ilyas; Lahir Untuk Berita

Penulis: Fenty Effendy

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, xix + 396 hal, Jakarta, 2012


 

40 tahun, rentang waktu yang cukup panjang untuk menuai hasil dari apa yang pernah diimpikan seorang Karni Ilyas. Mencoba untuk konsisten dengan apa yang pernah dicita-citakan sewaktu kecil menjadi pertaruhan tersendiri. Sisanya ditunjukkan lewat totalitas yang dituntun elan vital – daya juang. Dan semua menghasilkan cerita yang lebih dari sebuah kesuksesan; sebuah perjuangan...

 

***


Rabu, 17 Oktober 2012 silam, ballroom Djakarta Theater disambangi sejumlah orang terkenal. Tampak beberapa yang hadir pada malam itu ialah Wiranto, Rahman Tolleng, Jusuf Kalla, Jimly Assidiqie, Abu Rizal Bakrie, dan sejumlah nama lain yang tak kalah beken. Hari itu memang dipersiapkan sebagai acara luncur buku biografi Karni Ilyas, 40 Tahun Jadi Wartawan; Lahir Untuk Berita.

 

Pada acara yang juga disiarkan secara langsung oleh tvone, terurai segelintir kisah mengenai jejak hidup pria kelahiran Johong Pahambatan, Balingka 25 September 2012. Anak pertama pasangan Ilyas Sultan Nagari dan Syamsinar ini rupanya sejak muda sudah ingin menjadi seorang wartawan. Saat itu ia tengah berjalan-jalan dengan sepupunya disepanjang tepi Laut Padang naik Bendi, menceritakan kepada sepupunya ingin menjadi wartawan. Alasannya sederhana, kepingin terkenal!

 

Namun, nyatanya terkenal hanyalah sebuah jawaban tanpa pikir yang dilontarkan Karni kepada sepupunya. Liku untuk tetap konsisten dijalur kewartawanan menunjukkan bukan menjadi terkenal yang ditujunya. Terbukti dirinya bahkan sempat menolak jabatan sebagai Jaksa Agung saat Megawati Soekarnoputri menjabat presiden hingga ditawari menjadi direktur perusahaan petrokimia, Karni tak bersemangat. Memang bukan disana passion-nya.

 

Saya teringat salah satu novel berjudul The Alkemist karya Paulo Coelho, si pengarang yang lagi digandrungi dunia sastra saat ini. Novel tersebut menceritakan mengenai perjalanan Santiago, seorang pengembala muda yang melepas semua domba-dombanya untuk mengejar mimpi sampai ke Piramida yang ada di Mesir. Coelho menggunakan metafora Legenda Pribadi untuk menyebut setiap impian yang datangnya dari hati nurani, Jiwa Dunia. Saya melihat Santiago pada sosok Karni Ilyas yang kini berusia 60 tahun.

 

Perjalanan menjadi seorang wartawan bukan sebuah tur menyenangkan yang selalu dialami Karni. Mumulai profesi wartawan di Suara Karya, dirinya hanya bermodalkan ijazah SMA. Sempat diragukan kemampuannya oleh Rahman Tolleng, pimpinan redaksi Suara Karya saat itu, Karni tidak menyerah. Ia tetap ngeyel meyakinkan Rahman Tolleng untuk menjajal dirinya dalam menghimpun dan menulis berita, terutama berita hukum dan kriminal.

 

Sifat keras dan kerja kerasnya dalam memburu berita sampai ke sumber langsung inilah yang membawa dirinya dilirik TEMPO. Tak seperti gaya wartawan lain yang asik nongkrongin dan menunggu narasumber, Karni justru memilih melakukan lobi-lobi sendiri kepada setiap narasumber utama yang mesti ia kejar. Berita tanpa konfirmasi langsung dari yang berperkara tidak memuaskan dahaga beritanya. Lima tahun setelahnya Karni ditunjuk sebagai redaktur yang mengampu rubrik hukum dan kriminalitas.

 

Sekitar tahun 1992 saat TEMPO mengambil alih majalah dwimingguan, FORUM Keadilan yang hampir mati suri, Karni ditunjuk oleh Eric Samola, bos besar PT Grafiti Press untuk mengurusnya. Format majalah yang ingin mengetengahkan persepsi hukum dan demokrasi secara lebih luas dan umum menjadi ideologi yang coba  ditanamkan  Karni bagi FORUM keadilan. Belum punya nama taktis membuat majalah ini tidak dikenal umum. Namun, siapa sangka berkat tangan dinginnya, Karni mampu membuat  FORUM menjadi majalah yang paling banyak dibaca masyarakat pada kurun waktu 1992-1999.  

 

Sempat mewawancarai Kartika Thahir, janda wakil bos Petamina atas  rekening US$ 78 juta yang diduga merupakan uang suap membuat hatrick tersendiri dalam sejarah karier jurnalistik Karni. Bagaimana tidak, dirinyalah satu-satunya wartawan yang mampu melakukan wawancara dengan Kartika saat siapapun tidak mampu menembus kesempatan melakukan wawancara . Selain itu, Kartika yang sengaja menghilangkan dirinya selama 12 tahun membuat cerita kesuksesan Karni menjadi sempurna.

 

Meski  gigih dan gencar dalam memburu berita – dan hampir-hampir memiliki insting menangkap berita yang akan laku dipasaran – tidak seiring langkah Karni mulus begitu saja. Forum ditangan dinginnya tidak hanya sekedar “laku”, melainkan juga kritis dalam menyajikan berita yang akan disantap masyarakat. Tak pelak , majalah yang oplahnya tiap kali terbit mencapai 150 ribu eksemplar  turut jadi bidikan orde baru untuk dibungkam. Namun - lagi-lagi, kemampuan lobinya dengan para petinggi militer membuat FORUM bisa terus bernapas .

 

Saat itu diketahui Karni dengan cerdik menghubungi beberapa petinggi militer seperti Prabowo, Hendropiyono, dan Hartono. “Saya meminta mereka semua menelepon ke Harmoko bahwa yang punya majalah itu mereka,”demikian yang ditulis Fenty Effendy dalam biografi Karni Ilyas (hal.222). Beberapa Jenderal ini menelepon Harmoko yang kemudian menjadi bingung. Karni mengetahui Harmoko tidak akrab dengan militer dan menggunakan kesempatan itu untuk menyelamatkan FORUM Keadilan.

 

Dalam buku setebal 396 halaman ini juga memuat berbagai testimoni dari berbagai kalangan yang turut menggambarkan perangai Karni yang tegas dan keras. Beberapa mantan wartawan yang pernah bersama Karni menuturkan, sosok pria kecil dan berkulit gelap ini tidak terima kegagalan. Kalimat andalannya saat memarahi wartawan asuhannya adalah Jangan Menunggu Tahi Hanyut.

 

Selain sukses membesarkan FORUM Keadilan, Karni juga sebagai salah satu orang yang mendirikan Jakarta Lawyers Club (JLC) ditahun 1992. JLC merupakan wadah diskusi para praktisi hukum yang kemudian meluas patisipannya. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam JLC multidisiplin namun dibedah lewat perspektif asas penegakan hukum.

 

Dipecat sebagai pemimpin redaksi FORUM Keadilan karena intimidasi pemilik modal tak lantas mematikan kecintaan Karni untuk terus bergelut di dunia jurnalistik. Dirinya diminta Henry Pribadi, pemilik SCTV untuk membidani kesuksesan divisi pemberitaan liputan 6. Lagi-lagi berkat tangan dinginnya, Liputan 6 yang mati segan mati tak mau itu lambat laun menjajaki diri sebagai program berita yang banyak ditonton oleh masyarakat. Prinsipnya yang ingin mendapatkan berita teranyar lewat sumber utama membuat pamor SCTV melonjak. Salah satu pemberitaan sukses Liputan 6 saat dibawah Karni adalah soal bom bali dan teroris, Amrozi cs.

 

Karni Ilyas merupakan sosok manusia biasa yang tampil luar biasa dengan segala kegigihan dan kerja keras. Totalitasnya dalam menghimpun berita menunjukkan dirinya memang lahir untuk berita. Sosoknya mengingatkan siapa pun bahwa menjadi wartawan adalah pilihan hidup, bukan pilihan pekerjaan. Dia wartawan yang jarang kita jumpai saat ini...                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

Semangat Membatu Film Rata-rata


 

Garuda 19; Semangat Membatu
Sutradara : Andibachtiar Yusuf
Pemain : Mathias Muchus, Ibnu Jamil, Rendy Ahmad, Sumarlin Beta
Produksi : Mizan Productions 2014

 

 

Indra Sjafri kemimpi suatu saat sepakbola Indonesia berlaga di Piala Dunia. Langkah pertama telah dijejak. Timnas U-19 berhasil menjuarai piala AFF U-19 pada 2013. Kisah ini kemudian diangkat ke layar lebar. Ide memberi semangat, eksekusi film biasa saja.

 

***

Sepanjang 2013 lalu, kita ingat, salah satu hal membanggakan diraih Indonesia adalah berhasil peroleh juara dalam AFF U-19 setelah mengalahkan Vietnam. Di tengah pusaran dualisme berebut kuasa di PSSI, anak-anak didik Indra Sjafri mampu menorehkan prestasi. Apalagi selama ini dunia sepakbola Indonesia sepi prestasi, gaduh masalah.

 

Kegemilangan Garuda Jaya yang jarang terjadi menyelipkan kisah Indra Sjafri dan tim pelatihnya mencari bibit-bibit terbaik hingga jauh ke pelosok negeri. Semua dengan biaya dan usaha sendiri. Sementara pusat tak mau peduli. Kisah inilah yang menarik hati Andibachtiar Yusuf, sang sutradara untuk mengangkat kisahnya ke muka khalayak dalam medium film. Garuda 19 sendiri diadaptasi dari buku “Semangat Membatu” karya FX Rudy Gunawan dan Guntur Cahyo Utomo.

 

Cerita dibuka dengan momen adu finalti laga final Indonesia vs Vietnam pada piala AFF U-19 di Sidoarjo. Garuda Jaya berhasil lolos final setelah berjibaku mengalahkan Korea Selatan yang dikenal jawara sepakbola asia. Kisah pun berlanjut alur mundur saat Indra Sjafri (Mathias Muchus) beserta tim pelatihnya; coach Guntur (Ibnu Jamil), coach Djarot (Puadi Redi), coach Nur Saelan (Reza Aditya), dan Adit (Verdi Solaiman) mencari bibit pemain dari Ngawi, Jawa Timur hingga Alor, NTT.

 

Perjalanan Sjafri dan tim demi mengumpulkan pemain terbaik negeri ditengah kondisi federasi yang kacau kiranya menjadi ide besar film ini dibuat. “Semangat membatu” tak cuma soal kepercayaan Sjafri di Indonesia pasti menyimpan mutiara di pelosok-pelosok nun jauh sana, tapi juga soal ke”batu'an Sjafri ingin membawa Indonesia menuju piala dunia.

 

Sayangnya, semangat membatu yang menjadi kuncian film ini tak begitu terasa. Cenderung hambar dan biasa saja. Peran keempat pelatih pendamping Sjafri terasa mengganggu. Tek tok dialog yang dilontarkan keempatnya tak asyik ditelinga. Mereka lebih tampak seolah Punakawan dalam cerita Wayang.

 

“Piala Dunia” yang sering dilontarkan Sjafri untuk membakar semangat tim mudanya juga tak menghasilkan daya greget. Belum lagi selipan cinta remaja yang dilakoni Yabes (pemuda asal Alor, NTT) dan Yazid (pemuda asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara) dengan pujaan hati masing-masing. Bagian mengenai romantika remaja mereka pun tak tergali dalam dan nanggung.

 

Tapi akting menawan ditampilkan oleh Rendy Ahmad, pemeran Sahrul si beck asal Ngawi, Jawa Timur. Pemuda asal Belitung ini memukau saat berakting di film Sang Pemimpi sebagai Arai. Jika pada film sebelumnya ia sukses menampilkan Arai dengan logat dan tabiat Belitung, kini Rendy menampilkan Sahrul dengan logat Jawa kental. Peralihan logat tersebut sukses dibawakan Rendy dalam film tersebut. Tampak alamiah ditengah bangunan film yang biasa saja.

 

Keseluruhan film berdurasi dua jam ini biasa saja. Meski ide dan semangat yang ingin ditampilkan bagus, tapi tak tampak dalam sajian film. Semua serba nanggung.

 

Seorang kawan pernah berujar, Film Indonesia jarang yang memiliki formula untuk menjadi sukses. Apa yang menjadi formula itu? Katanya, tidak ada formulanya. Sebuah film hanya perlu jujur dan apa adanya. Salah satunya bisa tergambar dari seberapa kuat skenario yang disajikan.