Selasa, 11 November 2014

Demokrasi Disensus; Politik Dalam Disensus




DEMOKRASI DISENSUS; POLITIK DALAM PARADOKS

Penulis: Budiarto Danujaya

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, xxxv + 430 hal, Jakarta, 2012

 

Daya tarik demokrasi bagi negara-negara di dunia rupanya masih sangat kuat. Berbagai gelombang yang menuntut demokratisasi yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi penandanya. Rezim totaliter yang sebelumnya diusung oleh negara-negara tersebut akhirnya mesti runtuh juga ditangan rakyat yang menginginkan kebebasan dan independensi bagi hak-hak mereka. Demokrasi adalah jawabannya.

 

Meskipun sampai saat ini demokrasi hanya baru bergerak dalam batasan formal-prosedural, menjadi semacam jargon keberadaan sistem dan perilaku politik-sebagai prasyarat untuk meraih legitimasi dalam pergaulan politik global, tetapi tak menyurutkan kepercayaan banyak orang untuk terus berharap hak-hak mereka dijaga dan dihargai dalam demokrasi. Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi bahwa didalamnya ada jalan menuju kesejahteraan berupa penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda dan saling menghargai menjadi semacam utopia tersendiri. Nyatanya demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan akbar saat masa modern di Eropa belum bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda. Silang sengkarut pendapat antar individu bahkan kelompok seringkali berujung pada pengeliminasian kelompok yang dianggap minoritas. Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa  dan kuasa lebih besar, menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni.

 

Lewat persoalan inilah, Budiarto Danujaya, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia menuliskan keluh kesahnya perihal demokrasi dalam buku berjudul Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks. Demokrasi yang umum dipahami sejak dari masa modern hingga sekarang adalah demokrasi yang memenangkan mayoritas. Mayoritas dalam kerangka filsafat politik adalah rakyat. Sehingga demokrasi adalah gagasan mengenai kuasa dari rakyat. Kuasa rakyat ini terepresentasikan dengan wakil-wakil rakyat yang dipercaya membawa suara rakyat dalam tata kelola suatu negara. Pengambilan keputusan dalam suatu perkara yang menyangkut rakyat diambil lewat jalan kesepakatan atau konsensus.

 

Inilah yang mewarnai tampilan pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan negara bangsa. Demokrasi dijalankan selama ini dengan membawa muatan konsensus. Konsensus terbentuk atas cita rasa bersama (sensus communis) yang berlandaskan rasionalitas individualisme normatif. Artinya kesepakatan dicapai dengan tujuan terhadap yang ideal dalam kondisi satu dengan yang lain setara. Padahal dalam pengambilan keputusan apapun tidak ada kondisi setara antara satu pihak dengan pihak lain. Selalu ada beban kepentingan dan konflik yang beradu disitu. Selalu ada pihak yang tidak terangkul dalam upaya mencapai kesepakatan dalam demokrasi konsensus.

 

Jika demokrasi yang mengutamakan konsensus dalam laku pengambilan keputusan dipercaya mampu membawa kebaikan bagi rakyat banyak dengan mengeliminasi pihak yang tercecer dalam upaya mencapai kesepakatan, maka demokrasi dianggap gagal. Kegagalan demokrasi konsensus ini terlihat dari ide awal yang ingin menjamin hak-hak setiap individu. Tidak terangkulnya pihak yang tercecer dalam konsolidasi kesepakatan dalam mekanisme konsensus adalah bukti tak terbantahkan gagalnya demokrasi sebagai tata pemerintahan. Berbagai kasus kekerasan agama dan sosial lain di Indonesia menjadi cerminan tidak terangkul dan terabaikannya hak-hak setiap warga negara untuk memperoleh kebebasan atas apa yang diyakininya.

 

Bertitik tolak dari persoalan inilah, Budiarto Danujaya mencoba menawarkan pembacaan demokrasi lewat cara yang berbeda. Ia menawarkan melihat demokrasi dengan mengedepankan disensus. Ketakpercayaan bahwa sistem politik apapun mampu menggalang konsensus dengan asas semua senang, semua terima keputusan menjadi landasan dalam memahami demokrasi sebagai disensus. Asumsi antropologis yang dijabarkan Budiarto adalah ketidakmungkinan konsensus untuk tak mereduksi otonomi dalam korelasi. Karena korelasi antarmanusia pada dasarnya merupakan koeksistensi antarunikum. Upaya menuju konsensus dengan sendirinya tidak akan pernah selesai karena selalu ada yang tertinggal dalam pencapaian pada satu kesepakatan.

 

Pengambilan keputusan dalam kerangka demokrasi disensus bukanlah pencapaian terhadap kesepakatan final, melainkan diartikan sebagai keikutsertaan pada proses politik sebagai terminal sementara dalam dinamikan antagonisme berkelanjutan dalam medan politik. Sementara itu antagonisme merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman yang sudah menjadi sifat dasar relasi sosial. Sehingga tak mungkin merangkum segala perbedaan dalam demokrasi ke dalam konsensus. Demokrasi sebagai wadah memiliki kapasitas menggalang harmoni dari faktisitas sosiopolitik yang beragam dan berbeda.

 

“Manusia diera ini ditakdirkan bukan untuk mengatasi melainkan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan keragaman; jadi, menerima situasi polisemi serta ambivalensi yang diakibatkan apa adanya, termasuk dalam ranah etik maupun politik,” tulis Budiarto di dalam bukunya (hal. xxx). Jelas sudah bahwa dalam telaahnya, Budiarto Danujaya ingin menegaskan kembali arti demokrasi sebagai penghargaan terhadap hak-hak individu masyarakat. Demokrasi Disensus yang ditulisnya mencoba menawarkan kembali demokrasi sebagai etikopolitik, suatu sikap hidup bersama dengan mereka yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar