Jumat, 19 Desember 2014

Kamala, Sembuhlah!



"Kamala, kamala, kamala..."

Suara itu bergema. Seolah datang dari ketidaksadaran yang berada entah dimana. Lirih dan berulang, tapi juga agak mendesak. Sepanjang langkahku malam itu, suara itu menerus mengikuti, tak mau pergi juga.

"Kamala, kamala, kamala, sembuhlah..."

Hatiku kelu. Sakitnya sekujur tubuh. Ngilu bagai teriris sembilu. Semua karenamu yang berhati batu. Kau tak paham juga pengarai diri sendiri yang telah kukatakan dengan seluruh bahasa yang kuketahui. Kau asyik sendiri mengulum mimpi. Mengabaikan aku yang katanya kau cintai. 

Kau biarkan aku sepi dan teronggok sendiri. Kutelantarkan mimpi sendiri demi khayali mimpi-mimpi kita yang telah dirajut bersama. Tapi kau lupa berusaha untuk kita. Aku mengayuh sendiri, kau seruput bahagia dari sana. Aku mengombak sendiri, kau tak mau dengar keluhku.

"Sembuhlah, Kemala. Kemala, sembuhlah..."

Begitu dalam kuberikan mimpiku padamu. Kau acak sendiri dan gunakan semaumu. Kusandarkan diriku agar tak lagi berlayar, aku ingin melabuh padamu saja. Kau biarkan aku usaha sendiri. Kau nikmat sendiri. Kuberikan kau bahagia, kau berikan aku nestapa. 

Kutinggalkan engkau, kau tunjuk aku bersalah. Aku bersamanya, kau sebut aku sundal. Aku lepaskan ia, kau biarkan aku kembali sendirian. 

"Kemala, kemala, kemala, sembuhlah... Sembuhlah, Sayang."

Suara itu menggema entah dari mana. Aku susuri taman penuh bebungaan. Angin menyapa diam-diam. Semilir harum menjenguk indra penciumanku. Meski malam telah turun, hatiku masih berdarah-darah. Aku hilang gairah. Kau adalah bangsat yang tak mau mengerti bahasa jiwa.

"Kemala, kemala, kemala, sembuhlah. Sembuhlah, Sayang. Sembuhlah, Sayang. Kemala, Sayang."

Bulir itu keluar juga. Air mataku menitik. Sakitku kau tak peduli. Bagaimana mungkin aku mencintai batu yang tak berusaha memperlakukanku sama seperti aku memperlakukannya? Bagaimana mungkin aku masih terus berharap kau berubah dan mau berusaha untukku? Bagaimana mungkin kubiarkan diriku kalah dengan semua harapan palsu itu. Kau tak jua mau tahu. Kau adalah doa yang kuharap Tuhan tak kabulkan lagi harapan palsuku.

Demi Tuhan, Kau berjiwa batu. Aku ngilu hingga ke ulu. Kau tetap jadi batu. Hatimu sedemikian busuk untuk dapat kuobati lagi dengan keikhlasanku. Kau menyia-nyiakannya. Aku sakit hati.

"Kemala, kemala, kemala, Sayangku. Sayangku, sembuhlah..."

Malam semakin larut. Langkahku boyah. Hatiku kelu dan dingin. Tak lagi kudengar suara selain suara itu. Suara yang entah dari mana, suara yang memintaku sembuh. Lamat-lamat suara itu makin berisik. Ia teguh memintaku agar lekas sembuh. Sakit apa aku? Mengapa harus sembuh? Sakit apa aku? Mengapa kau begitu berisik?

"Kemala..."

Aku memejam entah dimana. Kesadaranku memudar. Kau mengabur, abu...

***

"Kamala atau Kemala atau Lotus atau Teratai adalah bunga yang cantik. Ia hidup sendiri di tengah koloni air tawar yang tak sejenis dengannya. Ia mampu beradaptasi dengan itu semua dan tampil cantik lagi anggun. Kau tahu, ada satu Kamala yang begitu aku suka."

"Apa itu?" Tanyaku.

"Kamala berwarna ungu. Ia jarang tumbuh. Kamala lain jamak berwarna merah muda. Yang ungu ini hidup sendiri. Selalu tumbuh satu saja."

Aku tersenyum.

"Tapi diantara semuanya aku akhirnya menemukan Kamala ungu yang jarang itu."

Kupandangi kau, bingung akan maksudmu. 

"Aku temukan kau, Kemala. Akhirnya aku temukan Kamala-ku. Sembuhlah, Sayang. Sembuhlah, Kamala."

Kau yang muncul tak dinyana jiwa. Sakitku kau yang sembuhkan, bukan dia. Kau yang berhati lapang, terjang semua sekat demi bebaskanku tumbuh seumpama kamala ungu. Katamu, jika hayat sesuatu yang renta, mengepaklah...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar