Kamis, 12 September 2013

Lamat-lamat Titik



Soal yang berlarat-larat, semua orang juga punya. Perihal siapa yang mengedepankan emosi, semua orang melakukan. Tak masalah, tak masalah...

Kita berkembang dan belajar dari apa yang telah lewat. Dan sampai disini, aku mengagumi diriku sendiri. Bukan suatu narsisisme yang kemudian datang setelah memutuskan sesuatu yang penting - melibatkan cinta dan rasa disana, semuanya. Melainkan suatu kesadaran baru bahwa bagaimanapun, mekanisme kedirianku emoh ditundukkan untuk menjadi sekedar sahaya. Aku kini bebas dalam rasa yang demikian absurd meski sedih juga. Tapi tak mengapa, tak mengapa... Toh, putus cinta hal biasa yang dialami manusia yang berelasi dengan tambahan bumbu-bumbu asmara.

Sepele? Atau terlalu melodramatis? Ah, terserah saja. Karena semua rasa bahagia, kecewa, kesal, marah, dan lainnya nyata kurasakan pada masa lalu dan masa yang akan datang. Tiba-tiba teringat Heidegger yang kelam itu. Ia berseloroh dalam kajian filsafatnya tentang Ada. Sungguh njelimet! Tetapi betul juga setelah kupikir ulang. Kenangan yang tertinggal di masa lalu menjadi penghalang kita untuk menyadari bahwa sesungguhnya hidup terus mengalir.

Seseorang dikenal dan dikenang dalam ritme waktu karena atribut ke-Ada-annya. Manusia hanya saling mengenal atribut-atribut yang menempel padanya sepanjang hayat. Atribut-atribut itu mencakup kualitas cum kuantitas fisik pun non fisik seperti sifat dan karakter. Dan sayangnya, kita seringkali terjebak dalam pseudo kenangan masa lalu ini. Menghamba diri dalam kondisi sedih sesedih-sedihnya. Tak apa berlaku demikian. Karena memang jika menyangkut hati semua bisa jungkir balik.

Tetapi pahamilah waktu yang terus menggerus kita baik dari segi fisik pun kesempatan. Kita yang hidup hari ini adalah sejuta kesempatan yang menggelar di kaki langit. Apapun bisa dicapai dan lakukan.

Aku lagi-lagi dihadapkan Tuhan dalam satu pelajaran tetap soal hidup. "Jangan sekali-sekali mengabsolutkan penilaianmu terhadap seseorang. Karena manusia mengalir, punya potensi berubah". Siapa kita hari ini belum tentu sama dengan siapa kita kemarin atau masa depan. Semua berkaitan dengan atribut yang sedang lekat dengan kita sekarang.

Dan saya pun turut mengalir. Saya memutuskan untuk berhenti berjalan bersama-sama dalam lorong relasi personal dengannya. Saya tak menemukan alasan selain ketakmungkinan bersamanya membayang dipelupuk mata dan mencekat kerongkongan untuk segera dilepas. Ada yang seketika terbebas dalam kekang relasi yang setelah dipikir ulang tak setara untuk saya.

Dia orang baik. Hahaha, seperti membuat obituari saja. Tak apa, toh mesti ada yang dikubur dari masa yang telah lewat bukan?

Apologia? Eksepsi? Masa bodoh mau menyebutnya apa.


Senin, 01 April 2013

Peluk Mimpi Angin Malam


Beruntunglah kita yang memiliki tempat bernaung dari panasnya matahari di waktu siang. Beruntunglah kita yang memiliki alas empuk untuk merebahkan diri dari lelahnya rutinas yang mengikat. Beruntunglah kita yang masih memiliki mimpi, memupuknya dan perlahan menuai hasil dari apa-apa yang sudah dijejak.

Malam ini aku bertemu muka dengan seorang bocah cantik. Ia bermata bulat besar. Binar kedua matanya menyiratkan keluguan dan tanpa cela. Rambut hitam yang baru tumbuh sebahunya sebagian dikuncir ke atas. Ia bercelana pendek dan berkaos singlet. Tanpa suara Ia memegang kicrikan, hendak meminta derma hingga pukul satu dini hari di perempatan lampu merah menuju bilangan Kalimalang. 

Tak ada raut lelah dalam binar kedua bola mata besarnya. Tak ada penyesalan pun kesedihan yang tampak pada bocah cantik itu. Tatkala tak ada yang memberinya derma, Ia menyingkir ke pinggiran, sibuk bermain sendiri dengan sebuah boneka. 

Beruntunglah kalian yang masih menggenggam kasih sayang. Beruntunglah kalian yang masih bisa makan dan bermain bersama teman dalam tema peperangan pun drama rumah tangga. Beruntunglah kalian yang tak harus menghabiskan malam, berjuang ditengah angin yang berhembus menenteng virus dan kuman. Beruntunglah kalian bukan gadis kecil cantik bermata bulat itu yang kini tengah memeluk tiang lampu merah, berbaring dan menggeliat.

Tak ada yang awas pada si bocah ini yang mungkin merindukan rumah dan orangtua yang entah kemana. Kendaraan bermotor yang mulai sepi, berlomba hendak ingin sampai di rumah dan mencecap mimpi. Ia bukan manusia. Ia tak lagi dianggap manusia saat kita hanya memandangnya indah bagai porselen dan terucap lafadz,"Kasihan dia."

Bocah kecil itu bukan manusia, saat kita juga cuma hanya memberinya sedekah tanpa mau bertanya mengapa Ia sampai berada disini, diperempatan lampu merah yang selalu mengancam bahaya. Bocah kecil itu bukan manusia, bukan lagi manusia sejak Ia menjajakan diri dengan tampang lugu dan kita hanya menoleh sekilas, berlagak paham dengan kondisinya.

Tanpa mimpi seseorang tidak akan menjadi siapa-siapa. Mimpi hadir karena kita mencecap kasih sayang. Kasih sayang memberikan dorongan dan semangat, sebuah elan vital yang menggerakkan semesta. Ia adalah pupuk terbaik yang menyuburkan benih di tanah gersang sekalipun. Ia menumbuhkan apa yang tak mungkin menjadi mungkin. Mimpi menjadi ruhnya. 

Aku terbayang si bocah cantik itu. Bayanganku mengangsa, diterpa angin malam yang ganas, Ia menggeliat tidur memeluk tiang. Bayangkan jika bocah kecil lain seperti dirinya juga ada ditiap penjuru dunia melakukan hal yang sama. Ia aset bangsa tentunya, punya potensi sebagai manusia. Tetapi kita hanya menatapnya seolah Ia bukan siapa-siapa atau apa-apa. 

Mungkin nasibnya hanya ada dua. Ia mati muda diserang angin malam saat pergi memeluk mimpi bermain boneka dengan teman sebaya. Ataukah hidup lama tanpa juga mengenal mimpi dan mengubah sendiri nasibnya. Entah kado seperti apa yang dipersiapkan Tuhan didepan sana untuk si bocah cantik itu. Semoga bukan hanya janji menuju surga yang diberikan oleh-Nya. Karena setiap duka hanya ada saat manusia hidup, begitupun apa yang kita sebut bahagia. Sisanya baik surga dan neraka juga adalah sama-sama mimpi yang termanifestasi jadi imajinasi.

Jumat, 08 Maret 2013

Selamatan Hari Perempuan

www.gozamos.com

Selamatlah wahai perempuan seluruh dunia! Baik betina yang melata hingga yang berjalan tegak. Selamatlah wahai perempuan seluruh dunia! Baik yang berotak udang hingga berotak batu.

Ini cemooh bukan untuk perempuan yang tak meminta derma. Ia bijak sejak kala masih dalam perut bumi.

Selamat bukan doa, melainkan jeda untuk merayakan apa yang dulunya menderita. Apa yang dulunya suatu upaya demi apa yang disebut merdeka. 

8 Maret mereka mengurai kata selamatan. Selolah-olah ada yang hajatan. Entah kendurian siapa? Mungkin yang sedang pegang uang tak terkira. 

Selamatan hari perempuan katamu? Hanya ucapan selamat satu hari itu dan sisanya kami masih dijajah. Seolah semua upaya sirna sudah saat selamatan digelar pada satu hari itu. 

Dan yang mengaku aktivis, lengkap mengusung panji-panji kebebasan, kesetaraan, gender, lalalalalalala, dengan semangat mengangsa menggagahi siapa saja punya kuasa dan menuntut agar hak setiap manusia digelar dan diberi sama rata. Seringkali isi kepala karbitan. Memecah yang satu menjadi dua, tiga, empat, dan lima. Mencari kesahihan partikular yang mendukung tesis sembrononya.

Selamatan hari perempuan katamu? 

Aku perempuan. Dan terbalut sejarah. Aku membaur dengan pria dalam dimensi patriarki. Bukan mauku, bukan pula aku tak punya kuasa. Tapi tak berarti aku berdiri dikeduanya. Aku tetap bebas dengan segala kesadaranku sebagai manusia. Meski aku punya vagina - bukan penis - aku tak sepatriotis itu. Aku tak semilitan itu untuk menyatakan apa yang tidak kupunyai dari isi kepala.

Selamatan hari perempuan katamu? Biarlah mereka bersuara. Aku pun juga. Kusampaikan suaraku sendiri. Tidak hanya karena aku perempuan dan manusia, melainkan aku juga terbelit sejarah. 

Tik Tok Tik Tok, sejarah pun memutar kemudinya terus menerus. Biasanya berulang dan tidak lagi istimewa.