Senin, 01 April 2013

Peluk Mimpi Angin Malam


Beruntunglah kita yang memiliki tempat bernaung dari panasnya matahari di waktu siang. Beruntunglah kita yang memiliki alas empuk untuk merebahkan diri dari lelahnya rutinas yang mengikat. Beruntunglah kita yang masih memiliki mimpi, memupuknya dan perlahan menuai hasil dari apa-apa yang sudah dijejak.

Malam ini aku bertemu muka dengan seorang bocah cantik. Ia bermata bulat besar. Binar kedua matanya menyiratkan keluguan dan tanpa cela. Rambut hitam yang baru tumbuh sebahunya sebagian dikuncir ke atas. Ia bercelana pendek dan berkaos singlet. Tanpa suara Ia memegang kicrikan, hendak meminta derma hingga pukul satu dini hari di perempatan lampu merah menuju bilangan Kalimalang. 

Tak ada raut lelah dalam binar kedua bola mata besarnya. Tak ada penyesalan pun kesedihan yang tampak pada bocah cantik itu. Tatkala tak ada yang memberinya derma, Ia menyingkir ke pinggiran, sibuk bermain sendiri dengan sebuah boneka. 

Beruntunglah kalian yang masih menggenggam kasih sayang. Beruntunglah kalian yang masih bisa makan dan bermain bersama teman dalam tema peperangan pun drama rumah tangga. Beruntunglah kalian yang tak harus menghabiskan malam, berjuang ditengah angin yang berhembus menenteng virus dan kuman. Beruntunglah kalian bukan gadis kecil cantik bermata bulat itu yang kini tengah memeluk tiang lampu merah, berbaring dan menggeliat.

Tak ada yang awas pada si bocah ini yang mungkin merindukan rumah dan orangtua yang entah kemana. Kendaraan bermotor yang mulai sepi, berlomba hendak ingin sampai di rumah dan mencecap mimpi. Ia bukan manusia. Ia tak lagi dianggap manusia saat kita hanya memandangnya indah bagai porselen dan terucap lafadz,"Kasihan dia."

Bocah kecil itu bukan manusia, saat kita juga cuma hanya memberinya sedekah tanpa mau bertanya mengapa Ia sampai berada disini, diperempatan lampu merah yang selalu mengancam bahaya. Bocah kecil itu bukan manusia, bukan lagi manusia sejak Ia menjajakan diri dengan tampang lugu dan kita hanya menoleh sekilas, berlagak paham dengan kondisinya.

Tanpa mimpi seseorang tidak akan menjadi siapa-siapa. Mimpi hadir karena kita mencecap kasih sayang. Kasih sayang memberikan dorongan dan semangat, sebuah elan vital yang menggerakkan semesta. Ia adalah pupuk terbaik yang menyuburkan benih di tanah gersang sekalipun. Ia menumbuhkan apa yang tak mungkin menjadi mungkin. Mimpi menjadi ruhnya. 

Aku terbayang si bocah cantik itu. Bayanganku mengangsa, diterpa angin malam yang ganas, Ia menggeliat tidur memeluk tiang. Bayangkan jika bocah kecil lain seperti dirinya juga ada ditiap penjuru dunia melakukan hal yang sama. Ia aset bangsa tentunya, punya potensi sebagai manusia. Tetapi kita hanya menatapnya seolah Ia bukan siapa-siapa atau apa-apa. 

Mungkin nasibnya hanya ada dua. Ia mati muda diserang angin malam saat pergi memeluk mimpi bermain boneka dengan teman sebaya. Ataukah hidup lama tanpa juga mengenal mimpi dan mengubah sendiri nasibnya. Entah kado seperti apa yang dipersiapkan Tuhan didepan sana untuk si bocah cantik itu. Semoga bukan hanya janji menuju surga yang diberikan oleh-Nya. Karena setiap duka hanya ada saat manusia hidup, begitupun apa yang kita sebut bahagia. Sisanya baik surga dan neraka juga adalah sama-sama mimpi yang termanifestasi jadi imajinasi.