Soal yang berlarat-larat, semua orang juga punya. Perihal siapa yang mengedepankan emosi, semua orang melakukan. Tak masalah, tak masalah...
Kita berkembang dan belajar dari apa yang telah lewat. Dan sampai disini, aku mengagumi diriku sendiri. Bukan suatu narsisisme yang kemudian datang setelah memutuskan sesuatu yang penting - melibatkan cinta dan rasa disana, semuanya. Melainkan suatu kesadaran baru bahwa bagaimanapun, mekanisme kedirianku emoh ditundukkan untuk menjadi sekedar sahaya. Aku kini bebas dalam rasa yang demikian absurd meski sedih juga. Tapi tak mengapa, tak mengapa... Toh, putus cinta hal biasa yang dialami manusia yang berelasi dengan tambahan bumbu-bumbu asmara.
Sepele? Atau terlalu melodramatis? Ah, terserah saja. Karena semua rasa bahagia, kecewa, kesal, marah, dan lainnya nyata kurasakan pada masa lalu dan masa yang akan datang. Tiba-tiba teringat Heidegger yang kelam itu. Ia berseloroh dalam kajian filsafatnya tentang Ada. Sungguh njelimet! Tetapi betul juga setelah kupikir ulang. Kenangan yang tertinggal di masa lalu menjadi penghalang kita untuk menyadari bahwa sesungguhnya hidup terus mengalir.
Seseorang dikenal dan dikenang dalam ritme waktu karena atribut ke-Ada-annya. Manusia hanya saling mengenal atribut-atribut yang menempel padanya sepanjang hayat. Atribut-atribut itu mencakup kualitas cum kuantitas fisik pun non fisik seperti sifat dan karakter. Dan sayangnya, kita seringkali terjebak dalam pseudo kenangan masa lalu ini. Menghamba diri dalam kondisi sedih sesedih-sedihnya. Tak apa berlaku demikian. Karena memang jika menyangkut hati semua bisa jungkir balik.
Tetapi pahamilah waktu yang terus menggerus kita baik dari segi fisik pun kesempatan. Kita yang hidup hari ini adalah sejuta kesempatan yang menggelar di kaki langit. Apapun bisa dicapai dan lakukan.
Aku lagi-lagi dihadapkan Tuhan dalam satu pelajaran tetap soal hidup. "Jangan sekali-sekali mengabsolutkan penilaianmu terhadap seseorang. Karena manusia mengalir, punya potensi berubah". Siapa kita hari ini belum tentu sama dengan siapa kita kemarin atau masa depan. Semua berkaitan dengan atribut yang sedang lekat dengan kita sekarang.
Dan saya pun turut mengalir. Saya memutuskan untuk berhenti berjalan bersama-sama dalam lorong relasi personal dengannya. Saya tak menemukan alasan selain ketakmungkinan bersamanya membayang dipelupuk mata dan mencekat kerongkongan untuk segera dilepas. Ada yang seketika terbebas dalam kekang relasi yang setelah dipikir ulang tak setara untuk saya.
Dia orang baik. Hahaha, seperti membuat obituari saja. Tak apa, toh mesti ada yang dikubur dari masa yang telah lewat bukan?
Apologia? Eksepsi? Masa bodoh mau menyebutnya apa.