doc: favim.com
Duhai senja,
Namamu seringkali dijadikan singgasana para peziarah.
Diantara sinar mentari dan lembutnya kegelapan menjelang malam, kau berdiri
dikeduanya. Layaknya koma, kau adalah jeda dimana ruang menjadi kosong dan
mendamaikan.
Jelaga,
Hitam pekat menempel pada sekat dan berkerak. Jika kau
melihat pekat, siapa yang tahu mengenai diriku? Kau pun juga tak tahu pasti.
Sejumput kerak, berdesir membangkitkan perasaan aneh dan jijik pada diriku
sendiri.
Cermin,
Kulihat diriku disana, tapi tak kukenali pantulan siapa itu.
Aku sekaligus bukan aku. Ya, begitulah adanya. Mereka bilang itu aku, tapi
bagiku itu bahkan bukan aku bahkan bayanganku. Ada yang terpisah dariku dan tak
kukenali sebelumnya. Ada harapan dan fantasi yang tak terkatakan namun tampak
dalam cermin. Ia adalah harapan sekaligus kenyataan yang tak mampu kereguk
seluruhnya.
Kata,
Aku terlalu banyak membuang kata. Semuanya menjadi omong
kosong. Kata, ia representasi apa yang kupikirkan sekaligus mereduksi kemungkinan
lain dari pikiran. Aku menjelma frasa, menggugat bait. Selalu ada yang dapat
ditentang, dan aku menentang diriku sendiri lewat kata.
Fiksi,
Biarkan aku mencipta fiksi dan mengaburkan dunia. Biar
kusembunyikan namanya di dalam fiksi dan cinta menjadi diksi dalam setiap
kata-kata yang terbentuk dari imajinasi. Agar setiap peziarah yang mencoba
menemukannya mendapati sebentuk jiwa yang layu karena fiksi menyerap realita
dan kemungkinan. Dalam fiksi, cinta dan dirinya melebur dan menggandakan diri
dalam beragam makna. (Rabu, 10/8/2011)
Kenangan,
Sendiri merupakan kesunyian tak terbantahkan dari eksistensi
seorang manusia. Kenangan hadir bagai sebuah arus sungai yang tak berkesudahan,
kadang membawa limbahan berjuta material hingga meluap dan membuat banjir
sekitar. Arus deras jutaan kubik kenangan bagai sebuah tegangan volt
supertinggi dan mengantarkan manusia pada kepapaannya pun kebanggaannya.
Kenangan membawa simfoni mengenai warna kuning dimana usang adalah album
fotonya. Ada indah, ada serapah, ada kecewa, ada bahagia, ada marah, ada
bangga, serta cinta yang pernah mampir dalam kenangan. Ia universal walau
dengan seluruh kategori particular yang membentuknya. Abadi? Tidak juga, sebab
itulah mengapa kenangan hadir sebagai arus sungai. Selalu ada sisa yang
tertinggal dan menjadi kerak di dasar batuan sungai. (Selasa, 18/10/2011)