Selasa, 27 Desember 2011

Sejumput Risalah


doc: favim.com


Duhai senja,
Namamu seringkali dijadikan singgasana para peziarah. Diantara sinar mentari dan lembutnya kegelapan menjelang malam, kau berdiri dikeduanya. Layaknya koma, kau adalah jeda dimana ruang menjadi kosong dan mendamaikan.
                                      
Jelaga,
Hitam pekat menempel pada sekat dan berkerak. Jika kau melihat pekat, siapa yang tahu mengenai diriku? Kau pun juga tak tahu pasti. Sejumput kerak, berdesir membangkitkan perasaan aneh dan jijik pada diriku sendiri.

Cermin,
Kulihat diriku disana, tapi tak kukenali pantulan siapa itu. Aku sekaligus bukan aku. Ya, begitulah adanya. Mereka bilang itu aku, tapi bagiku itu bahkan bukan aku bahkan bayanganku. Ada yang terpisah dariku dan tak kukenali sebelumnya. Ada harapan dan fantasi yang tak terkatakan namun tampak dalam cermin. Ia adalah harapan sekaligus kenyataan yang tak mampu kereguk seluruhnya.  

Kata,
Aku terlalu banyak membuang kata. Semuanya menjadi omong kosong. Kata, ia representasi apa yang kupikirkan sekaligus mereduksi kemungkinan lain dari pikiran. Aku menjelma frasa, menggugat bait. Selalu ada yang dapat ditentang, dan aku menentang diriku sendiri lewat kata.

Fiksi,
Biarkan aku mencipta fiksi dan mengaburkan dunia. Biar kusembunyikan namanya di dalam fiksi dan cinta menjadi diksi dalam setiap kata-kata yang terbentuk dari imajinasi. Agar setiap peziarah yang mencoba menemukannya mendapati sebentuk jiwa yang layu karena fiksi menyerap realita dan kemungkinan. Dalam fiksi, cinta dan dirinya melebur dan menggandakan diri dalam beragam makna. (Rabu, 10/8/2011)

Kenangan,
Sendiri merupakan kesunyian tak terbantahkan dari eksistensi seorang manusia. Kenangan hadir bagai sebuah arus sungai yang tak berkesudahan, kadang membawa limbahan berjuta material hingga meluap dan membuat banjir sekitar. Arus deras jutaan kubik kenangan bagai sebuah tegangan volt supertinggi dan mengantarkan manusia pada kepapaannya pun kebanggaannya. Kenangan membawa simfoni mengenai warna kuning dimana usang adalah album fotonya. Ada indah, ada serapah, ada kecewa, ada bahagia, ada marah, ada bangga, serta cinta yang pernah mampir dalam kenangan. Ia universal walau dengan seluruh kategori particular yang membentuknya. Abadi? Tidak juga, sebab itulah mengapa kenangan hadir sebagai arus sungai. Selalu ada sisa yang tertinggal dan menjadi kerak di dasar batuan sungai. (Selasa, 18/10/2011)

Senin, 26 Desember 2011

Balada Kakek Tua Penjual Pisang


Biarkan aku mencipta fiksi dan menulis. Menulis lagi dari awal dan menyodorkan sebuah kisah tentang apa yang kukelola dari hidup yang begitu ajaib. Tragedi menjadi latarnya namun komedi menjadi pijakannya. Betapa ternyata hidup tak sebagaimana mestinya. Ya, jika memang ada kategori sebagaimana semestinya...


Seorang kakek tua yang selalu kulihat ditepi jalan raya tampak melihat dunia dengan kedua matanya, nanar. Ada setumpuk kepedihan yang membayang disana. Namun, ia telah kebas. Kesedihan mungkin hanya sebatas luka yang mesti dihadapinya setiap hari hingga berakhirnya usia. Disampingnya sebuah sepeda tua dan beberapa sisir pisang di dalam kotak kayu sengaja dijajakan kakek tua itu. Entah ia lupa atau bodoh, bahwa dunia yang sekarang; hiruk-pikuk volume kendaraan yang bertambah tiap harinya, sekian juta polusi udara membumbung ke angkasa, hilir mudik para pekerja yang tak lagi mengenal kepentingan bersama, telah berubah. Dunia yang sekarang tidak begitu suka makan pisang. Pisang menandakan status sosial, menandakan derajat suatu kaum. Pisang berarti tidak kaya walau bergizi tinggi. Apalagi pisang yang dijajakan kakek tua yang miskin itu. Pisang yang dijajakannya tak memiliki merek dan kualitas dari badan kelayakan makanan yang berlaku di negeri ini.

Tidak, kakek tua. Pisangmu tak akan lagi laku ketika zaman yang mesti kaulalui setiap hari dalam kesenduan lebih memilih buah-buahan yang jauh memiliki merek dan derajat yang lebih tinggi. Sementara itu pisang-pisangmu tak kunjung habis dibeli orang dan mereka membusuk, memilih mati cepat ketimbang direndahkan oleh zaman yang tak lagi mengenal kesejahteraan sebagai tujuan bersama. Kau masih duduk di tepi jalan hingga mentari menguap disebelah barat. Mungkinkah ada seseorang yang masih menunggumu pulang saat senja hari? Istrimu mungkin? Anak-anak bahkan cucu yang belum kau beri makan? Dan suara perutmu mulai bergemuruh riuh rendah, kau bersiap menuntun sepeda dan sekilas menatap kotak yang terus terbuka diboncengan belakang. Kaki-tangan liatmu tak seperti dulu saat kau muda. Kini kau telah kehilangan usia dan dunia tetap tak peduli dengan sosokmu yang tiap hari duduk ditepi jalan raya. Sekedar menjual harapan pun kau tak dilirik para pembeli.

Kesedihanmu mungkin hanya sebait dibandingkan prosa yang terus mengudara ditangan para pembesar negeri yang selalu mengincar harta dan kuasa…