Senin, 26 Desember 2011

Balada Kakek Tua Penjual Pisang


Biarkan aku mencipta fiksi dan menulis. Menulis lagi dari awal dan menyodorkan sebuah kisah tentang apa yang kukelola dari hidup yang begitu ajaib. Tragedi menjadi latarnya namun komedi menjadi pijakannya. Betapa ternyata hidup tak sebagaimana mestinya. Ya, jika memang ada kategori sebagaimana semestinya...


Seorang kakek tua yang selalu kulihat ditepi jalan raya tampak melihat dunia dengan kedua matanya, nanar. Ada setumpuk kepedihan yang membayang disana. Namun, ia telah kebas. Kesedihan mungkin hanya sebatas luka yang mesti dihadapinya setiap hari hingga berakhirnya usia. Disampingnya sebuah sepeda tua dan beberapa sisir pisang di dalam kotak kayu sengaja dijajakan kakek tua itu. Entah ia lupa atau bodoh, bahwa dunia yang sekarang; hiruk-pikuk volume kendaraan yang bertambah tiap harinya, sekian juta polusi udara membumbung ke angkasa, hilir mudik para pekerja yang tak lagi mengenal kepentingan bersama, telah berubah. Dunia yang sekarang tidak begitu suka makan pisang. Pisang menandakan status sosial, menandakan derajat suatu kaum. Pisang berarti tidak kaya walau bergizi tinggi. Apalagi pisang yang dijajakan kakek tua yang miskin itu. Pisang yang dijajakannya tak memiliki merek dan kualitas dari badan kelayakan makanan yang berlaku di negeri ini.

Tidak, kakek tua. Pisangmu tak akan lagi laku ketika zaman yang mesti kaulalui setiap hari dalam kesenduan lebih memilih buah-buahan yang jauh memiliki merek dan derajat yang lebih tinggi. Sementara itu pisang-pisangmu tak kunjung habis dibeli orang dan mereka membusuk, memilih mati cepat ketimbang direndahkan oleh zaman yang tak lagi mengenal kesejahteraan sebagai tujuan bersama. Kau masih duduk di tepi jalan hingga mentari menguap disebelah barat. Mungkinkah ada seseorang yang masih menunggumu pulang saat senja hari? Istrimu mungkin? Anak-anak bahkan cucu yang belum kau beri makan? Dan suara perutmu mulai bergemuruh riuh rendah, kau bersiap menuntun sepeda dan sekilas menatap kotak yang terus terbuka diboncengan belakang. Kaki-tangan liatmu tak seperti dulu saat kau muda. Kini kau telah kehilangan usia dan dunia tetap tak peduli dengan sosokmu yang tiap hari duduk ditepi jalan raya. Sekedar menjual harapan pun kau tak dilirik para pembeli.

Kesedihanmu mungkin hanya sebait dibandingkan prosa yang terus mengudara ditangan para pembesar negeri yang selalu mengincar harta dan kuasa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar