Biarkan aku mencipta fiksi dan
menulis. Menulis lagi dari awal dan menyodorkan sebuah kisah tentang apa yang
kukelola dari hidup yang begitu ajaib. Tragedi menjadi latarnya namun komedi
menjadi pijakannya. Betapa ternyata hidup tak sebagaimana mestinya. Ya, jika
memang ada kategori sebagaimana semestinya...
Seorang kakek tua yang selalu kulihat
ditepi jalan raya tampak melihat dunia dengan kedua matanya, nanar. Ada
setumpuk kepedihan yang membayang disana. Namun, ia telah kebas. Kesedihan
mungkin hanya sebatas luka yang mesti dihadapinya setiap hari hingga berakhirnya
usia. Disampingnya sebuah sepeda tua dan beberapa sisir pisang di dalam kotak
kayu sengaja dijajakan kakek tua itu. Entah ia lupa atau bodoh, bahwa dunia
yang sekarang; hiruk-pikuk volume kendaraan yang bertambah tiap harinya, sekian
juta polusi udara membumbung ke angkasa, hilir mudik para pekerja yang tak lagi
mengenal kepentingan bersama, telah berubah. Dunia yang sekarang tidak begitu
suka makan pisang. Pisang menandakan status sosial, menandakan derajat suatu
kaum. Pisang berarti tidak kaya walau bergizi tinggi. Apalagi pisang yang
dijajakan kakek tua yang miskin itu. Pisang yang dijajakannya tak memiliki
merek dan kualitas dari badan kelayakan makanan yang berlaku di negeri ini.
Tidak, kakek tua. Pisangmu tak akan
lagi laku ketika zaman yang mesti kaulalui setiap hari dalam kesenduan lebih
memilih buah-buahan yang jauh memiliki merek dan derajat yang lebih tinggi.
Sementara itu pisang-pisangmu tak kunjung habis dibeli orang dan mereka
membusuk, memilih mati cepat ketimbang direndahkan oleh zaman yang tak lagi
mengenal kesejahteraan sebagai tujuan bersama. Kau masih duduk di tepi jalan
hingga mentari menguap disebelah barat. Mungkinkah ada seseorang yang masih
menunggumu pulang saat senja hari? Istrimu mungkin? Anak-anak bahkan cucu yang
belum kau beri makan? Dan suara perutmu mulai bergemuruh riuh rendah, kau
bersiap menuntun sepeda dan sekilas menatap kotak yang terus terbuka
diboncengan belakang. Kaki-tangan liatmu tak seperti dulu saat kau muda. Kini
kau telah kehilangan usia dan dunia tetap tak peduli dengan sosokmu yang tiap
hari duduk ditepi jalan raya. Sekedar menjual harapan pun kau tak dilirik para
pembeli.
Kesedihanmu mungkin hanya sebait
dibandingkan prosa yang terus mengudara ditangan para pembesar negeri yang
selalu mengincar harta dan kuasa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar