Banyak orang yang cuma bisa
mengasihi diri sendiri dan tidak dapat menerima pandangan berbeda orang lain.
Dari apa yang dirasakannya, ia merasa adalah orang yang paling sengsara dan
menderita dibandingkan siapapun. Terlebih ia memperparahnya dengan berlagak
seperti santa dihadapan orang lain. Ia lupa, hidup setiap orang dijalankan
berdasarkan pilihan-pilihan yang bisa jadi potensi konflik karena tidak seperti
apa yang dipikirkannya. Betapa memuakkannya melihatmu diposisi seberang sana
yang melambai-lambai seolah tenggelam oleh kepedihan karena “salah”-ku.
Rasanya ingin berlari kencang,
kalau bisa sekalian terbang. Atau mungkin hilang ingatan lebih baik?? Apa saja
tak masalah yang penting semua rasa yang ada disini terlupakan, kalau boleh
untuk selama-lamanya. Peduli setan dengan mereka yang pura-pura peduli padaku.
Tak usah kasih perhatian berlebih dan seolah-olah sakit hatinya jika aku lemah
sedikit saja. Urusanku adalah urusanku.
Kau tak perlu turut campur. Pikirmu kau siapa, hah? Aku muak menganggap diriku salah sementara kau terlihat oleh mereka sebagai yang mengalah. Kau tidak tahu bagaimana rasanya saat orang-orang menganggap aku mempermainkan dirimu sedemikian rupa. Kau dengan raut wajahmu yang memelas setiap kali kita berselisih paham, membuat mereka semakin menyudutkanku. Aku tidak tahu diri, egois dan besar kepala. Tak tahu diuntung! Jahanam!
Kau tak perlu turut campur. Pikirmu kau siapa, hah? Aku muak menganggap diriku salah sementara kau terlihat oleh mereka sebagai yang mengalah. Kau tidak tahu bagaimana rasanya saat orang-orang menganggap aku mempermainkan dirimu sedemikian rupa. Kau dengan raut wajahmu yang memelas setiap kali kita berselisih paham, membuat mereka semakin menyudutkanku. Aku tidak tahu diri, egois dan besar kepala. Tak tahu diuntung! Jahanam!
Mereka memang tak bicara langsung
padaku pun mencerna hingga hina dina diriku. Namun, akan kuberitahu sebuah
rahasia perempuan padamu. Kami adalah makhluk yang peka terhadap sekeliling.
Kami punya perasaan yang kuat terhadap suatu hal.
Irasional!
Ah, itu kan yang selalu ada
dipikiranmu, dibatok kepalamu yang isinya tak lebih banyak daripada punyaku.
Kau memang sok intelek, padahal melankolis juga. Kau itu sebenarnya lemah
dibalik kelaminmu yang dapat tegak panjang. Aku tahu kau diam-diam menangis
saat aku bilang hendak memutuskan hubungan denganmu.
Kau semakin membuatku tersudut dan merasa bersalah luar biasa terhadapmu. Padahal aku tak salah apa-apa. Semua ini hanya permasalahan cocok atau tidak cocok satu dengan yang lain. Aku tak merasa nyaman bersamamu. Kau tidak menanggapi perkataan pun pemikiranku. Kau biarkan aku bicara sendiri tanpa berusaha mendebatnya. Kau sungguh sok pintar dengan diammu itu. Alasanmu hanya karena tak ingin menyakiti hatiku kalau sampai kau ikut mendebatku. Kau pikir aku tak tahu? Salah besar!!
Kau semakin membuatku tersudut dan merasa bersalah luar biasa terhadapmu. Padahal aku tak salah apa-apa. Semua ini hanya permasalahan cocok atau tidak cocok satu dengan yang lain. Aku tak merasa nyaman bersamamu. Kau tidak menanggapi perkataan pun pemikiranku. Kau biarkan aku bicara sendiri tanpa berusaha mendebatnya. Kau sungguh sok pintar dengan diammu itu. Alasanmu hanya karena tak ingin menyakiti hatiku kalau sampai kau ikut mendebatku. Kau pikir aku tak tahu? Salah besar!!
Ting! Tong!
“Kereta tujuan Bogor yang akan
berangkat lebih dahulu adalah kereta ekonomi biasa. Kereta ekonomi AC tujuan
Bogor baru berangkat dari stasiun Pangeran
Jayakarta.”
Keretaku masih lama.
“Tempo, Media, Warta seribu. Kompasnya
dua ribu,” celoteh penjaja Koran disekitaran stasiun siang ini.
Aku melirik sekilas ke arah
mereka yang berkoar-koar menjajakan koran. Aku ingin baca koran. Sudah lama tak
tahu kabar mengenai negeri ini. Tapi ah, aku pasti tak akan serius membaca. Bagaimana
bisa membaca dengan tenang jika perasaanku tak karuan begini. Ingin marah tapi
tak kuasa di saat begini, apalagi sendirian di stasiun yang ramai orang seperti
sekarang.
Sungguh memuakkan! Mau marah saja mesti kutahan kuat-kuat. Aku hanya mampu mengatupkan rahang kuat-kuat hingga sakit persendian mulutku. Sungguh, aku ingin teriak kencang bagai orang kesetanan. Kalau perlu sampai kejang-kejang biar iblis yang bersemayam dalam diriku terpuaskan birahinya.
Sungguh memuakkan! Mau marah saja mesti kutahan kuat-kuat. Aku hanya mampu mengatupkan rahang kuat-kuat hingga sakit persendian mulutku. Sungguh, aku ingin teriak kencang bagai orang kesetanan. Kalau perlu sampai kejang-kejang biar iblis yang bersemayam dalam diriku terpuaskan birahinya.
Ting! Tong!
“Sebentar lagi di jalur satu
kereta ekonomi tujuan Bogor akan melintas stasiun Tebet. Di mohon para penumpang
bersiap karena kereta yang akan masuk hanya terdiri dari empat gerbong.”
Suara petugas kereta dari mikrofon diiringi gerakan tergesa oleh sebagian besar penumpang. Banyak diantara mereka yang saling mendorong satu sama lain, hendak tak ingin kehilangan kesempatan naik kereta yang lebih dulu.
Suara petugas kereta dari mikrofon diiringi gerakan tergesa oleh sebagian besar penumpang. Banyak diantara mereka yang saling mendorong satu sama lain, hendak tak ingin kehilangan kesempatan naik kereta yang lebih dulu.
“Huuuu, gerbong pendek!” runtuk
seorang bapak tua dengan beberapa kardus bawaannya.”Ayo, ayo, pasti ramai nih!”
Jelas akan ramai sekali kereta
ekonomi biasa. Untungnya aku membeli tiket kereta ekonomi AC. Aku hanya
berharap keretaku nanti tak begitu penuh sehingga aku masih kebagian jatah
duduk. Setelah itu akan kupasang mp3, medengarkan lagu-lagu favorit sambil
memandangi pemandangan diluar dan disepanjang perjalanan menuju Bogor. Rasanya pasti
menyenangkan dan damai. Aku membayangkan diriku berada ditengah-tengah kebun
jambu biji dengan buah-buah yang hampir ranum dan berbau manis. Ingin kupetik
satu diantaranya dan memakannya dengan lahap. Ah, pasti menyenangkan sekali.
Ting! Tong!
“Kereta ekonomi AC telah tersedia
di stasiun Manggarai. Penumpang ekonomi AC Bogor harap bersiap-siap. Hati-hati
dengan barang bawaan anda.”
Kusampirkan ke depan tas bututku
yang selalu setia menemaniku sejak masih sekolah dasar. Aku berdiri menanti
kereta tiba. Udara begini cerah
sungguh indah. Sangat sayang jika aku gundah gulana sekarang ini. Sudahlah, aku
tak ingin memikirkanmu lagi. Aku tak ingin membebani pikiranku mengenaimu.
Grrr..grrr…grrr…
Telepon genggamku bergetar. Kuambil
dari saku celana. Sebuah pesan pendek darimu rupanya. Aku menghela napas
panjang.
Aku sayang kamu. Hati-hati dijalan
Cepat-cepat kuhapus pesanmu. Tak mengertikah
kau kita telah putus??!! Aku telah mengakhiri hubunganku denganmu. Kau memang
baik. Namun aku tak sayang padamu. Tak merasa cocok denganmu. Kubilang waktu
itu saat kita terakhir bertemu bahwa aku tak dapat menyayangimu, mencintaimu
karena aku tak ingin bersama dengan siapa pun saat ini. Sesederhana itu. Tapi kau
tak mengerti dan memintaku menjabarkan apa yang kurang darimu untuk dapat kau
perbaiki. Bukan itu maksudku. Kau cukup menjadi dirimu sendiri, begitu pun aku.
Aku hanya tak ingin mencintai siapa pun saat ini. Lagipula hadirnya cinta tak
dapat diminta dan disengaja. Kau pun tetap tak terima penjelasanku.
Apa peduliku kini? Aku sudah
menganggap selesai hubungan kita. Keretaku tiba. Aku akan belajar melupakanmu
mulai saat ini.
Bagaimana jika ternyata kau
adalah jodoh yang dimaksudkan Tuhan untuk melengkapi hidupku?
Aku tersenyum kecut. Biarlah kalau
memang ternyata begitu. Biarkan menjadi urusan Tuhan. Aku tak ingin tahu
mengenai itu sekarang, sementara kereta telah terlihat diujung sebelah
selatan. Selamat tinggal.
(September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar