Sabtu, 05 November 2011

Debu Kata Usang


Semilir angin berhembus pelan. Menyapu kilauan pekat yang tergambar jelas diwajahku bagai sebuah lukisan penuh debu dan hampir usang. Perlahan panasnya matahari siang ini digantikan oleh sejuknya hembusan angin di bawah pohon rindang yang mungkin sudah berusia puluhan tahun. Aku selalu menyukai tempat ini. Gedung megah yang menjulang dihadapanku, walau tampak sangat hebat dengan keagungan arsitekturnya, bagiku sangat kuno. Sangat membosankan sebenarnya. Hanya puluhan ruang yang dibangun dengan mengabaikan pentingnya konsep keruangan tanpa pintu dan jendela yang jelas pada perkembangan arsitektur sebelum era sekarang ini. Hanya kumpulan kaca yang mencoba menggantikan fungsi pintu dan jendela serta mengaburkan realitas ruang yang sarat perhitungan matematik logis. Pola hitungan yang dipakai dalam penggunakan kaca pada bangunan ini adalah ingin mengembalikan konsep keruangan pada aspek alam sehingga jika kau lemparkan pandanganmu ke segala arah , maka yang kau dapati pun hanya setumpuk batu yang menyusun bangunan ini dan disangga dengan banyak kaca di mana kau dapat melihat langsung apa yang terjadi diluar sana tanpa perlu beranjak dari tepatmu berada di dalamnya.
Melihat bangunan ini selalu mengingatkanku dengan suasana perpustakaan di Eropa pada zaman pertengahan saat gereja yang memiliki peran penting dalam hampir segala aspek kehidupan masyarakat dimana arsitektur yang berlaku zaman itu pun menggambarkan betapa suramnya hidup tanpa keindahan, tanpa seni, tanpa keberagaman. Semuanya hampir serupa. Semuanya mengusung kesatuan yang semu sama seperti apa yang didengungkan oleh pihak gereja. Kira-kira begitulah gambaran umum mengenai bangunan megah dibelakangku yang entah mengapa begitu kusukai walau bentuknya sangat membosankan. Betapa tidak membosankan, bangunan ini memang bagus luar biasa tapi ia memiliki kekurangan yang sangat janggal mengingat kita tidak lagi hidup di zaman pertengahan, melainkan zaman dimana yang berbeda dapat mulai menampakkan diri dan menyatakan kediriannya-zaman dimana demokrasi menjadi mantra semua dapat hadir dan dihargai hak-haknya. Bangunan ini  kurang warna. Tidak, bahkan tidak diwarnai sama sekali. Kelabu saja. Betapa membosankan. Begitu kontras dengan apa yang hadir disekitarnya; sebuah danau berarus tenang berwarna kehijauan, berbagai pepohonan yang tumbuh dan memancarkan kilau pesona warna hijau yang mengagumkan, jalan setapak yang dilalui banyak orang lengkap dengan berbagai ekspresi yang tak kalah memberikan nuansa ceria, tiga taman yang sedang dibangun dan mulai menampakkan rona alam dan sejumput canda mereka yang bermain disana. Bangunan kelabu ini menyiratkan tempat beristirahat dengan tenang walau dunia berputar tak pernah sabaran.
Tidak, bangunan ini adalah sebuah mahakarya. Suatu usaha menghadirkan masa lampau ke zaman yang penuh hiruk-pikuk dan keberagaman. Ia adalah penegasan dari demokrasi yang tampil sebagai ruang kosong dan cair dimana siapa saja, apa saja dapat hadir tanpa perlu takut berbeda dengan tetangganya.
Kembali kurenungi pikiran-pikiran liarku sambil tetap mencoba menikmati suasana pengap dan panas siang ini. Siapa kiranya manusia di dunia yang tak pernah berpikir sekejab pun? Adakah yang memiliki kehendak untuk tidak berpikir sejenak dan permohonannya dikabulkan oleh Tuhan? Ya, mereka yang sudah mati tidak lagi berpikir dan permohonannya pun menguap seiring hasrat yang tak lagi dipunyainya sebagai makhluk yang hidup dan bernapas. Karena jiwa tak lagi ada, entah kemana…
Jika ada surga, aku ingin surgaku bentuknya seperti tempat ini. Banyak pepohonan dan terdapat danau ditengahnya untuk kupandangi sepanjang hari. Aku bersedia duduk disampingnya, disebuah fondasi batu bata yang sengaja dibuat mirip agora. Akan kulantunkan sajak khas para pecinta di sore hari dimana kicauan burung menjadi orchestra yang mengiringi penjiwaanku saat menyampaikan sebaris kata. Akan kusampaikan dengan lantang pada Tuhan dan malaikat di surga bahwa aku telah bahagia. 



Semua tentu terjadi dalam kepalaku saat seseorang datang menghampiri dan langsung mengambil tempat tepat disebelahku. Ia membuyarkan khayalanku tentang nirwana. Seseorang yang tersenyum kearahku dan aku hanya menatapnya sambil lalu. Melihat air yang terangkum di danau lebih menarik perhatianku ketimbang kedatangannya.
“Mari kita bicarakan tentangmu.”
Aku menoleh ke arahnya. Ia terlihat sedikit pucat, cemas. “Kenapa? Memangnya ada apa?”
“Kau berbeda.”
“Semua orang berbeda, bahkan dirimu sendiri pun berbeda dengan dirimu yang kemarin. Kita semua terjebak dalam risalah menjadi-becoming”, jawabku sambil mengerling padanya. Ia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu. Ya, ia tahu benar aku sedang risau dan ia cemas karenanya.
Ia terdiam dan menatap lurus ke depan. Aku menatapnya dan tersenyum kecut. Sekelumit pikiran liar memang tengah mengganggu diriku. Sebagian sisanya karena dirinya. Dirimu maksudku…
“Ya, semua orang berbeda dan menjadi dalam jejak kehidupan mereka. Dan itu masalah. Namun aku ingin mengetahui masalahmu.”
“Bukan sesuatu yang besar dan pantas diceritakan. Aku baik-baik saja.”
Bagaimana mungkin menceritakan apa yang bergumul dan berkoalisi menjadi kanker dalam pikiranku jika kau salah satu sebab kanker itu mengerak dalam batok kepalaku? Ini hanya sebuah lelucon. Percakapan ini suatu kesia-siaan. Aku tetap harus berjarak denganmu karena masalah ini. Bukan karena kau berbahaya, menurutku, melainkan karena tak mungkin bagiku berbagi kecemasan mengenai dirimu sendiri.
“Setidaknya bercerita dapat membantu meringankan bebanmu”, ujarnya.
Aku menatapnya lekat. Gurat wajahnya tampak sedikit kelabu. Ia seperti bangunan yang tepat berdiri dibelakangku. Kau sedang sakit namun kau memutuskan untuk pergi kesini dan menemuiku? Mengapa? “Kau masih sakit kan? Untuk apa menemuiku? Kau kan bisa bilang kalau kau masih sakit dan kita masih dapat berjumpa kali lain saat kau sembuh nanti.”
“Ah, kita sedang tidak membahas tentang sakitku. Lagipula aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dapat bertemu denganmu. Tidak setiap hari kita berjumpa dan aku tidak ingin kehilangan kesempatan itu walau aku sakit.”
“Jangan begitu. Aku merasa bersalah atasmu karena saat sakit pun kau mau menemuiku.”
Ia terdiam sesaat untuk mengambil napas. Tubuh besarnya terlihat kelelahan. “Jangan merasa bersalah. Ini pilihanku untuk bertemu denganmu. Lagipula melihatmu selama sekian menit membuatku segar sekali”, katamu sambil tersenyum.
“Ha..ha..ha…” Aku tersipu mendengar ucapannya dan tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Kau memang penipu. Pernah kukatakan jangan lagi merayuku tapi kau tetap melakukannya.
“Kau terlihat sangat cantik saat tertawa. Wajahmu begitu hidup. Tetaplah seperti itu.” Tiba-tiba ia berkata demikian padaku. Aku berhenti tertawa dan menatapnya, ia masih tersenyum. Entah mengapa seketika aku merasa sedih. Air mataku hendak jatuh tapi kutahan ia baik-baik. Tidak, aku tidak boleh katakan apapun padanya. Jangan cerita apa-apa.
Banyak hal hadir lagi dalam batok kepalaku. Kata seseorang, hal paling sulit yang mesti dihadapi manusia adalah dirinya sendiri. Ya, dirinya sendiri dan bukan orang lain. Kita mengalami banyak hal dalam hidup, sadar pun tak sadar. Segala perbuatan bersumber dari pembentukan diri sebelumnya. Semua perasaan; marah, kecewa, bahagia, gembira, sedih dan lainnya merupakan bumbu yang menjadikan hidup berwarna dan berbeda satu dengan lainnya. Menerima perbedaan selalu menjadi hal yang sulit karena hasrat yang juga dimiliki manusia membuatnya enggan menerima perbedaan yang tak dikehendaki olehnya. Perbedaan adalah liyan, sesuatu yang tak dikenal. Sesuatu yang tak dikenal merupakan wilayah di mana ketidakpastian menjadi jebakan yang agak menyakitkan bagi siapa saja yang menginginkan kepastian.
Pelajaran yang paling sulit dalam memahami diri sendiri adalah menerima bahwa dirimu tidak sepenuhnya seperti apa yang kau pikirkan; baik seutuhnya. Saat kau berhadapan dengan orang lain dan kau bertindak menyakitinya, kau berpikir ulang bahwa ternyata kau bukanlah orang baik. Kau bukan orang baik sama sekali. Kau hanya seseorang yang dapat bertindak baik sekaligus buruk. Dan itulah aku.
Ya, baru-baru ini aku menyadari bahwa diriku adalah seseorang yang jahat dan egois. Kupikir selama ini aku adalah orang yang penuh pertimbangan dan selalu berhati-hati. kukendalikan semua hal yang mungkin dihadapan orang lain agar aku tampak sebagai si baik bahkan si bijak. Namun, bertemu dengannya dan seorang lainnya dalam masa hidupku kini menunjukkan siapa diriku yang selama ini tidak kusadari. Atau setidaknya enggan kuakui. Aku adalah si jahat karena egois dan selalu menang, sementara yang lain rela mengalah demi kemauanku. Betapa hal ini tidak menyesakkanmu saat kau tahu bahwa aku hanyalah seorang dungu yang sok pintar, seorang serakah yang sok dermawan, seorang gegabah yang sok bijak, dan seorang pecundang yang sok pemberani. Dia yang ada di sampingku kini adalah salah satu korban yang telah kubuat sakit tetapi tetap ingin berada di dekatku.
Aku menatapmu sekilas dan kembali kupekuri air yang berwarna kehijauan di danau. Ada banyak kata yang mengganjal dalam benakku dan tersangkut dibibirku. Aku selalu haru bersamamu. Kutahan air mataku karena aku tak ingin kau berpikir aku selalu sedih. Kulayangkan pandanganku kesekeliling tempat ini untuk mengalihkanku menatap kedua matamu yang cemas melihatku. Aku ingin kuat dihadapanmu, walau setiap usahaku selalu luruh saat kau menatapku dengan sorot matamu yang menyiratkan ketulusan.
Aku menghadirkan metafora padamu untuk menjelaskan apa masalahku. Banyak kata yang tak berharga kusampaikan padamu. Namun, satu hal yang tak kusampaikan padamu: “Aku menyayangimu”

1 komentar:

  1. hanya manusia-manusia dalam sinetron Indonesia yang cuma memiliki satu sifat. yang berbaju putih untuk sang baik, yang berbaju hitam adalah para penjahat. seolah-olah, pengguna jaket kulit hitam tak pernah beramal untuk rumah ibadah, atau yang berjilbab putih tidak pernah bohongi suaminya yang juga seorang alim. manusia yang dialektik tak pernah mereka gambarkan di situ. manusia dialektik dengan berbagai sifatnya adalah mereka yang utuh. Seorang bijak bisa kagumi keindahan sisi terang, sekaligus buramnya sisi gelap rembulan yang tak rata. atas nama cinta, segalanya dapat didilogkan. bila tak mampu terbahasakan,maka cinta sudah tiada,lanjutkan mengembara.jika kau sampaikan kalimat terakhir itu padanya waktu itu, lelaki muda yang tak terlalu tampan itu pasti akan mengatakan "aku juga".

    BalasHapus