Kadang kau
mengabu dan aku kehabisan sumbu untuk menyulut bara dalam sejumput asa. Kadang
kau membekas dan aku menghapusnya sesak karena sukma menjelma kabut. Aku
menggenggam rona agar kusimpan jadi milikku saja dan kau takkan pernah
menemukannya. Ada begitu banyak kubangan yang mesti kau lalui untuk sampai ke
sahara. Aku masih menghirup senja, masih mengurung makna, membual kata kosong
dan dijajakan saat para pengelana mulai berziarah ke padang penuh ilalang. Aku
abui kau dan hempaskan seiring angin berhembus dan tak ada lagi jejak, ataupun
luka…
Duhai durjana,
perihal apa yang kau letakkan padaku dan menjadikannya sejumput kesedihan baru?
Dalam risalahmu kebenaran patut hadir dan merayakan apa yang disebut bahagia.
Tapi tak pernah ada yang benar dalam caraku memandang surga dan cinta. Tak ada
apa-apa tentang pelangi dan nirwana yang disinggahi para kekasih. Semua hanya
rona. Semua hanya ilusi. Semua hanya basa-basi…
Pekatnya malam
mengaburkan kesedihan. Air mata bukan lagi pertanda kegundahan. Hanya suatu
hempasan emosi yang biasa saja. Tetapi aku lain, wahai arjuna. Air mata ku
berharga melebihi emas permata. Kusimpan ia untuk kuhujankan pada yang terkasih
yang belum juga kunjung datang. Segenggam manisan buah memenuhi mulutmu,
membasahi bibirmu yang bulat mungil. Aku mendamba sebuah singgasana di mana di dalamnya
aku menemukan dia. Namun ia kini sudah mengabu, meninggalkan rona pada awan
yang berarak banyak. Ada kisah yang mesti diakhiri. ada kitab lain yang mesti
diisi. Tapi dengan apa?...
Jika sampai waktuku
mencinta seorang biasa. Kutahu aku akan bahagia sekaligus menderita. Jika tuan,
dapat jabarkan cinta lewat kata dan kiranya menyentuh hati dan pikiran saya,
maka sudilah tuan menjadi sang bijak yang menunjukkan kebenaran. Karena saya
hanya rumput liar yang belum sudi dipangkas maupun diklasifikasikan ke dalam
jenis apapun. Aku hanya ingin begini, tetap seperti ini. Tak ingin ditemukan.
Setidaknya tunjukkan aku dulu bagaimana caramu akan memperlakukanku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar