Minggu, 26 Februari 2012

Perempuan Menguap Walau Punya Kata dan Bahasa


 http://weheartit.com/itsalexlopez


Sulit menjadi wanita. Ah, penggunaan kata yang merujuk pada manusia yang bervagina pun masih kontroversial. Ada sebagian pihak yang menganjurkan pemakaian kata perempuan untuk merujuk pada mereka yang juga diberkahi dengan rahim dimana jutaan bahkan lebih orang hebat lahir daripadanya. Penggunaan kata wanita untuk merujuk pada kami yang punya vagina dan rahim dianggap merendahkan harkat karena makna kata tersebut berarti sebagai jenis kelamin yang sukarela ditata oleh jenis kelamin oposisinya, pria.
 
Biar menyenangkan semua pihak, baiklah saya akan menggunakan kata perempuan untuk seterusnya dalam tulisan ini. Untuk tulisan yang lain, insyaallah kalau ingat akan dipakai terus. Amin…

Saya bilang sulit menjadi perempuan. Dalam banyak hal yang melibatkan partisipasi perempuan di ruang publik, peran perempuan masih dikerdilkan. Untuk wilayah bahasa saja, perempuan tak punya bahasanya sendiri yang dapat merepresentasikan diri dan kondisinya. Semua bentukan patriarki. Lebih menderitanya lagi, saat perempuan berusaha berbicara di ruang publik, banyak pihak yang masih menyangsikan keabsahan dan tingkat pengetahuan perempuan. Kalau kata upin&ipin ,”kasihan, kasihan, kasihan…”

Misalnya saja dalam forum formal seperti diskusi kelompok kecil saja, seringkali pendapat perempuan diabaikan. Padahal ia baru saja akan menyampaikan apa yang menurutnya. Namun pendapatnya main di-cut begitu saja oleh sebagian orang sembari melengos pura-pura tuli saat perempuan berbicara. Atau dalam sebuah relasi kedekatan personal dengan jenis kelamin oposisi, perempuan juga sering dianggap tak punya bahasa bahkan mungkin tak paham bahasa yang digunakan pasangannya. Laki-laki seringkali mengklaim diri mereka paling rasional dengan argumentasi super komprehensif yang berbasis pada persoalan makro dan berkaitan dengan jumlah massa yang besar, sementara perempuan yang berbicara lewat pengalamannya dianggap tak rasional dan perasa. Padahal yang terjadi tidak sekaku itu. Tidak pernah sekaku itu, saudara-saudari!

Perempuan yang memiliki keterbatasan bahasa dan pengalaman memang hanya akan berbicara mengenai apa yang ia alami dan pelajari sehingga menurut saya, itulah salah satu alasan mengapa biasanya perempuan dianggap sangat sensitif dan perasa. Namun bukan berarti ia miskin nalar. 
 
Saya teringat tagline sebuah iklan produk kecantikan, ”karena perempuan ingin dimengerti”, rasanya memang benar. Bukan hanya oleh sesamanya, melainkan juga oleh oposisinya. Kerelaan laki-laki untuk mau memahami sisi perempuan yang satu ini memang bukan perkara gampang, karena implementasinya dibutuhkan kesabaran, kerelaan, dan kebesaran hati bahwa perempuan butuh diberikan tempat, perhatian, serta kesempatan yang layak. 
 
Saya percaya dengan apa yang pernah disampaikan Freud, si bapak psikoanalisis bahwa perempuan memiliki histerianya yang tak disadari. Kepercayaan ini dapat saya jawab karena keterbatasan kesempatan pada perempuan dibandingkan dengan jenis kelamin oposisinya, laki-laki. Saat perempuan mencoba menyuarakan suara hatinya dan tidak diberikan ruang apalagi didengarkan, maka ia sebagai pihak yang selama ini menjadi subordinat akan menyimpan segala rasa kecewa, marah, sedih, dan lainnya secara tak sadar di mana nantinya endapan emosi tersebut menumpuk menjadi histeria. Sehingga jangan heran jika perempuan lekat dengan klaim-klaim semacam emosi-an, makhluk yang tak tenang, tak berpikir, serta sederet julukan lain yang menyudutkan perempuan.

Hah, sedihnya menjadi seorang perempuan. Saat ia ingin ada yang mendengarkan banyak orang tak peduli. Namun saat banyak orang butuh pelampiasan libidonya, banyak yang mencari perempuan karena hanya menginginkan tubuhnya terutama vaginanya tanpa pernah mau sedikit saja belajar mendengarkan apa yang dirasakan perempuan. 
 
Terkutuklah kalian yang hanya berpikir dengan kelamin saja!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar