Rabu, 31 Oktober 2012

Jemari (tak) Sia-sia

http://ffffound.com/image/2e227f6b4257b89338bc10e91f99fcc24fc4489c


Jemari ini tak pernah mengurai harapan. Serangkaian aksara yang menjelma mantra soal kehidupan banyak menguar dan hilang diterpa angin tanpa daya, tanpa gairah. Lama kelamaan harapan berubah menjadi tanpa rasa. Semua tampaknya sia-sia saat daya pekat hidup yang begitu-begutu saja semakin membebat. Dan bahkan aku telah kehilangan rasa untuk tetap melihat satu tujuan yang hendak kuraih di depan sana. 

Bising! 

Semrawut!

Penat!!!

Seluruh isi kepalaku meluber, menguap begitu saja dan tak ada sisa-sisa yang membuatku bangkit dan tetap berjalan lurus ke satu pusaran.

Telah kukhianati setiap tetes darah yang dikorbankan cinta dalam rentang waktu yang tak lagi berbilang. Kusia-siakan setiap “amin” yang terlontar di akhir lafadz doa seluruh jiwa. Aku gadaikan semuanya demi apa yang kusebut “bahagia”.

Bahagiaku semu. Tak ada harapan disana. Kumatikan semua masa hingga kehampaan dan hampir kosong ku di dalamnya. Hanya ada aku tanpa seorang pun juga. Hanya ada aku yang mematikan asa, mematikan cita-cita. Aku menolak kebesaran yang sudah diberkahi padaku sejak dahulu kala. Aku menolak memproduksi cinta dan terus-terusan terlena konsumerisme berhala jiwa.

Aku tak pernah kemana-mana. Hanya selingkaran kecil dari dunia tempatku hidup. Kulupakan mimpi menjelajah jiwa dunia, menjelajah apa yang hendak menjadi legenda.

Cacatku hampir permanen. Layaknya ideologi, ia kini menjelma iman. Kutarikan tarian para sufi demi sehempas ekstase. Berharap dalam keadaan apapun aku akan merasa orgasme mencecap hidupku yang sia-sia.

Tak kutemukan juga Tuhan disana. Memang tak ada Tuhan dalam gerak diam dan menjadi sia-sia. Harus apakah aku?

Kau sudah tahu jawabannya, anakku. Terngiang pesan ayah yang mudah-mudahan sedang duduk bersama Tuhan. Bukan untuk menjadi sia-sia dan berhenti belajar tentunya.

Namun aku masih hampir sekarat dalam harapan yang kunjung berlari menjauhi jemari. Masih adakah kata yang tersisa untuk sejumput jiwa yang didera sengsara karena hidup sia-sia?

Coba gagahi aksara, huruf demi huruf. Coba lafadzkan kata baris demi sebaris. Coba ciptakan mantra dan ubahlah dunia…

Jumat, 05 Oktober 2012

Diam, Mencintaimu

http://www.capitalnewyork.com



Dalam diam, 
di setiap sudut yang hampir mati suri 
masih menggeliat asa untuk menggapai hidup, menggapai cinta

Term-ku terlalu umum dan kau tak percaya dalam universalitas masih ada kesungguhan, masih ada relativitas

Aku mengikuti Tuhan, 
berjingkat-jingkat agar tak ketahuan oleh siapa pun juga
Aku diam dan berdoa, 
merapal kata bermantra dan kau tersenyum manja dalam imaji bilangan sempurna

Diam adalah jeda,
sebuah ruang saat  ekstase menuju cinta yang Ilahiah menjadi proses yang membuat gamang, gembira, merana, dan bahagia
SEMPURNA!

Ku nikmati hujan dalam diam yang melafadzkan kidung setiap pecinta,
sebuah doa untuk mereka yang dikasihi mesra
Sebuah harapan mengenai apa-apa yang Tuhan berkehendak atas dirimu, diriku, dan diri-diri yang lain

Aku mencintaimu untuk setiap jeda dan hujan yang kita tunggu-tunggu dikuartal  terakhir tahun ini
Aku mencintaimu dalam sekam yang tak hendak kubakar hingga tersisa arang dan asap
Aku mencintaimu tiba-tiba dan mungkin akan selesai mencintaimu tiba-tiba juga
Aku mencintaimu bagaimanapun

Dan malam adalah favoritku seluruh dunia
Pluralitas menguap, universalitas menguar 
Hanya tinggal residu kehidupan yang tersampir dan menggelayut mesra