Aurora
Oleh : Fitri Kumalasari
"Aku ingin melihat Aurora," katamu suatu kali.
Aku hanya memandangimu tanpa sepatah kata.
"Itu mimpi," tambahmu.
***
Kau kini tak lagi bermimpi. Bahkan tak akan ada lagi suara kerasmu merajuk sesuatu padaku yang kutanggapi dengan senyum pun rasa gemas. Tak akan ada lagi nada memerintah dalam suaramu. Tak akan ada apa-apa. Hanya kealfaan yang tak habis-habis.
Kau menjelma Aurora kini. Entah dimana...
***
"Kau kemana saja? Tak tahu kah aku rindu ingin cerita banyak denganmu? Tapi kau selalu sibuk. Entah apa sibukmu aku juga tak paham," kau lagi-lagi merajuk.
Kau kesal padaku. Bisa apa aku?
Beginilah duniaku. Aku memang kesulitan mengatur waktu. Meski aku senang dengan hidupku sekarang, mimpuku jadi nyata untuk menjadi seorang fotografer. Ada banyak kesempatanku mengembangkan diri. Aku ingin mengabadikan dunia lewat kamera di tangan kananku, sementara kau memegang teguh tangan kiriku walau kau sering ngambek padaku jika aku mengacuhkanmu barang sebentar. Tapi sungguh aku mencintaimu meski tak tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.
"Maaf aku terlalu asik sendiri dengan kesukaanku."
Kau tak bergeming. Raut wajahmu masih mengeras. Kau menyimpan kesal dan mungkin dendam padaku. Kau sungguh keras kepala saat begini. Tak hendak mau mendengarkan siapa pun. Menganggap dirimu selalu benar dalam kekeraskepalaanmu. Aku lelah bagaimana menanggapinya. Kau tak mau tahu kondisiku. Padahal kau tahu aku banyak kekurangan tapi sering kau jadikan itu sebagai masalah ketidakpedulianku.
***
"Aku capek. Aku bosan denganmu. Dengan hubungan kita."
Kata-katamu bagai belati yang menghujamku berkali-kali di ulu hati. Hancur hatiku. Sedih bukan kepalang, meski kucoba menyembunyikannya. Toh, kau sering mengatakan ini dan kau selalu berubah pikiran. Kita putus juga pada akhirnya kau selalu mengajakku berbincang kemudian kita kembali pacaran.
"Terus apa yang kau mau?"
"Aku hanya ingin bahagia. Kita sudah berkomitmen akan meraih bahagia bersama. Tapi kau asik sendiri dan lupa padaku. Pada kebutuhanku untuk dibahagiakan olehmu."
Kudengarkan semua keluhanmu yang berulang kali kau katakan saat kita sedang begini.
"Kau tak ada saat aku butuh bersandar. Pikirmu bertukar kabar sebatas telepon atau pesan singkat memuaskanku? Tak ada yang bisa kita perbincangkan di sana. Kau lama membalas. Aku kesal sungguh."
Tak tahukah kau aku sedemikian sibuk? Aku tak sempat membalas pesan atau menghubungimu. Andaikan aku tahu pasti akan kubalas segera. Meski seringnya aku memang lupa membalas semuanya.
"Tapi bersamaku kau justru sering membuka telepon genggam dan mengeceknya. Sementara denganku kau tak bisa demikian."
Kata-katamu seolah menjawab apa yang kupikirkan dalam diam saat menghadapimu. Kalimatmu telak. Aku tak punya jawabannya.
***
Kuhisap dalam-dalam rokokku. Menghembuskan asapnya hingga kuharap menggapai langit-langit kamar kosanku. Pekat kupandangi apa yang sudah kutulis di komputer jinjingku.
Ragaku melemah. Kau dimana kini aku tak tahu. Kau pergi. Jauh sekali. Aku sudah tak mau tahu. Tapi sulit.
"Melihat Aurora," jawabmu saat hendak berpisah dariku. Kau begitu mantap. Kau kembali kokoh dalam kedirianmu memutuskan sesuatu. Kau menemukan keyakinanmu akan suatu hal yang tak kutahu apa itu.
"Aku mencintaimu. Cara kita mencintai satu sama lain berbeda dan tak saling paham," katamu lagi sebelum meninggalkan pintu kamar kosanku terakhir kali.
Aku tak dapat bernapas pun menggerakkan tubuhku untuk menahanmu pergi lagi dari hidupku. Aku diam, membisu saja memandangimu yang diterpa sinar matahari pagi itu.
"Tapi aku lebih mencintai diriku. Tak hendak kukorbankan diriku untuk mencintaimu dalam sakit. Aku tak bisa menunggumu berubah jika itu hanya sebatas kata-kata yang terus menerus di ulang tanpa gubahan perilaku. Sebab aku ingin bahagia. Aku ingin melihat Aurora."
Kau melangkah menuju matari. Sosok terakhirmu abadi ku patri dalam jiwa dan pikiranku.
***
Entah sudah berapa lama kau pergi. Aku tak lagi menghitung bilangan waktu. Rinduku berlarat dan mengerak. Tapi aku tak mau tahu lagi tentang dirimu. Meski senyum rasa bahagia saat bersamamu ikut hilang juga saat kau memilih pergi menuju Aurora. Mungkin aku akan bertemu gadis baru yang kucintai melebihi dirimu dengan sungguh-sungguh. Mungkin juga tidak.
I love you for sentimental reason
I hope you do believe me
I'll give you my heart
Tetiba radio siaran sore memutar lagu Nat King Cole - I Love You For Sentimental Reason. Kau hadir lagi dalam segenggam momen saat kita masih bersama. Lagu ini menjadi pengiring kita saat berdansa di pantai ujung selatan Jawa. Saat itu tengah malam. Kita berdansa di bawah temaram bintang gemintang dan deburan suara ombak. Kau ada dalam dekapanku. Kupeluk kau erat. Ku cium pucuk kepalamu. Rambutmu wangi shampoo, sementara tubuhmu menguarkan aroma ketenangan. Kedua tanganmu memelukku dalam. Kau terpejam dan tersenyum. Sesekali kau berputar dengan lucunya di tengah dansa kita. Kau begitu cantik. Senyummu selalu menjadi favoritku.
Saat-saat seperti itu adalah momen bahagia kita. Segala masalah, perbedaan, apapun menjadi lebur dan tersimpan rapat dalam kotak waktu. Saat berdansa denganmu aku merasa dunia sedang indah-indahnya. Hanya kita berdua, menyulam dunia rasa bahagia.
Aku rindu padamu, Sayang...
***
Terbit fajarku setelah malam kelam
Seumpama jalan panjang
ujung t'lah bersinar
Kau adalah lengang yang
jatuh buatku kelu, lumpuh
Bahagia, katamu bisa dicipta
Tapi fajar tak pernah terbit
Bersamamu semua adalah
mimpi-mimpi pengantar tidur
Sementara aku
ingin memeluk Aurora
Rabu, 21 Mei 2014
Sabtu, 10 Mei 2014
Indonesia
Suatu
ketika dikisahkan hidup seorang anak bernama Indonesia. Indonesia memiliki
seorang bapak yang begitu di kenal di dunia. Meski demikian, Indonesia tak tahu
apa yang menyebabkan bapaknya yang jarang pulang dan memberikan kasih sayang
padanya begitu terkenal. Indonesia sendiri bahkan tak begitu mengenal bapaknya
kecuali dari cerita para sahaya keluarga mereka di rumah. Saat Indonesia
menanyakan seperti apa perangai bapaknya kepada pada ajudannya, mereka hanya
menjawab bapak si Indonesia terkenal dan dikagumi banyak orang seluruh dunia.
“Apa
memang sebenarnya pekerjaan bapakku?” tanya Indonesia suatu kali kepada ajudan
setia bapaknya yang biasa membawa bedil dan senjata lainnya kemana-mana.
“Bapakmu
pedagang,” demikian jawab si ajudan singkat dan tanpa emosi apa-apa.
Kali
lain Indonesia menanyakan kenapa bapaknya jarang pulang kepada pengasuhnya. Perempuan
tua bisu itu hanya menjawab dengan tatapan nanar dan penuh kasih sambil
membelai kepala Indonesia. Dengan senyum iba, pengasuhnya menuntun Indonesia
menuju kamar dan lekas tidur saja.
Terkadang,
diam-diam Indonesia melamun tentang bapaknya. Rupa sang bapak hampir lekang
dalam pikirannya. Karena jarang pulang dan tak pernah bertanya tentang anaknya,
bapak si Indonesia menjadi sosok yang jauh dan tak lagi dikenal oleh anaknya
sendiri. Biarpun tak lagi tahu rupa pun bentuk kasih sayang bapaknya, Indonesia
tak begitu sedih. Sebab bapaknya dikenal seluruh dunia. Itu saja membuat
Indonesia bangga luar biasa.
***
Pada
suatu hari Minggu, Indonesia bosan berada di rumah. Ia merasa kesepian bermain sendiri di dalam rumahnya yang semegah istana
para raja. Tak ada yang dapat ia ajak main. Semua orang di dalam rumah yang
terbuat dari material paling mahal dan berharga di dunia sibuk mengerjakan
urusan mereka masing-masing. Para petani mengaso di bale rumah. Sebab tak ada
lahan yang mesti digarap. Entah apa sebabnya. Para nelayan hanya sibuk merajut jaring
tanpa pernah sekalipun pergi melaut lagi. Sementara para anak cucu mereka sibuk
belajar dan mendekati para orang dekat bapaknya agar bisa jadi birokrat di perusahaan-perusahaan
milik keluarga Indonesia yang jumlahnya tak terperi. Konon, kata banyak orang
yang menjadi sahaya di rumah Indonesia, yang paling penting itu bukan jadi
petani yang sukses, nelayan yang sukses, guru yang pandai dan tanpa pamrih
mendidik anak-anak muridnya, melainkan menjadi ajudan bapak Indonesia yang maha
kaya itu. Jika bisa menjilat dan dapat posisi bagus di perusahaan milik
bapaknya, para sahaya dianggap naik derajat.
Indonesia
yang bodoh tak begitu ambil peduli dengan ritme kehidupan yang terjadi di dalam
rumah yang besarnya seperti sebuah negara adidaya. Ia hanya ingin bermain
bersama teman-temannya karena bosan berada di dalam rumah. Tak ada yang
menemaninya bermain. Bahkan bapaknya sekalipun tak pernah diingatnya pernah
menemani Indonesia bermain. Bapaknya belum pulang-pulang juga. Kabar yang di
dengar Indonesia hanya bapaknya makin sibuk luar biasa. Entah sibuk apa.
Sesungguhnya
Indonesia merasa sedih dan kesal. Ia punya bapak sekaligus tak punya bapak. Ia mau
bercerita dan mengeluh sama bapaknya karena tak merasa dicintai sebagai anak.
Tapi mau bagaimana? Yang mau di demo dan di keluhkan wujudnya tak pernah ada di
depan mata Indonesia. Indonesia yang bodohnya setengah ampun ini hanya bisa
diam dan meratap dalam hatinya.
Indonesia
pun bergegas bermain ke rumah temannya. Namanya Malaysia. Tetapi saat dihampiri
ke rumahnya yang kalah besar dengan rumah Indonesia, Malaysia tak ada di rumah.
Kata pengurus rumahnya, Malaysia sedang main di rumah Singapura. Berangkatlah
Indonesia menuju rumah Singapura yang besarnya hanya seukuran kamar tidur Indonesia.
Tapi ternyata tak juga ada mereka berdua.
Indonesia
terus menghampiri rumah teman-temannya satu persatu; India, Cina, Thailand,
Australia, Amerika, Jepang, Vietnam, Korea, Inggris, dan lainnya. Tetapi tak
satu pun ia temui keberadaan seluruh temannya. Ia begitu sedih karena teman-temannya pergi
bermain tanpa mengajak dirinya.
Saat
tengah berjalan kembali ke rumah, di tanah lapang ia lihat seluruh temannya
bermain dan tertawa. Indonesia pun tanpa ragu menghampiri mereka dan merajuk ingin
ikut bermain bersama. Mereka pun menerima Indonesia masuk permainan mereka. Permainan
apa saja khas anak-anak; kejar-kejaran, petak umpat, dan lainnya.
Lelah
bermain, mereka semua istirahat di bawah pohon rindang di pinggir
lapangan. Mereka pun saling mengumbar
cerita mengenai kebesaran keluarga masing-masing.
Amerika
memulai cerita tentang bapaknya yang jagoan. Bapak si Amerika dikenal sebagai
penjaga kedamaian dunia. Siapa yang tak turut kemauan bapak si Amerika, maka ia
akan di musuhi dalam komunitas arisan bapak-bapak sedunia. Kata Amerika, saat ini bapaknya sedang memusuhi
bapak si Iran. Sebab, bapak si Iran tak mau tunduk dan patuh kepada bapak si
Amerika yang jagoan dan serupa preman berjas. Tapi Amerika juga berbisik, alasan
bapaknya memusuhi bapak si Iran karena takut kalah pengaruh di RT Timur Tengah.
Soalnya cadangan minyak mereka luar biasa. Siapa menguasai RT itu dipastikan
jadi orang paling kaya.
“Bapakku
sangat membenci bapak si Iran. Sampai-sampai bapakku memfitnah bapak si Iran
memiliki senjata pemusnah massal, anti demokrasi, pokoknya segala rupa. Pasukan-pasukan
khusus juga tengah dipersiapkan bapakku untuk sedia menyerang rumah Iran begitu
ada kesempatan,” Amerika bercerita.
“Bapakmu
tak bisa seenaknya begitu. Kasihan kan keluarganya Iran,” Malaysia berkomentar.
“Alah,
bapakmu saja setuju dengan bapak si Amerika. Bapakku juga mendukung rencana
itu,” Inggris ganti suara menanggapi komentar Malaysia.
“Bapak
kalian jahat ya,” kali ini India menanggapi. “Kalau bapakku sekarang usahanya
sedang maju. Teknologi kami mulai mendunia. Perusahaan-perusahaan bapakku
hampir sejajar levelnya dengan perusahan miliki bapak si Cina ataupun Jepang.”
“Berarti
bapakmu orang kaya baru ya?” tanya Vietnam, setengah mencibir.
India
tetap menjawab mantap sambil tersenyum,”Begitulah. Dulu kan bawahan bapakku
banyak yang mati kelaparan. Sekarang jumlah yang mati tak sebanyak dulu. Meski
perampoknya masih juga banyak.”
Indonesia
selama ini hanya mendengarkan perbincangan teman-temannya mengenai bapak
mereka. Meski Indonesia amat sangat ingin berbagi kebanggaan karena punya bapak
yang terkenal juga, tetapi Indonesia tak cukup kenal dengan bapaknya. Ia hanya
tahu bapakny sangat sibuk.
Tengah
sibuk melamun memikirkan bagaimana sebenarnya sosok bapak kandungnya itu, Mesir
bertanya kepada Indonesia,”Kalau bapakmu seperti apa, Indonesia?”
Indonesia
gelagapan. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tak tahu bapaknya sama sekali. “Bapakku…”
“Bapakmu
bagaimana?” Korea menunggu Indonesia melanjutkan jawabannya.
Indonesia
menatap satu persatu teman-temannya. Ia tak yakin harus jawab apa. Menggigit bibir,
Indonesia melanjutkan perkataannya.”Bapakku yang kutahu punya rumah yang sangat
besar, perusahaan yang luar biasa banyak. Bapak juga punya tanah, sawah, laut,
gunung beserta isinya yang tak terhingga. Bapakku luar biasa kaya.”
Soal
kekayaan bapak si Indonesia memang benar. Sejak dahulu kaya bapak si Indonesia
di kenal karena kekayaannya yang melimpah ruah. Punya gunung isi aneka tambang
mineral seperti emas, batu bara, nikel, timah, dan lainnya. Punya tanah seluas
negara yang jika ditanami apa saja subur tumbuhnya. Punya lautan yang lebih
luas dari tanahnya dan berisi kekayaan biota laut yang tak dimiliki bapak
siapapun di dunia. Indonesia menahan senyum sendiri meyakini kekayaan bapaknya
yang maha dasyat itu.
“Bapakmu
kayak kan dulu,” tiba-tiba komentar Amerika membuyarkan kebanggaan sesaat Indonesia
mengenai bapaknya yang kaya.
“Sekarang
sudah bangkrut. Ya harta, ya moral sudah ludes digadaikan kepada bapakku dan
beberapa bapak kalian.”
Indonesia
mengernyit, tak percaya apa kata Amerika tentang bapaknya. “Apa iya bapakku
bangkrut?”
“Kata
bapakku, bapakmu itu koruptor nomor wahid di dunia. Semua harta maruk
disabetnya sendiri. selain itu, bapakmu kejam kepada para sahayanya. Mereka diperalat,
dibiarkan bodoh, dan hidup miskin. Belum lagi ajudan-ajudan bapakmu yang
bisanya menjilat saja. menukar keadilan dengan sejumlah mata uang dan manifestasi
kekuasaan lainnya.”
“Aku
juga ingat bapakku pernah bilang kalau bapakmu tukang ngutang. Ia punya utang
yang sangat banyak dan belum juga dibayar,” imbuh Prancis.
“Bapakmu
juga punya utang sama bapakku,” Inggris menimpali lagi.
Berturut-turut
teman-teman Indonesia pun mengatakan hal yang sama. Indonesia bingung. ia tak
percaya bapaknya seperti yang dikatakan oleh teman-temannya. “Tapi bapakku kan
sangat kaya. Kaya sekali,” Indonesia masih coba membela harga dirinya.
“Loh,
memangnya kamu nggak tahu? Hampir seluruh tanah dan perusahaan bapakmu sudah
pindah tangan ke orang lain. Bahkan bapakku memiliki pulau beserta isinya di
tanah bapakmu itu. Perusahaan-perusahaan kami juga banyak di sana mengeruk
kekayaan kalian yang diabaikan dan digadaikan kepada kami,” Inggris
menjelaskan.
“Iya,
bapakku juga merebut pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah bapakmu karena tak
pernah di urus. Memang, bapakmu mengajukan masalah ini ke Mahkamah
Internasional. Tapi kalah dan dua pulau itu kini menjadi milik keluargaku,”
Malaysia menambahkan.
“Jadi bapakku bukan orang kaya? Bapakku tukang
ngutang dan koruptor?” tanya Indonesia lebih kepada dirinya sendiri.
Teman-teman
Indonesia pun perlahan menaruh iba kepada Indonesia yang baru tahu siapa sebenarnya bapaknya
selama ini. Memang, bapak teman-temannya yang lain juga punya sisi kelamnya
masing-masing. Tetapi mereka masih mau meluangkan waktu bersama dengan
anak-anak mereka dan menceritakan apa saja mengenai dunia ini. Mengenai realita
yang tak pernah diketahui oleh Indonesia dari bapaknya yang jarang pulang itu. Sementara
Indonesia dibesarkan dengan ilusi bapaknya adalah orang kaya dan terkenal tanpa
tahu kondisi sebenarnya.
Betapa
sedih perasaan Indonesia saat itu. Hatinya terluka mengetahui siapa sebenarnya
bapak yang ia banggakan itu. Indonesia pun berlari pulang tanpa mengidahkan
lagi teman-temannya yang memanggil Indonesia untuk bermain kembali. Indonesia terus
berlari dan ingin cepat sampai rumah, tempat ia dilahirkan dan besar selama
ini. Rumah megah yang kosong dan penuh tipu daya. Tak ada kebahagiaan, tak ada
mimpi indah mengenai menjadi digdaya dan bermartabat. Tetapi kemudian Indonesia
menghentikan larinya dan memilih berjalan saja.
Mendekati
rumahnya yang demikian megah, Indonesia berhenti dan menatap lekat kediamannya.
Rumah itu memang luar biasa besarnya. Tetapi saat kedua matanya menatap
sungguh-sungguh dan seksama bangunan tersebut, Indonesia melihat cat-cat
dindingnya mengelupas dimakan susah dan derita. Para sahaya bapaknya hidup
kurus dan tinggal belulang. Sorot tatapan mereka kosong dan hampir mati. Jalan mereka
tertatih-tatih,kurang gizi dan tak diperhatikan kesehatannya. Sementara para
ajudan bapaknya sibuk memamerkan kekayaan mereka yang diperoleh dengan menjilat
para orang dekat bapaknya. Indonesia pun menatap dirinya sendiri yang hidup
dibiarkan bodoh tanpa pengetahuan dan realitas mengenai kondisi keluarganya.
Indonesia
menghela napas sekali kemudian menghembuskannya yakin. Ia memantapkan diri
kembali ke dalam rumahnya. Ia tak ingin menjadi seperti bapaknya yang tak tahu
entah kemana. Tetapi inilah kesempatannya untuk berbenah diri. Dan itu dimulai
dari membersihkan rumahnya sendiri. Meski rumahnya berlumur kerak dan akan
sangat sulit dibersihkan, tetapi harus tetap dilakukan. Biar bagaimana pun
Indonesia mencintai rumah ini dan segala isinya.
“Biarlah
bapakku dan ajudan-ajudannya pergi entah kemana. Aku hanya ingin tinggal nyaman
di rumah ini. Aku mencintainya.”
Langganan:
Postingan (Atom)