Rabu, 21 Mei 2014

Aurora

Aurora

Oleh : Fitri Kumalasari



"Aku ingin melihat Aurora," katamu suatu kali.

Aku hanya memandangimu tanpa sepatah kata.

"Itu mimpi," tambahmu.


***


Kau kini tak lagi bermimpi. Bahkan tak akan ada lagi suara kerasmu merajuk sesuatu padaku yang kutanggapi dengan senyum pun rasa gemas. Tak akan ada lagi nada memerintah dalam suaramu. Tak akan ada apa-apa. Hanya kealfaan yang tak habis-habis.

Kau menjelma Aurora kini. Entah dimana...


***


"Kau kemana saja? Tak tahu kah aku rindu ingin cerita banyak denganmu? Tapi kau selalu sibuk. Entah apa sibukmu aku juga tak paham," kau lagi-lagi merajuk.

Kau kesal padaku. Bisa apa aku?

Beginilah duniaku. Aku memang kesulitan mengatur waktu. Meski aku senang dengan hidupku sekarang, mimpuku jadi nyata untuk menjadi seorang fotografer. Ada banyak kesempatanku mengembangkan diri. Aku ingin mengabadikan dunia lewat kamera di tangan kananku, sementara kau memegang teguh tangan kiriku walau kau sering ngambek padaku jika aku mengacuhkanmu barang sebentar. Tapi sungguh aku mencintaimu meski tak tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.

"Maaf aku terlalu asik sendiri dengan kesukaanku."

Kau tak bergeming. Raut wajahmu masih mengeras. Kau menyimpan kesal dan mungkin dendam padaku. Kau sungguh keras kepala saat begini. Tak hendak mau mendengarkan siapa pun. Menganggap dirimu selalu benar dalam kekeraskepalaanmu. Aku lelah bagaimana menanggapinya. Kau tak mau tahu kondisiku. Padahal kau tahu aku banyak kekurangan tapi sering kau jadikan itu sebagai masalah ketidakpedulianku.


***


"Aku capek. Aku bosan denganmu. Dengan hubungan kita."

Kata-katamu bagai belati yang menghujamku berkali-kali di ulu hati. Hancur hatiku. Sedih bukan kepalang, meski kucoba menyembunyikannya. Toh, kau sering mengatakan ini dan kau selalu berubah pikiran. Kita putus juga pada akhirnya kau selalu mengajakku berbincang kemudian kita kembali pacaran.

"Terus apa yang kau mau?"

"Aku hanya ingin bahagia. Kita sudah berkomitmen akan meraih bahagia bersama. Tapi kau asik sendiri dan lupa padaku. Pada kebutuhanku untuk dibahagiakan olehmu."

Kudengarkan semua keluhanmu yang berulang kali kau katakan saat kita sedang begini.

"Kau tak ada saat aku butuh bersandar. Pikirmu bertukar kabar sebatas telepon atau pesan singkat memuaskanku? Tak ada yang bisa kita perbincangkan di sana. Kau lama membalas. Aku kesal sungguh."

Tak tahukah kau aku sedemikian sibuk? Aku tak sempat membalas pesan atau menghubungimu. Andaikan aku tahu pasti akan kubalas segera. Meski seringnya aku memang lupa membalas semuanya.

"Tapi bersamaku kau justru sering membuka telepon genggam dan mengeceknya. Sementara denganku kau tak bisa demikian."

Kata-katamu seolah menjawab apa yang kupikirkan dalam diam saat menghadapimu. Kalimatmu telak. Aku tak punya jawabannya.


***


Kuhisap dalam-dalam rokokku. Menghembuskan asapnya hingga kuharap menggapai langit-langit kamar kosanku. Pekat kupandangi apa yang sudah kutulis di komputer jinjingku.

Ragaku melemah. Kau dimana kini aku tak tahu. Kau pergi. Jauh sekali. Aku sudah tak mau tahu. Tapi sulit.

"Melihat Aurora," jawabmu saat hendak berpisah dariku. Kau begitu mantap. Kau kembali kokoh dalam kedirianmu memutuskan sesuatu. Kau menemukan keyakinanmu akan suatu hal yang tak kutahu apa itu.

"Aku mencintaimu. Cara kita mencintai satu sama lain berbeda dan tak saling paham," katamu lagi sebelum meninggalkan pintu kamar kosanku terakhir kali.

Aku tak dapat bernapas pun menggerakkan tubuhku untuk menahanmu pergi lagi dari hidupku. Aku diam, membisu saja memandangimu yang diterpa sinar matahari pagi itu.

"Tapi aku lebih mencintai diriku. Tak hendak kukorbankan diriku untuk mencintaimu dalam sakit. Aku tak bisa menunggumu berubah jika itu hanya sebatas kata-kata yang terus menerus di ulang tanpa gubahan perilaku. Sebab aku ingin bahagia. Aku ingin melihat Aurora."

Kau melangkah menuju matari. Sosok terakhirmu abadi ku patri dalam jiwa dan pikiranku.


***


Entah sudah berapa lama kau pergi. Aku tak lagi menghitung bilangan waktu. Rinduku berlarat dan mengerak. Tapi aku tak mau tahu lagi tentang dirimu. Meski senyum rasa bahagia saat bersamamu ikut hilang juga saat kau memilih pergi menuju Aurora. Mungkin aku akan bertemu gadis baru yang kucintai melebihi dirimu dengan sungguh-sungguh. Mungkin juga tidak.

I love you for sentimental reason
I hope you do believe me
I'll give you my heart

Tetiba radio siaran sore memutar lagu Nat King Cole - I Love You For Sentimental Reason. Kau hadir lagi dalam segenggam momen saat kita masih bersama. Lagu ini menjadi pengiring kita saat berdansa di pantai ujung selatan Jawa. Saat itu tengah malam. Kita berdansa di bawah temaram bintang gemintang dan deburan suara ombak. Kau ada dalam dekapanku. Kupeluk kau erat. Ku cium pucuk kepalamu. Rambutmu wangi shampoo, sementara tubuhmu menguarkan aroma ketenangan. Kedua tanganmu memelukku dalam. Kau terpejam dan tersenyum. Sesekali kau berputar dengan lucunya di tengah dansa kita. Kau begitu cantik. Senyummu selalu menjadi favoritku.

Saat-saat seperti itu adalah momen bahagia kita. Segala masalah, perbedaan, apapun menjadi lebur dan tersimpan rapat dalam kotak waktu. Saat berdansa denganmu aku merasa dunia sedang indah-indahnya. Hanya kita berdua, menyulam dunia rasa bahagia.

Aku rindu padamu, Sayang...


***


Terbit fajarku setelah malam kelam
Seumpama jalan panjang
ujung t'lah bersinar

Kau adalah lengang yang
jatuh buatku kelu, lumpuh

Bahagia, katamu bisa dicipta
Tapi fajar tak pernah terbit
Bersamamu semua adalah
mimpi-mimpi pengantar tidur

Sementara aku
ingin memeluk Aurora


Tidak ada komentar:

Posting Komentar