Bahagia itu terlihat di mata. Bagaimanapun mata jendela dunia. Ia adalah letupan kembang api perasaanmu. Gundah, letih, sedih, gembira, marah, hingga bahagia tergambar disana. Juga cinta...
Matamu serupa parade yang menggambarkan suasana hati. Bola mata hitam pada mata elang itu terlihat cemerlang saat kau bahagia. Seolah akan keluar tetesan air mata dari sana. Seumpama sungai, jernih airnya hendak meluap tapi tak sampai. Hidungmu kembang kempis menahan curahan rasa bahagia yang tergambar dari kedua matamu yang biasa saja. Tetapi dengan mantra ajaib cinta, hatimu yang keras serupa batu melunak. Hatimu panas dan penuh jadi satu. Meluapkan rona yang naik ke kerongkongan, buat tercekat dan hendak mengeluarkan air mata; haru. Kau hanya bisa membayang dalam kata-kata yang tak terucap perihal apa yang disebut bahagia.
Aku tahu kau tak pernah merasa demikian, bukan? Mungkin pernah. Beberapa kali yang tak lagi kau ingat kapan waktunya. Tapi perasaan yang begini memabukkan, kau baru rasakan dengan khidmat, kan?
Hanya kedua matamu yang menggantikan peran kata yang tak pernah sanggup keluar dari bibirmu. Matamu penuh percikan api. Ia menyiarkan festival dimana bahagia jadi sajian utamanya.
Matamu tak pernah salah. Ia selalu jujur. Meski kau berikhtiar sekuat tenaga menyembunyikannya lewat senyum. Tapi aku selalu tahu, senyummu palsu. Tak seperti matamu yang berkata-kata jernih meski tanpa suara.
Kau menyimpan lara dan duka untuk sendiri. Ibarat si putri malu, kau mengatup saat kusentuh dengan hal selain cinta. Kau mengeras dan bersikeras menutup meski kuminta kau kembali membuka daunmu. Sementara jika kusentuh kau dengan cinta, kau akan terus berkembang, mengajakku bermain buka-tutup hati dan kau senang bukan kepalang.
"Bahagia itu bisa tersenyum," kataku suatu kali padamu saat kita berbincang tentang banyak hal. Tentang semesta yang tengah kita bangun dari kepingan realitas yang berserak acak. Seringkali kepingannya tak pas dengan apa yang kita harapkan.
Kau diam, setuju padaku. Sebab kau mengalaminya langsung, bahagia itu. Lewat senyum kau bisa merasakannya. Kau mencumbui bahagia rasa sempurna dengan bumbu sederhana. Kau menatapku dan binar matamu kembali meletup-letup dalam kuluman senyum.
Mata juga dapat memancarkan senyum. Pertanda ia mengamini semesta bahagia. Sebuah mantra ajaib yang kutiupkan pada kita berdua hingga senyum ini tak juga mau usai.
"Aku tak dapat berhenti tersenyum. Bagaimana ini?" Tanyamu suatu kali saat kita tengah menggelar mimpi di depan sana pada suatu malam.
Aku tak menjawabmu. Kubiarkan diriku turut larut dalam senyum sempurnaku. Kau mabuk, aku pun mabuk. Kita sama-sama tak ingin mengakhirinya. Pun tak tahu bagaimana cara menghentikan kucuran rasa bahagia ini. Satu hal yang kutahu, semua senyum dan parade kembang api dimata kita adalah perasaan paling jujur dari apa yang kita rasakan saat ini; Cinta.
Dalam gempita rasa bahagia yang begitu sederhana kuperkenalkan kau apa arti rumah. Kita membikin rumah bagi satu sama lain. Fondasi bahagia jadi jaminannya selain perasaan cinta yang tak pernah habis. Kita mesti membikin rumah, sebab aku tahu jauh dalam dirimu kau lelah berkelana dari perasaan sepimu. Sebab sepi dan sendiri hampir melekat denganmu yang bermata elang. Meski seringkali merasa damai dalam sendirimu, kau kadang merindukan rumah. Aku ingin menjadi rumah itu.
Kuingat, aku punya persyaratan mutlak yang mesti kau penuhi jika kau ingin terus mencicipi bahagia dimana matamu seumpama ribuan kembang api yang mengangsa saat malam tahun baru dan tak usainya bibirmu menyunggingkan senyum terus berlangsung. Kau hanya perlu buatku tenang, buatku nyaman, dan buatku percaya. Agar aku dapat merebahkan diriku dan kuberikan bahagia itu hanya untukmu.
Suatu kali kupeluk kau erat, bersandar mesra di dada bidangmu. "Tolong jaga hatiku," pesanku padamu suatu malam lewat.
Kau balas memelukku erat, mengecup pucuk kepalaku. Aku merasa haru sekaligus tenang. Aku bertaruh kau akan menjagaku apapun yang terjadi. Karena bahagiamu ada padaku. Akulah peniup serbuk sari bahagia itu.
***
Kita tak pernah dapat menebak masa yang terbentang di depan sana. Meski kita berjibaku setiap menit untuk merangkai nasib sendiri dan menyulam bahagia dengan saling beradaptasi perangai satu sama lain. Tapi Tuhan selalu punya jalan sendiri menunjukkan kuasa-Nya. Kita terjebak di sana.
Rumah yang kita bangun pelan-pelan diterjang ombak. Kita berpisah jalan. Sakitnya luar biasa bagimu. Sekarat kondisimu, sementara aku dirudung sembilu setiap waktu. Bahagia kita retak. Tapi kupikir Tuhan hendak menguji rumah kita, menguji atap bahagia. Apakah kita tetap bertahan ataukah bercerai mimpi.
"Kau begitu tega padaku. Kau berkhianat. Caramu sampah."
Kau pecah dalam amarah, kecewa, dan berdarah-darah. Perasaan bahagiamu yang ternyata seumpama gelembung sabun pecah berurai-serak. Aku memang salah karena rapuh. Aku berkhianat, ya. Aku sampah. Aku bukan sampah.
"Kau juga punya andil disana. Kau mengabaikan permintaanku saat kubilang tolong jaga hatiku. Kau menganggapku seumpama mainan yang bisa kau singkirkan saat kau bosan atau kembali saat kau butuhkan. Komunikasimu buruk. Aku selalu yang mesti meminta terlebih dahulu padamu. Sakitku akumulatif. Kau tak kunjung peka."
Kau dan aku sama-sama hancur. Kita mati suri dalam luka sendiri-sendiri.
***
Hancurnya rumah yang kita bangun dari keping sekeping mimpi seharusnya menjadi alasan kuat bahwa mungkin kita tak bisa bersama. Kita tak mungkin bahagia lagi. Kita tak direstui Tuhan bersama dalam bahagia.
Tapi munafik bagiku jika terus menyandarkan alasan dengan membawa nama Tuhan untuk alasan yang tak kumengerti. Aku berlebihan. Ya, aku memang salah karena rapuh hingga cintaku yang penuh utuh padamu terbagi kepada orang lain. Akulah yang bisa kau tunjuk-tunjuk untuk kau persalahkan terus menerus sepanjang hayatmu. Akulah yang bisa kau rendahkan sedemikian rupa bagai sampah atas apa yang tak pernah kuminta sebelumnya; jatuh cinta lagi. Akulah yang akan jadi alasanmu untuk kau berlaku jumawa di atas kita. Aku si peniup serbuk sari bahagia ini dihadapanmu kini hanya seonggok bangkai.
***
Siapa yang bisa menebak mekanisme cinta setelahnya? Kata seorang bijak, cinta adalah penawar sekaligus racun. Keduanya jadi satu. Ia dua sisi mata pisau yang bisa menjadi pelindung pun penghancur. Cinta adalah kasih atau benci. Cinta adalah elan vital kehidupan manusia.
Kau mengaduh sakit padaku saat aku hampir kalah dan hendak menghapusmu dalam imaji hidupku. Aku mencintaimu, aku masih sangat mencintaimu. Kau pun demikian. Kita sama-sama merindukan bahagia rasa sederhana itu.
"Aku berusaha untuk menghapusmu dalam hidupku. Aku berusaha membencimu. Aku berusaha tersenyum dan bangkit," katamu." Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa menghapusmu dalam hidupku. Aku tak bisa membencimu. Aku tak bisa tersenyum dan terpuruk. Aku tak bisa bahagia."
Air mataku tumpah. Perasaanku penuh. Hatiku dilanda badai hebat.
"Aku tak bisa bahagia tanpamu."
Kita pun pada akhirnya kembali membangun rumah dari serpihan badai hebat yang kini menjelma kanker. Semuanya melekat dan tak bisa hilang. Tetapi kau berbesar hati menerimaku lagi karena cinta.
Pupuk itu pada awalnya kita sebar banyak-banyak. Semua bagian yang bolong kita coba perbaiki bersama. Meski aku selalu tahu dalam lubuk hati masing-masing, kita ragu hubungan ini akan langgeng. Kita akan mampu menggapai bahagia lagi. Kau masih begitu sakit atas apa yang kulakukan. Aku juga masih ragu kau akan memperbaiki sifatmu dan menerimaku utuh. Kita simpan sekam dalam diam. Kita pelihara ranjau yang siap sedia meledak jika salah injak.
Tetapi bahagia itu tak dinyana masih mampu hadir ditengah hubungan penuh ancaman itu. Bahagia itu masih dengan rasa yang sama. Binar matamu kembali menyala dan pelan-pelan kutiupkan kembali mantra sisa yang kupunya agar kau kembali tersenyum.
***
Salah seorang kawanku di Yogya pernah berkata, cinta pantas diuji hingga 33 kali. "Bagai hitungan biji tasbih sebelum kalian melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Setiap masalah adalah biji tasbih yang mesti dirapal. Jika kalian bisa merapalnya meski susah payah, itu bagus."
Kupikir badai pertama yang meluluh-lantakkan rumah kita adalah hitungan biji tasbih pertama. Kita bangkit bersama untuk melanjutkan merapal biji tasbih kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya meski terseok-seok menjalaninya. Tapi bayangan bahagia yang hendak kita bangun selalu menjadi cambuk agar tak lantas berhenti berusaha.
Rupanya hidup punya kejutannya sendiri. Aku bertemu muka dengan biji tasbih kedua, tapi mungkin bagimu ini tak masuk hitungan untuk hubungan kita.
Seseorang dari masa lalumu yang pernah kau sangat cinta membawa kabar mencengangkan. Aku bukan marah atas apa yang terjadi padanya, melainkan karena kau masih sayang padanya. Kau rela mengorbankan banyak hal untuknya meski hanya terbersit dalam pikiranmu. Aku yakin kau masih menyimpan asa padanya. Kau masih mencintainya juga meski kau berkilah tidak.
Kau tak berusaha keras meyakinkanku jika memang semua prasangkaku salah. Aku murka, kau menjauh. Kau melarikan diri dari rasa marahku. Tak kau padamkan apiku, justru kau biarkan saja. Aku terbakar sendiri. Kau kemana kan janjimu dulu untuk membuatku bahagia dan membuatku tenang? Kau memilih bersama dengan orang dari masa lalumu, membantunya sekuat tenagamu. Sementara kau biarkan aku menghidu hingga sakit sendiri.
Tahukah kau, saat seperti ini yang sering datang dalam hubungan kita membuatku selalu teringat kembali dengan ia yang kucinta juga. Ia yang kau benci karena merebutku dan bahagiamu. Ia yang mengambil kepingan hatiku sebelah. Ia selalu menggantikan tempatmu saat kau semestinya bertanggung jawab pada hubungan kita. Ia menjadi tempat aku mencurahkan segala rupa beban hatiku. Karena kau tak mau mendengarkanku dan memilih melarikan diri. Sementara ia selalu sedia menyediakan hati untukku mengaduh sakit.
Aku berpikir selesai dengan hubungan kita. Kau diam dalam jenak tak berusaha meyakinkanku. Kau relakan hubungan kita selesai. Padahal janji kita dulu di taman itu adalah untuk saling berusaha untuk hubungan ini. Tetapi kau biasa saja saat aku bilang kita selesai. Aku masih begitu terluka atas sikapmu yang demikian rela membiarkan hubungan kita selesai. Aku mengujimu dan kau mengabulkan permintaanku begitu saja.
"Ya sudah kalau kau ingin selesai. Aku harus komentar apa," begitu katamu padaku, dingin.
Lagi-lagi mesti aku yang menghamba padamu agar kita membicarakan ini empat mata. Aku ingin kita bertemu dan menuntaskannya sampai akhir. Meski pada akhirnya kata "kita selesai" tak jadi hadir, aku hanya tahu kau mulai berubah. Kau perlahan meninggalkan rumah itu dengan jalinan komunikasi kita yang tak sebebas dan selepas dulu. Aku merasa banyak hal yang kau sembunyikan padaku. Kau mengabaikanku setapak demi setapak. Aku mulai redup dalam mencapai bahagia bersamamu.
Ya, aku mengeluarkan kata "kita selesai" lagi. Kau lagi-lagi biasa saja. Kau menerimanya. Mungkin memang kau sudah muak denganku. Kau ingin berkelana lagi dan sendiri dalam urusan hidupmu. Dalam keangkuhanmu kau selalu rela melepaskanku. Mungkin memang kita tak lagi semarak menuju bahagia yang sebelumnya kita pancangkan tinggi-tinggi untuk diraih.
Hampir sebulan kita tak lagi bersama. Kini kau mengaduh lagi. Kau bilang sakit karena mencintaiku. Aku juga sakit mencintaimu. Aku tak tahu, apakah bahagiamu masih sama? Apakah ini masuk hitungan biji tasbih kita?
Sore itu kita bersitatap sekian detik. Kau tersenyum. Tetapi kutahu itu semua palsu. Matamu kehilangan redup. Tak ada kehidupan di sana. Tandus dan kemarau.
Haruskah selalu aku yang mesti menyapamu untuk kita berbincang bersama? Haruskah aku yang memintamu kembali padaku? Haruskah aku yang mengobatimu terlebih dahulu? Lantas kau berbuat apa padaku? Luka kita sama meski kau menganggap lukamu lebih dalam dan menganga.
Cahaya matamu mati suri. Tak ada gemericik api lagi disana. Mata tak pernah salah, meski senyummu berusaha mengelabuinya. Kita akan kembali karena cinta atau selesai karena cinta pula. Tapi bahagia adalah selalu bisa tersenyum. Tak hanya dibibir, melainkan juga tampak dimata.
Pangkalan Jati, 23 Januari 2014