Rabu, 23 Mei 2012

Me(dia) Jangan Terlalu Serius, Ah!


http://www.tensionnot.com/pictures/tags/joking


Pada sebuah acara pembacaan hasil survei yang dilakukan salah satu lembaga mengenai peluang para calon di Pemilukada DKI Jakarta yang akan berlangsung pada Juli 2012, berbanyak wartawan dari berbagai media duduk dengan khidamat dan khusyuk. Mereka yang sudah siap dengan segala senjata pamungkas; kamera, recorder, blackberry, pena, kertas, dan lain sebagainya terpekur dikursi masing-masing menunggu serangan berita yang dapat mereka tangkap sebanyak-banyaknya. Aroma aneka hidangan yang telah disajikan tidak begitu menyita perhatian mereka yang mencari duit dengan mengabarkan sesuatu yang disebut “berita”.

Acara pun dimulai dan paparan disampaikan oleh direktur eksekutif lembaga survei X. Tik, tik, tik, tik,tik,... suara jemari mereka mengetik berita lewat blackberry beragam jenis. Yang tak punya blackberry sudah siap dengan recorder ditangan, merekam semua pembicaraan dari awal hingga tamat. Yang dari stasiun TV, siap dengan kamera video super canggih. Pun fotografer tak ketinggalan jeprat-jepret sana sini. Para pembicara mendadak menjadi selebritis yang mesti dikulik dan dikupas kabar apa saja agar jadi duit bagi para mencari “berita”.

“Si A alhamdulillah sudah menang di satu kabupaten, Kepulauan Seribu,” ujar tim sukses A. “Ia juga didukung oleh para nelayan. Artinya tidak sia-sia lah dia yang orang sungai mendapat dukungan di Kepulauan Seribu.” Padahal, kemenangan dalam survei disatu kabupaten itu tidak representatif. Karena hanya sekitar 0,2 % dari populasi Jakarta.

Hahahaha...

Buat saya dan para pembicara lainnya ini lucu. Tetapi saat saya menoleh ke samping kiri dan kanan, tidak ada yang ikut menikmati jokes tersebut. Kerutan didahi para pemburu berita ini tak juga berkurang malah semakin menebal. Oalah, ini keterlaluan! Masak selucu dan sesederhana ini mereka tak bisa pahami sebagai jokes.

Berkelebatlah suatu kesadaran baru dalam pikiran saya. Media selama ini terlalu serius. Terlalu tekun menanggapi tingkah pola para elit dan mengemasnya dalam headline sensasional bertajuk POLEMIK! Astaga!

Tuntutan untuk menghadirkan berita yang luar biasa menjadikan media memburu banyak hal biasa kemudian dikemas menjadi apa yang saya sebut POLEMIK. Perbedaan adalah hal lumrah dalam kehidupan, tetapi dalam dinamika politik yang diamati selalu oleh media laiknya gosiptainment, membuat politik terlalu mewah untuk diberitakan sederhana saja. Pasti ada intrik, ada permufakatan jahat yang dilakukan para elit untuk menjajah negeri ini. Pasti!

Benarkah? Entahlah, toh tugas media tampaknya mengemas itu dengan seribu cara investigatif pencarian berita.

Rasanya dunia tidak seserius itu. Dan manusia yang berpikir, saya rasa adalah mereka yang tidak terjebak dengan keseriusan orang lain. Serius berarti kurang tahu, pemahaman pas-pasan. Sayangnya orang-orang tipe begini sering meng-klaim yang paling tahu sehingga jadi sok tahu. Jika yang belum dapat klaim paling tahu, maka mereka akan setengah mati mencari tahu hingga tak tahu lagi yang mana lucu dan tidak lucu.

Sementara orang yang tahu, biasanya sadar mereka tahu dan paham, pengetahuan luas, sehingga hati-hati jika bertemu, siapa tahu yang fiksi dipelintirkan seolah fakta.

Sial (atau bagusnya??), yang bekerja di industri media adalah orang-orang yang tak tahu menahu. Mereka biasa makan junk food, yang langsung jadi. Sehingga tidak dioleh dan dikunyah dengan baik dan mudah. Media mendulang harta dari apa yang dikemas menjadi POLEMIK tersebut dengan menjualnya kepada masyarakat. Masyarakat pun dibuat panik untuk hal yang seharusnya disikapi biasa saja.

Saya hanya punya satu catatan mengenai mereka yang hadir sebagai tim sukses para calon. Dalam pandangan saya, mereka tidak heroik. Mereka mungkin bermufakat dengan salah satu calon bukan karena mereka relakan jiwa raga agar yang didukung menang. Mereka tentu menyadari siapa pun calon yang mereka usung dan kans menang yang mungkin mereka dapatkan. Lantas, mengapa masih terus melanjutkan dukungan untuk calon yang hampir dipastikan tidak akan memenangkan putaran Pemilukada Jakarta?

Sepintas rasanya itu adalah optimisme absurd. Tetapi saat dipikir ulang, rasanya wajar saja jika si tim sukses A berkelakar demikian, atau tim sukses B mengatakan timnya membutuhkan keajaiban untuk menang. Dan memang politik sebagai sebuah ruang mempersilahkan hal demikian. Mempersilahkan hal yang paling tidak masuk akal sekalipun hadir dan biarkan ia mengarai sendiri ke muaranya. Ini merupakan kegilaan yang dirasionalisasikan kok.

Toh, hidup yang berkelindan dengan segala pilihan tidak mungkin dapat terakomodir seluruhnya sehingga pilihan-pilihan tersebut diperkecil sedemikian rupa. Bagi saya pun apa yang dilakukan tim sukses yang hampir dipastikan tidak menang ini pun tetap bertahan bukan karena bodoh atau memiliki hati mulia bak malaikat karena rela berkorban, melainkan ini hanya masalah sedang berada dimana mereka saat ini, identitas apa yang telah mereka pilih baik itu politik, sosial, dan lainnya. Semua mesti begitu karena memang harus begitu. Mungkin saja mereka sedang bereksistensi dengan pilihan mereka. Tapi bukan heroisme absurd, saudara-saudara.

Lalu, masuk kemanakah tipe orang seperti saya? Yang sudah mengenal silahkan berpendapat, tapi jangan men-judge... (Terkadang saya di media, seringkali mencoba menjadi orang yang sok tahu dengan kerangka pikir filsafat)


Rabu, 02 Mei 2012

Sertifikasi Seniman; Label Halal bagi Pekerja Seni


http://lifeandpaintings.blogspot.com


Wacana yang dikeluarkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan untuk melakukan sertifikasi kepada para pekerja seni bagi saya sangat absurd. Bagaimana tidak, menjadi seorang seniman yang sungguh-sungguh seniman saya kira tak membutuhkan sertifikasi macam itu. Karya yang akan membuktikan layak atau tidak ia menjadi  seorang artis. Dalam hal ini publik lah yang menilai dan mengapresiasi karya terlepas dari sengkarut pemain lain misalnya patron seni, pasar, dan lain sebagainya.

Berkarya adalah suatu wadah bagi siapapun untuk membebaskan yang ada dalam dirinya. Seluruh pikiran, hasrat, mimpi, kekecewaan, dan sejuta asa lain yang hadir dalam forma yang dapat kita nikmati kehadirannya dan disebut seni. Saat suatu karya bersandar pada komodifikasi kongkalikong pasar dan mesti punya standar, saya kira disanalah kematian seni sebagai bentuk pembebasan. Salah satunya sertifikasi untuk seniman.

Sekarang ini siapa yang berhak menyematkan label seseorang itu seniman atau bukan? Saya kira siapapun tak berhak, walaupun tiap orang bisa menunjuk siapa saja sebagai seorang artis entah penyair, pelukis, perupa, penari, penyanyi, pematung, penulis, dan pe- lainnya. Namun, siapa yang punya otoritas penuh sesuai hukum yang dapat menghakimi seseorang sebagai seniman? Tidak ada. Bahkan, bagi saya hukum haram hadir dalam wilayah seni. 

Dunia seni, dalam pandangan saya merupakan taman bermain dimana semua orang setara dan bebas menuju kediriannya. Tidak ada yang putih bersih pun asli seratus persen dalam dunia cipta, karsa, dan rasa. Dunia dimana segala hal dapat masuk dan menyatakan kediriannya sebagai yang asli maupun yang palsu. Dunia tanpa formalitas legal, tanpa hierarki!

Dan kini negara mencoba hadir dalam dunia tersebut dengan segala klaim kewenangan yang dianggap dipunyainya. 

“Demi meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup para seniman, maka kita patut melakukan pemetaan para seniman kita. Sehingga sertifikasi menjadi penting dan fardu sifatnya!” kelakar seorang PNS berpakaian safari dengan segala kepongahan dan kekosongan otaknya.

Ia berkhotbah seorang diri ditengah kerumunan anak kecil yang sibuk bermain. “Masa kita kalah dengan guru yang juga punya sertifikasi,” tambahnya lagi yang tak punya otak.”Kita jangan mau direndahkan masyarakat internasional karena karya yang dibuat para seniman tak tersertifikasi.”

Kebodohan dan kesoktahuan seringkali memang satu paket. Keduanya sama-sama mengidap virus ketololan yang akut. Yang perlu dilakukan negara dalam urusan seni hanyalah menjamin kebebasan berkarya bagi setiap warga negaranya, bukan melekatkan label halal bagi seniman. 

Seni adalah persoalan selera dan kedirian yang sebenarnya tidak perlu simpatisan. Ia rasa yang lahir dari diri sendiri yang entah muak, entah gembira, entah apapun terhadap sesuatu. Perkara duit itu soal lain, bung. Apresiasi yang lebih penting, bukan sertifikasi menurut saya. 

Siapa yang bisa menguji seseorang adalah seniman atau bukan? Tidak ada siapapun bahkan maestro sekalipun. Melainkan karya yang akan menunjukkan siapa dia. Toh, saya yakin saat Marcel Duchamp bikin Fountain tidak pakai sertifikasi untuk menjadikan karyanya menjadi fenomenal.

Selasa, 01 Mei 2012

BURUH HARI BURUH


http://www.tataruangindonesia.com



Terlintas sekejab dalam pikiran saya pada suatu siang pada perjalanan menuju kantor. Dalam sebuah iring-iringan kendaraan bermotor, berbanyak manusia dengan seragam merahnya melaju menuju ketetapan sebuah momen; hari buruh. Tulisan yang tersemat dibelakang jaket yang mereka kenakan siang itu, ada kata-kata Solidarity, Morality. Saya menduga mereka adalah serikat pekerja suatu perusahaan.

Tanggal 1 Mei diperingati seluruh dunia sebagai hari buruh. Sebuah peringatan. Sebuah peringatan? Sebuah peringatan! Demi apa kiranya perlu diperingati hari buruh seluruh dunia?

Selebrasi. Lagi-lagi selebrasi. Dalam setahun kita hanya butuh satu kali selebrasi yang mengingatkan siapa diri kita dalam relasi ekonomi; buruh. Perlukah mengingat ke-buruh-an kita?

Pikiran yang terlintas dalam pikiran saya adalah andaikan Karl Marx dapat dihidupkan kembali dari kematiannya yang beratus tahun silam. Ayolah, bangun Marx! Ayo bangun dan revisi teorimu. Apa yang akan kau katakan saat melihat perburuhan sekarang ini? Apa yang akan kau katakan saat tahu teorimu mengenai kemenangan kelas buruh ternyata tak tercapai. Kesepakatan yang ada adalah kapitalisme tetap menggurita dan buruh terlena dengan barang-barang murah serta kucuran kredit seumur hidup. Saat kau lihat buruh-buruh yang coba kau angkat kelasnya berlagak borjuis dengan segala tetek-bengek barang-barang mahal? Apa yang akan kau katakan saat tahu bahwa negara adalah korporasi paling busuk yang memegang senapan birokrasi. Negara mencekik buruh kemudian membunuh mereka dalam jerat Undang-Undang berlapis keju dan coklat? Apa yang akan kau katakan perihal itu semua, duhai jenggot Marx?

Iring-iringan serikat pekerja itu melaju dalam hening dengan sikap badan yang tegap. Seolah bersiap bertatap muka dengan penjajah baru. Padahal mereka telah bersikap kompromistis. Tak ada Levinas disana. Etikanya terhadap yang liyan diinjak-injak saat dipinggir jalan, ratusan fakir miskin menengadahkan tangannya tidak dalam koordinasi demonstrasi. Tidak ada serikat dalam kemiskinan. Mereka membisu dalam pemberontakannya terhadap takdir. Tak ada yang bisa dituntut dari keheningan yang miskin. Tak ada buruh disana. Hanya harapan belas kasih.

Buruh-buruh berbondong menuju epicentrum; koorporasi baik birokrasi pun swastanisasi. Ada yang dituntut dalam selebrasi. Mereka mengklaimnya sebagai hak dan menunjuk kepada pemilik modal sebagai kewajiban yang harus dibayarkan. 

Demi apa? Demi apa? Demi Tuhan, mereka para liyan yang berserakan dijalan tak punya epicentrum tempat mengadu. Mereka telah menjadi atheis dalam kebisuan tanpa uang dan emas permata, tanpa Blackberry, tanpa gadget berlabel Apple. Tidak ada Tuhan dalam keluh kesah mereka. Tak ada lagi malaikat pun iblis yang sanggup menggoncang kemanusiaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia yang berjalan datar siang-malam laiknya anjing dan kucing yang lelah bertarung memperebutkan siapa pemilik kuasa tempat makan.

1 Mei. Sebuah refleksi. Sebuah tanda tanya tanpa jawaban. Sebuah ironi. Sebuah anomali. Siapakah kita sebenarnya tanpa balutan cap ekonomi? Bukan buruh, bukan pula si pemilik modal. Bukan siapa-siapa hingga kau menatap lekat kemiskinan dalam mata seorang miskin yang tak punya serikat miskin.