http://www.tensionnot.com/pictures/tags/joking
Pada sebuah acara
pembacaan hasil survei yang dilakukan salah satu lembaga mengenai
peluang para calon di Pemilukada DKI Jakarta yang akan berlangsung pada
Juli 2012, berbanyak wartawan dari berbagai media duduk dengan
khidamat dan khusyuk. Mereka yang sudah siap dengan segala senjata
pamungkas; kamera, recorder, blackberry, pena, kertas, dan lain
sebagainya terpekur dikursi masing-masing menunggu serangan berita
yang dapat mereka tangkap sebanyak-banyaknya. Aroma aneka hidangan
yang telah disajikan tidak begitu menyita perhatian mereka yang
mencari duit dengan mengabarkan sesuatu yang disebut “berita”.
Acara pun dimulai dan
paparan disampaikan oleh direktur eksekutif lembaga survei X. Tik,
tik, tik, tik,tik,... suara jemari mereka mengetik berita lewat
blackberry beragam jenis. Yang tak punya blackberry sudah siap dengan
recorder ditangan, merekam semua pembicaraan dari awal hingga tamat.
Yang dari stasiun TV, siap dengan kamera video super canggih. Pun
fotografer tak ketinggalan jeprat-jepret sana sini. Para pembicara
mendadak menjadi selebritis yang mesti dikulik dan dikupas kabar apa
saja agar jadi duit bagi para mencari “berita”.
“Si A alhamdulillah
sudah menang di satu kabupaten, Kepulauan Seribu,” ujar tim sukses
A. “Ia juga didukung oleh para nelayan. Artinya tidak sia-sia lah
dia yang orang sungai mendapat dukungan di Kepulauan Seribu.”
Padahal, kemenangan dalam survei disatu kabupaten itu tidak
representatif. Karena hanya sekitar 0,2 % dari populasi Jakarta.
Hahahaha...
Buat saya dan para
pembicara lainnya ini lucu. Tetapi saat saya menoleh ke samping kiri
dan kanan, tidak ada yang ikut menikmati jokes tersebut. Kerutan
didahi para pemburu berita ini tak juga berkurang malah semakin
menebal. Oalah, ini keterlaluan! Masak selucu dan sesederhana ini
mereka tak bisa pahami sebagai jokes.
Berkelebatlah suatu
kesadaran baru dalam pikiran saya. Media selama ini terlalu serius.
Terlalu tekun menanggapi tingkah pola para elit dan mengemasnya dalam
headline sensasional bertajuk POLEMIK! Astaga!
Tuntutan untuk menghadirkan berita yang luar biasa menjadikan media memburu banyak hal biasa kemudian dikemas menjadi apa yang saya sebut POLEMIK. Perbedaan adalah hal lumrah dalam kehidupan, tetapi dalam dinamika politik yang diamati selalu oleh media laiknya gosiptainment, membuat politik terlalu mewah untuk diberitakan sederhana saja. Pasti ada intrik, ada permufakatan jahat yang dilakukan para elit untuk menjajah negeri ini. Pasti!
Benarkah? Entahlah, toh tugas media tampaknya mengemas itu dengan seribu cara investigatif pencarian berita.
Tuntutan untuk menghadirkan berita yang luar biasa menjadikan media memburu banyak hal biasa kemudian dikemas menjadi apa yang saya sebut POLEMIK. Perbedaan adalah hal lumrah dalam kehidupan, tetapi dalam dinamika politik yang diamati selalu oleh media laiknya gosiptainment, membuat politik terlalu mewah untuk diberitakan sederhana saja. Pasti ada intrik, ada permufakatan jahat yang dilakukan para elit untuk menjajah negeri ini. Pasti!
Benarkah? Entahlah, toh tugas media tampaknya mengemas itu dengan seribu cara investigatif pencarian berita.
Rasanya dunia tidak
seserius itu. Dan manusia yang berpikir, saya rasa adalah mereka yang
tidak terjebak dengan keseriusan orang lain. Serius berarti kurang
tahu, pemahaman pas-pasan. Sayangnya orang-orang tipe begini sering
meng-klaim yang paling tahu sehingga jadi sok tahu. Jika yang belum
dapat klaim paling tahu, maka mereka akan setengah mati mencari tahu
hingga tak tahu lagi yang mana lucu dan tidak lucu.
Sementara orang yang
tahu, biasanya sadar mereka tahu dan paham, pengetahuan luas,
sehingga hati-hati jika bertemu, siapa tahu yang fiksi dipelintirkan
seolah fakta.
Sial (atau bagusnya??), yang bekerja
di industri media adalah orang-orang yang tak tahu menahu. Mereka
biasa makan junk food, yang langsung jadi. Sehingga tidak dioleh dan
dikunyah dengan baik dan mudah. Media mendulang harta dari apa yang
dikemas menjadi POLEMIK tersebut dengan menjualnya kepada masyarakat.
Masyarakat pun dibuat panik untuk hal yang seharusnya disikapi biasa
saja.
Saya hanya punya satu catatan mengenai mereka yang hadir sebagai tim sukses para calon. Dalam pandangan saya, mereka tidak heroik. Mereka mungkin bermufakat dengan salah satu calon bukan karena mereka relakan jiwa raga agar yang didukung menang. Mereka tentu menyadari siapa pun calon yang mereka usung dan kans menang yang mungkin mereka dapatkan. Lantas, mengapa masih terus melanjutkan dukungan untuk calon yang hampir dipastikan tidak akan memenangkan putaran Pemilukada Jakarta?
Sepintas rasanya itu adalah optimisme absurd. Tetapi saat dipikir ulang, rasanya wajar saja jika si tim sukses A berkelakar demikian, atau tim sukses B mengatakan timnya membutuhkan keajaiban untuk menang. Dan memang politik sebagai sebuah ruang mempersilahkan hal demikian. Mempersilahkan hal yang paling tidak masuk akal sekalipun hadir dan biarkan ia mengarai sendiri ke muaranya. Ini merupakan kegilaan yang dirasionalisasikan kok.
Toh, hidup yang berkelindan dengan segala pilihan tidak mungkin dapat terakomodir seluruhnya sehingga pilihan-pilihan tersebut diperkecil sedemikian rupa. Bagi saya pun apa yang dilakukan tim sukses yang hampir dipastikan tidak menang ini pun tetap bertahan bukan karena bodoh atau memiliki hati mulia bak malaikat karena rela berkorban, melainkan ini hanya masalah sedang berada dimana mereka saat ini, identitas apa yang telah mereka pilih baik itu politik, sosial, dan lainnya. Semua mesti begitu karena memang harus begitu. Mungkin saja mereka sedang bereksistensi dengan pilihan mereka. Tapi bukan heroisme absurd, saudara-saudara.
Saya hanya punya satu catatan mengenai mereka yang hadir sebagai tim sukses para calon. Dalam pandangan saya, mereka tidak heroik. Mereka mungkin bermufakat dengan salah satu calon bukan karena mereka relakan jiwa raga agar yang didukung menang. Mereka tentu menyadari siapa pun calon yang mereka usung dan kans menang yang mungkin mereka dapatkan. Lantas, mengapa masih terus melanjutkan dukungan untuk calon yang hampir dipastikan tidak akan memenangkan putaran Pemilukada Jakarta?
Sepintas rasanya itu adalah optimisme absurd. Tetapi saat dipikir ulang, rasanya wajar saja jika si tim sukses A berkelakar demikian, atau tim sukses B mengatakan timnya membutuhkan keajaiban untuk menang. Dan memang politik sebagai sebuah ruang mempersilahkan hal demikian. Mempersilahkan hal yang paling tidak masuk akal sekalipun hadir dan biarkan ia mengarai sendiri ke muaranya. Ini merupakan kegilaan yang dirasionalisasikan kok.
Toh, hidup yang berkelindan dengan segala pilihan tidak mungkin dapat terakomodir seluruhnya sehingga pilihan-pilihan tersebut diperkecil sedemikian rupa. Bagi saya pun apa yang dilakukan tim sukses yang hampir dipastikan tidak menang ini pun tetap bertahan bukan karena bodoh atau memiliki hati mulia bak malaikat karena rela berkorban, melainkan ini hanya masalah sedang berada dimana mereka saat ini, identitas apa yang telah mereka pilih baik itu politik, sosial, dan lainnya. Semua mesti begitu karena memang harus begitu. Mungkin saja mereka sedang bereksistensi dengan pilihan mereka. Tapi bukan heroisme absurd, saudara-saudara.
Lalu, masuk kemanakah
tipe orang seperti saya? Yang sudah mengenal silahkan berpendapat,
tapi jangan men-judge... (Terkadang saya di media, seringkali mencoba menjadi orang yang sok tahu dengan kerangka pikir filsafat)