Rabu, 02 Mei 2012

Sertifikasi Seniman; Label Halal bagi Pekerja Seni


http://lifeandpaintings.blogspot.com


Wacana yang dikeluarkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan untuk melakukan sertifikasi kepada para pekerja seni bagi saya sangat absurd. Bagaimana tidak, menjadi seorang seniman yang sungguh-sungguh seniman saya kira tak membutuhkan sertifikasi macam itu. Karya yang akan membuktikan layak atau tidak ia menjadi  seorang artis. Dalam hal ini publik lah yang menilai dan mengapresiasi karya terlepas dari sengkarut pemain lain misalnya patron seni, pasar, dan lain sebagainya.

Berkarya adalah suatu wadah bagi siapapun untuk membebaskan yang ada dalam dirinya. Seluruh pikiran, hasrat, mimpi, kekecewaan, dan sejuta asa lain yang hadir dalam forma yang dapat kita nikmati kehadirannya dan disebut seni. Saat suatu karya bersandar pada komodifikasi kongkalikong pasar dan mesti punya standar, saya kira disanalah kematian seni sebagai bentuk pembebasan. Salah satunya sertifikasi untuk seniman.

Sekarang ini siapa yang berhak menyematkan label seseorang itu seniman atau bukan? Saya kira siapapun tak berhak, walaupun tiap orang bisa menunjuk siapa saja sebagai seorang artis entah penyair, pelukis, perupa, penari, penyanyi, pematung, penulis, dan pe- lainnya. Namun, siapa yang punya otoritas penuh sesuai hukum yang dapat menghakimi seseorang sebagai seniman? Tidak ada. Bahkan, bagi saya hukum haram hadir dalam wilayah seni. 

Dunia seni, dalam pandangan saya merupakan taman bermain dimana semua orang setara dan bebas menuju kediriannya. Tidak ada yang putih bersih pun asli seratus persen dalam dunia cipta, karsa, dan rasa. Dunia dimana segala hal dapat masuk dan menyatakan kediriannya sebagai yang asli maupun yang palsu. Dunia tanpa formalitas legal, tanpa hierarki!

Dan kini negara mencoba hadir dalam dunia tersebut dengan segala klaim kewenangan yang dianggap dipunyainya. 

“Demi meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup para seniman, maka kita patut melakukan pemetaan para seniman kita. Sehingga sertifikasi menjadi penting dan fardu sifatnya!” kelakar seorang PNS berpakaian safari dengan segala kepongahan dan kekosongan otaknya.

Ia berkhotbah seorang diri ditengah kerumunan anak kecil yang sibuk bermain. “Masa kita kalah dengan guru yang juga punya sertifikasi,” tambahnya lagi yang tak punya otak.”Kita jangan mau direndahkan masyarakat internasional karena karya yang dibuat para seniman tak tersertifikasi.”

Kebodohan dan kesoktahuan seringkali memang satu paket. Keduanya sama-sama mengidap virus ketololan yang akut. Yang perlu dilakukan negara dalam urusan seni hanyalah menjamin kebebasan berkarya bagi setiap warga negaranya, bukan melekatkan label halal bagi seniman. 

Seni adalah persoalan selera dan kedirian yang sebenarnya tidak perlu simpatisan. Ia rasa yang lahir dari diri sendiri yang entah muak, entah gembira, entah apapun terhadap sesuatu. Perkara duit itu soal lain, bung. Apresiasi yang lebih penting, bukan sertifikasi menurut saya. 

Siapa yang bisa menguji seseorang adalah seniman atau bukan? Tidak ada siapapun bahkan maestro sekalipun. Melainkan karya yang akan menunjukkan siapa dia. Toh, saya yakin saat Marcel Duchamp bikin Fountain tidak pakai sertifikasi untuk menjadikan karyanya menjadi fenomenal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar