Selasa, 01 Mei 2012

BURUH HARI BURUH


http://www.tataruangindonesia.com



Terlintas sekejab dalam pikiran saya pada suatu siang pada perjalanan menuju kantor. Dalam sebuah iring-iringan kendaraan bermotor, berbanyak manusia dengan seragam merahnya melaju menuju ketetapan sebuah momen; hari buruh. Tulisan yang tersemat dibelakang jaket yang mereka kenakan siang itu, ada kata-kata Solidarity, Morality. Saya menduga mereka adalah serikat pekerja suatu perusahaan.

Tanggal 1 Mei diperingati seluruh dunia sebagai hari buruh. Sebuah peringatan. Sebuah peringatan? Sebuah peringatan! Demi apa kiranya perlu diperingati hari buruh seluruh dunia?

Selebrasi. Lagi-lagi selebrasi. Dalam setahun kita hanya butuh satu kali selebrasi yang mengingatkan siapa diri kita dalam relasi ekonomi; buruh. Perlukah mengingat ke-buruh-an kita?

Pikiran yang terlintas dalam pikiran saya adalah andaikan Karl Marx dapat dihidupkan kembali dari kematiannya yang beratus tahun silam. Ayolah, bangun Marx! Ayo bangun dan revisi teorimu. Apa yang akan kau katakan saat melihat perburuhan sekarang ini? Apa yang akan kau katakan saat tahu teorimu mengenai kemenangan kelas buruh ternyata tak tercapai. Kesepakatan yang ada adalah kapitalisme tetap menggurita dan buruh terlena dengan barang-barang murah serta kucuran kredit seumur hidup. Saat kau lihat buruh-buruh yang coba kau angkat kelasnya berlagak borjuis dengan segala tetek-bengek barang-barang mahal? Apa yang akan kau katakan saat tahu bahwa negara adalah korporasi paling busuk yang memegang senapan birokrasi. Negara mencekik buruh kemudian membunuh mereka dalam jerat Undang-Undang berlapis keju dan coklat? Apa yang akan kau katakan perihal itu semua, duhai jenggot Marx?

Iring-iringan serikat pekerja itu melaju dalam hening dengan sikap badan yang tegap. Seolah bersiap bertatap muka dengan penjajah baru. Padahal mereka telah bersikap kompromistis. Tak ada Levinas disana. Etikanya terhadap yang liyan diinjak-injak saat dipinggir jalan, ratusan fakir miskin menengadahkan tangannya tidak dalam koordinasi demonstrasi. Tidak ada serikat dalam kemiskinan. Mereka membisu dalam pemberontakannya terhadap takdir. Tak ada yang bisa dituntut dari keheningan yang miskin. Tak ada buruh disana. Hanya harapan belas kasih.

Buruh-buruh berbondong menuju epicentrum; koorporasi baik birokrasi pun swastanisasi. Ada yang dituntut dalam selebrasi. Mereka mengklaimnya sebagai hak dan menunjuk kepada pemilik modal sebagai kewajiban yang harus dibayarkan. 

Demi apa? Demi apa? Demi Tuhan, mereka para liyan yang berserakan dijalan tak punya epicentrum tempat mengadu. Mereka telah menjadi atheis dalam kebisuan tanpa uang dan emas permata, tanpa Blackberry, tanpa gadget berlabel Apple. Tidak ada Tuhan dalam keluh kesah mereka. Tak ada lagi malaikat pun iblis yang sanggup menggoncang kemanusiaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia yang berjalan datar siang-malam laiknya anjing dan kucing yang lelah bertarung memperebutkan siapa pemilik kuasa tempat makan.

1 Mei. Sebuah refleksi. Sebuah tanda tanya tanpa jawaban. Sebuah ironi. Sebuah anomali. Siapakah kita sebenarnya tanpa balutan cap ekonomi? Bukan buruh, bukan pula si pemilik modal. Bukan siapa-siapa hingga kau menatap lekat kemiskinan dalam mata seorang miskin yang tak punya serikat miskin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar