http://www.tataruangindonesia.com
Terlintas sekejab
dalam pikiran saya pada suatu siang pada perjalanan menuju kantor.
Dalam sebuah iring-iringan kendaraan bermotor, berbanyak manusia
dengan seragam merahnya melaju menuju ketetapan sebuah momen; hari
buruh. Tulisan yang tersemat dibelakang jaket yang mereka kenakan
siang itu, ada kata-kata Solidarity, Morality. Saya
menduga mereka adalah serikat pekerja suatu perusahaan.
Tanggal 1 Mei
diperingati seluruh dunia sebagai hari buruh. Sebuah peringatan.
Sebuah peringatan? Sebuah peringatan! Demi apa kiranya perlu
diperingati hari buruh seluruh dunia?
Selebrasi. Lagi-lagi
selebrasi. Dalam setahun kita hanya butuh satu kali selebrasi yang
mengingatkan siapa diri kita dalam relasi ekonomi; buruh. Perlukah
mengingat ke-buruh-an kita?
Pikiran yang
terlintas dalam pikiran saya adalah andaikan Karl Marx dapat
dihidupkan kembali dari kematiannya yang beratus tahun silam. Ayolah,
bangun Marx! Ayo bangun dan revisi teorimu. Apa yang akan kau katakan
saat melihat perburuhan sekarang ini? Apa yang akan kau katakan saat
tahu teorimu mengenai kemenangan kelas buruh ternyata tak tercapai.
Kesepakatan yang ada adalah kapitalisme tetap menggurita dan buruh
terlena dengan barang-barang murah serta kucuran kredit seumur hidup.
Saat kau lihat buruh-buruh yang coba kau angkat kelasnya berlagak
borjuis dengan segala tetek-bengek barang-barang mahal? Apa yang akan
kau katakan saat tahu bahwa negara adalah korporasi paling busuk yang
memegang senapan birokrasi. Negara mencekik buruh kemudian membunuh
mereka dalam jerat Undang-Undang berlapis keju dan coklat? Apa yang
akan kau katakan perihal itu semua, duhai jenggot Marx?
Iring-iringan
serikat pekerja itu melaju dalam hening dengan sikap badan yang
tegap. Seolah bersiap bertatap muka dengan penjajah baru. Padahal
mereka telah bersikap kompromistis. Tak ada Levinas disana. Etikanya
terhadap yang liyan diinjak-injak saat dipinggir jalan, ratusan fakir
miskin menengadahkan tangannya tidak dalam koordinasi demonstrasi.
Tidak ada serikat dalam kemiskinan. Mereka membisu dalam
pemberontakannya terhadap takdir. Tak ada yang bisa dituntut dari
keheningan yang miskin. Tak ada buruh disana. Hanya harapan belas
kasih.
Buruh-buruh
berbondong menuju epicentrum; koorporasi baik birokrasi pun
swastanisasi. Ada yang dituntut dalam selebrasi. Mereka mengklaimnya
sebagai hak dan menunjuk kepada pemilik modal sebagai kewajiban yang
harus dibayarkan.
Demi apa? Demi apa? Demi Tuhan, mereka para liyan yang berserakan dijalan tak punya epicentrum tempat mengadu. Mereka telah menjadi atheis dalam kebisuan tanpa uang dan emas permata, tanpa Blackberry, tanpa gadget berlabel Apple. Tidak ada Tuhan dalam keluh kesah mereka. Tak ada lagi malaikat pun iblis yang sanggup menggoncang kemanusiaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia yang berjalan datar siang-malam laiknya anjing dan kucing yang lelah bertarung memperebutkan siapa pemilik kuasa tempat makan.
Demi apa? Demi apa? Demi Tuhan, mereka para liyan yang berserakan dijalan tak punya epicentrum tempat mengadu. Mereka telah menjadi atheis dalam kebisuan tanpa uang dan emas permata, tanpa Blackberry, tanpa gadget berlabel Apple. Tidak ada Tuhan dalam keluh kesah mereka. Tak ada lagi malaikat pun iblis yang sanggup menggoncang kemanusiaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia yang berjalan datar siang-malam laiknya anjing dan kucing yang lelah bertarung memperebutkan siapa pemilik kuasa tempat makan.
1 Mei. Sebuah
refleksi. Sebuah tanda tanya tanpa jawaban. Sebuah ironi. Sebuah
anomali. Siapakah kita sebenarnya tanpa balutan cap ekonomi? Bukan
buruh, bukan pula si pemilik modal. Bukan siapa-siapa hingga kau
menatap lekat kemiskinan dalam mata seorang miskin yang tak punya
serikat miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar