Selasa, 15 November 2011

Melaju Kereta, Pergi


Banyak orang yang cuma bisa mengasihi diri sendiri dan tidak dapat menerima pandangan berbeda orang lain. Dari apa yang dirasakannya, ia merasa adalah orang yang paling sengsara dan menderita dibandingkan siapapun. Terlebih ia memperparahnya dengan berlagak seperti santa dihadapan orang lain. Ia lupa, hidup setiap orang dijalankan berdasarkan pilihan-pilihan yang bisa jadi potensi konflik karena tidak seperti apa yang dipikirkannya. Betapa memuakkannya melihatmu diposisi seberang sana yang melambai-lambai seolah tenggelam oleh kepedihan karena “salah”-ku.

Rasanya ingin berlari kencang, kalau bisa sekalian terbang. Atau mungkin hilang ingatan lebih baik?? Apa saja tak masalah yang penting semua rasa yang ada disini terlupakan, kalau boleh untuk selama-lamanya. Peduli setan dengan mereka yang pura-pura peduli padaku. Tak usah kasih perhatian berlebih dan seolah-olah sakit hatinya jika aku lemah sedikit saja. Urusanku adalah urusanku.

Kau tak perlu turut campur. Pikirmu kau siapa, hah? Aku muak menganggap diriku salah sementara kau terlihat oleh mereka sebagai yang mengalah. Kau tidak tahu bagaimana rasanya saat orang-orang menganggap aku mempermainkan dirimu sedemikian rupa. Kau dengan raut wajahmu yang memelas setiap kali kita berselisih paham, membuat mereka semakin menyudutkanku. Aku tidak tahu diri, egois dan besar kepala. Tak tahu diuntung! Jahanam!
Mereka memang tak bicara langsung padaku pun mencerna hingga hina dina diriku. Namun, akan kuberitahu sebuah rahasia perempuan padamu. Kami adalah makhluk yang peka terhadap sekeliling. Kami punya perasaan yang kuat terhadap suatu hal.

Irasional!

Ah, itu kan yang selalu ada dipikiranmu, dibatok kepalamu yang isinya tak lebih banyak daripada punyaku. Kau memang sok intelek, padahal melankolis juga. Kau itu sebenarnya lemah dibalik kelaminmu yang dapat tegak panjang. Aku tahu kau diam-diam menangis saat aku bilang hendak memutuskan hubungan denganmu.

Kau semakin membuatku tersudut dan merasa bersalah luar biasa terhadapmu. Padahal aku tak salah apa-apa. Semua ini hanya permasalahan cocok atau tidak cocok satu dengan yang lain. Aku tak merasa nyaman bersamamu. Kau tidak menanggapi perkataan pun pemikiranku. Kau biarkan aku bicara sendiri tanpa berusaha mendebatnya. Kau sungguh sok pintar dengan diammu itu. Alasanmu hanya karena tak ingin menyakiti hatiku kalau sampai kau ikut mendebatku. Kau pikir aku tak tahu? Salah besar!!

Ting! Tong!

“Kereta tujuan Bogor yang akan berangkat lebih dahulu adalah kereta ekonomi biasa. Kereta ekonomi AC tujuan Bogor baru berangkat dari stasiun  Pangeran Jayakarta.”

Keretaku masih lama.

“Tempo, Media, Warta seribu. Kompasnya dua ribu,” celoteh penjaja Koran disekitaran stasiun siang ini.
Aku melirik sekilas ke arah mereka yang berkoar-koar menjajakan koran. Aku ingin baca koran. Sudah lama tak tahu kabar mengenai negeri ini. Tapi ah, aku pasti tak akan serius membaca. Bagaimana bisa membaca dengan tenang jika perasaanku tak karuan begini. Ingin marah tapi tak kuasa di saat begini, apalagi sendirian di stasiun yang ramai orang seperti sekarang.

Sungguh memuakkan! Mau marah saja mesti kutahan kuat-kuat. Aku hanya mampu mengatupkan rahang kuat-kuat hingga sakit persendian mulutku. Sungguh, aku ingin teriak kencang bagai orang kesetanan. Kalau perlu sampai kejang-kejang biar iblis yang bersemayam dalam diriku terpuaskan birahinya.

Ting! Tong!

“Sebentar lagi di jalur satu kereta ekonomi tujuan Bogor akan melintas stasiun Tebet. Di mohon para penumpang bersiap karena kereta yang akan masuk hanya terdiri dari empat gerbong.”

Suara petugas kereta dari mikrofon diiringi gerakan tergesa oleh sebagian besar penumpang. Banyak diantara mereka yang saling mendorong satu sama lain, hendak tak ingin kehilangan kesempatan naik kereta yang lebih dulu.

“Huuuu, gerbong pendek!” runtuk seorang bapak tua dengan beberapa kardus bawaannya.”Ayo, ayo, pasti ramai nih!”

Jelas akan ramai sekali kereta ekonomi biasa. Untungnya aku membeli tiket kereta ekonomi AC. Aku hanya berharap keretaku nanti tak begitu penuh sehingga aku masih kebagian jatah duduk. Setelah itu akan kupasang mp3, medengarkan lagu-lagu favorit sambil memandangi pemandangan diluar dan disepanjang perjalanan menuju Bogor. Rasanya pasti menyenangkan dan damai. Aku membayangkan diriku berada ditengah-tengah kebun jambu biji dengan buah-buah yang hampir ranum dan berbau manis. Ingin kupetik satu diantaranya dan memakannya dengan lahap. Ah, pasti menyenangkan sekali.

Ting! Tong!

“Kereta ekonomi AC telah tersedia di stasiun Manggarai. Penumpang ekonomi AC Bogor harap bersiap-siap. Hati-hati dengan barang bawaan anda.”

Kusampirkan ke depan tas bututku yang selalu setia menemaniku sejak masih sekolah dasar. Aku berdiri menanti kereta tiba. Udara begini  cerah sungguh indah. Sangat sayang jika aku gundah gulana sekarang ini. Sudahlah, aku tak ingin memikirkanmu lagi. Aku tak ingin membebani pikiranku mengenaimu.

Grrr..grrr…grrr…

Telepon genggamku bergetar. Kuambil dari saku celana. Sebuah pesan pendek darimu rupanya. Aku menghela napas panjang. 

Aku sayang kamu. Hati-hati dijalan

Cepat-cepat kuhapus pesanmu. Tak mengertikah kau kita telah putus??!! Aku telah mengakhiri hubunganku denganmu. Kau memang baik. Namun aku tak sayang padamu. Tak merasa cocok denganmu. Kubilang waktu itu saat kita terakhir bertemu bahwa aku tak dapat menyayangimu, mencintaimu karena aku tak ingin bersama dengan siapa pun saat ini. Sesederhana itu. Tapi kau tak mengerti dan memintaku menjabarkan apa yang kurang darimu untuk dapat kau perbaiki. Bukan itu maksudku. Kau cukup menjadi dirimu sendiri, begitu pun aku. Aku hanya tak ingin mencintai siapa pun saat ini. Lagipula hadirnya cinta tak dapat diminta dan disengaja. Kau pun tetap tak terima penjelasanku.

Apa peduliku kini? Aku sudah menganggap selesai hubungan kita. Keretaku tiba. Aku akan belajar melupakanmu mulai saat ini.

Bagaimana jika ternyata kau adalah jodoh yang dimaksudkan Tuhan untuk melengkapi hidupku?

Aku tersenyum kecut. Biarlah kalau memang ternyata begitu. Biarkan menjadi urusan Tuhan. Aku tak ingin tahu mengenai itu sekarang, sementara kereta telah terlihat diujung sebelah selatan. Selamat tinggal.

(September 2010)

Sabtu, 05 November 2011

Debu Kata Usang


Semilir angin berhembus pelan. Menyapu kilauan pekat yang tergambar jelas diwajahku bagai sebuah lukisan penuh debu dan hampir usang. Perlahan panasnya matahari siang ini digantikan oleh sejuknya hembusan angin di bawah pohon rindang yang mungkin sudah berusia puluhan tahun. Aku selalu menyukai tempat ini. Gedung megah yang menjulang dihadapanku, walau tampak sangat hebat dengan keagungan arsitekturnya, bagiku sangat kuno. Sangat membosankan sebenarnya. Hanya puluhan ruang yang dibangun dengan mengabaikan pentingnya konsep keruangan tanpa pintu dan jendela yang jelas pada perkembangan arsitektur sebelum era sekarang ini. Hanya kumpulan kaca yang mencoba menggantikan fungsi pintu dan jendela serta mengaburkan realitas ruang yang sarat perhitungan matematik logis. Pola hitungan yang dipakai dalam penggunakan kaca pada bangunan ini adalah ingin mengembalikan konsep keruangan pada aspek alam sehingga jika kau lemparkan pandanganmu ke segala arah , maka yang kau dapati pun hanya setumpuk batu yang menyusun bangunan ini dan disangga dengan banyak kaca di mana kau dapat melihat langsung apa yang terjadi diluar sana tanpa perlu beranjak dari tepatmu berada di dalamnya.
Melihat bangunan ini selalu mengingatkanku dengan suasana perpustakaan di Eropa pada zaman pertengahan saat gereja yang memiliki peran penting dalam hampir segala aspek kehidupan masyarakat dimana arsitektur yang berlaku zaman itu pun menggambarkan betapa suramnya hidup tanpa keindahan, tanpa seni, tanpa keberagaman. Semuanya hampir serupa. Semuanya mengusung kesatuan yang semu sama seperti apa yang didengungkan oleh pihak gereja. Kira-kira begitulah gambaran umum mengenai bangunan megah dibelakangku yang entah mengapa begitu kusukai walau bentuknya sangat membosankan. Betapa tidak membosankan, bangunan ini memang bagus luar biasa tapi ia memiliki kekurangan yang sangat janggal mengingat kita tidak lagi hidup di zaman pertengahan, melainkan zaman dimana yang berbeda dapat mulai menampakkan diri dan menyatakan kediriannya-zaman dimana demokrasi menjadi mantra semua dapat hadir dan dihargai hak-haknya. Bangunan ini  kurang warna. Tidak, bahkan tidak diwarnai sama sekali. Kelabu saja. Betapa membosankan. Begitu kontras dengan apa yang hadir disekitarnya; sebuah danau berarus tenang berwarna kehijauan, berbagai pepohonan yang tumbuh dan memancarkan kilau pesona warna hijau yang mengagumkan, jalan setapak yang dilalui banyak orang lengkap dengan berbagai ekspresi yang tak kalah memberikan nuansa ceria, tiga taman yang sedang dibangun dan mulai menampakkan rona alam dan sejumput canda mereka yang bermain disana. Bangunan kelabu ini menyiratkan tempat beristirahat dengan tenang walau dunia berputar tak pernah sabaran.
Tidak, bangunan ini adalah sebuah mahakarya. Suatu usaha menghadirkan masa lampau ke zaman yang penuh hiruk-pikuk dan keberagaman. Ia adalah penegasan dari demokrasi yang tampil sebagai ruang kosong dan cair dimana siapa saja, apa saja dapat hadir tanpa perlu takut berbeda dengan tetangganya.
Kembali kurenungi pikiran-pikiran liarku sambil tetap mencoba menikmati suasana pengap dan panas siang ini. Siapa kiranya manusia di dunia yang tak pernah berpikir sekejab pun? Adakah yang memiliki kehendak untuk tidak berpikir sejenak dan permohonannya dikabulkan oleh Tuhan? Ya, mereka yang sudah mati tidak lagi berpikir dan permohonannya pun menguap seiring hasrat yang tak lagi dipunyainya sebagai makhluk yang hidup dan bernapas. Karena jiwa tak lagi ada, entah kemana…
Jika ada surga, aku ingin surgaku bentuknya seperti tempat ini. Banyak pepohonan dan terdapat danau ditengahnya untuk kupandangi sepanjang hari. Aku bersedia duduk disampingnya, disebuah fondasi batu bata yang sengaja dibuat mirip agora. Akan kulantunkan sajak khas para pecinta di sore hari dimana kicauan burung menjadi orchestra yang mengiringi penjiwaanku saat menyampaikan sebaris kata. Akan kusampaikan dengan lantang pada Tuhan dan malaikat di surga bahwa aku telah bahagia. 



Semua tentu terjadi dalam kepalaku saat seseorang datang menghampiri dan langsung mengambil tempat tepat disebelahku. Ia membuyarkan khayalanku tentang nirwana. Seseorang yang tersenyum kearahku dan aku hanya menatapnya sambil lalu. Melihat air yang terangkum di danau lebih menarik perhatianku ketimbang kedatangannya.
“Mari kita bicarakan tentangmu.”
Aku menoleh ke arahnya. Ia terlihat sedikit pucat, cemas. “Kenapa? Memangnya ada apa?”
“Kau berbeda.”
“Semua orang berbeda, bahkan dirimu sendiri pun berbeda dengan dirimu yang kemarin. Kita semua terjebak dalam risalah menjadi-becoming”, jawabku sambil mengerling padanya. Ia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu. Ya, ia tahu benar aku sedang risau dan ia cemas karenanya.
Ia terdiam dan menatap lurus ke depan. Aku menatapnya dan tersenyum kecut. Sekelumit pikiran liar memang tengah mengganggu diriku. Sebagian sisanya karena dirinya. Dirimu maksudku…
“Ya, semua orang berbeda dan menjadi dalam jejak kehidupan mereka. Dan itu masalah. Namun aku ingin mengetahui masalahmu.”
“Bukan sesuatu yang besar dan pantas diceritakan. Aku baik-baik saja.”
Bagaimana mungkin menceritakan apa yang bergumul dan berkoalisi menjadi kanker dalam pikiranku jika kau salah satu sebab kanker itu mengerak dalam batok kepalaku? Ini hanya sebuah lelucon. Percakapan ini suatu kesia-siaan. Aku tetap harus berjarak denganmu karena masalah ini. Bukan karena kau berbahaya, menurutku, melainkan karena tak mungkin bagiku berbagi kecemasan mengenai dirimu sendiri.
“Setidaknya bercerita dapat membantu meringankan bebanmu”, ujarnya.
Aku menatapnya lekat. Gurat wajahnya tampak sedikit kelabu. Ia seperti bangunan yang tepat berdiri dibelakangku. Kau sedang sakit namun kau memutuskan untuk pergi kesini dan menemuiku? Mengapa? “Kau masih sakit kan? Untuk apa menemuiku? Kau kan bisa bilang kalau kau masih sakit dan kita masih dapat berjumpa kali lain saat kau sembuh nanti.”
“Ah, kita sedang tidak membahas tentang sakitku. Lagipula aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dapat bertemu denganmu. Tidak setiap hari kita berjumpa dan aku tidak ingin kehilangan kesempatan itu walau aku sakit.”
“Jangan begitu. Aku merasa bersalah atasmu karena saat sakit pun kau mau menemuiku.”
Ia terdiam sesaat untuk mengambil napas. Tubuh besarnya terlihat kelelahan. “Jangan merasa bersalah. Ini pilihanku untuk bertemu denganmu. Lagipula melihatmu selama sekian menit membuatku segar sekali”, katamu sambil tersenyum.
“Ha..ha..ha…” Aku tersipu mendengar ucapannya dan tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Kau memang penipu. Pernah kukatakan jangan lagi merayuku tapi kau tetap melakukannya.
“Kau terlihat sangat cantik saat tertawa. Wajahmu begitu hidup. Tetaplah seperti itu.” Tiba-tiba ia berkata demikian padaku. Aku berhenti tertawa dan menatapnya, ia masih tersenyum. Entah mengapa seketika aku merasa sedih. Air mataku hendak jatuh tapi kutahan ia baik-baik. Tidak, aku tidak boleh katakan apapun padanya. Jangan cerita apa-apa.
Banyak hal hadir lagi dalam batok kepalaku. Kata seseorang, hal paling sulit yang mesti dihadapi manusia adalah dirinya sendiri. Ya, dirinya sendiri dan bukan orang lain. Kita mengalami banyak hal dalam hidup, sadar pun tak sadar. Segala perbuatan bersumber dari pembentukan diri sebelumnya. Semua perasaan; marah, kecewa, bahagia, gembira, sedih dan lainnya merupakan bumbu yang menjadikan hidup berwarna dan berbeda satu dengan lainnya. Menerima perbedaan selalu menjadi hal yang sulit karena hasrat yang juga dimiliki manusia membuatnya enggan menerima perbedaan yang tak dikehendaki olehnya. Perbedaan adalah liyan, sesuatu yang tak dikenal. Sesuatu yang tak dikenal merupakan wilayah di mana ketidakpastian menjadi jebakan yang agak menyakitkan bagi siapa saja yang menginginkan kepastian.
Pelajaran yang paling sulit dalam memahami diri sendiri adalah menerima bahwa dirimu tidak sepenuhnya seperti apa yang kau pikirkan; baik seutuhnya. Saat kau berhadapan dengan orang lain dan kau bertindak menyakitinya, kau berpikir ulang bahwa ternyata kau bukanlah orang baik. Kau bukan orang baik sama sekali. Kau hanya seseorang yang dapat bertindak baik sekaligus buruk. Dan itulah aku.
Ya, baru-baru ini aku menyadari bahwa diriku adalah seseorang yang jahat dan egois. Kupikir selama ini aku adalah orang yang penuh pertimbangan dan selalu berhati-hati. kukendalikan semua hal yang mungkin dihadapan orang lain agar aku tampak sebagai si baik bahkan si bijak. Namun, bertemu dengannya dan seorang lainnya dalam masa hidupku kini menunjukkan siapa diriku yang selama ini tidak kusadari. Atau setidaknya enggan kuakui. Aku adalah si jahat karena egois dan selalu menang, sementara yang lain rela mengalah demi kemauanku. Betapa hal ini tidak menyesakkanmu saat kau tahu bahwa aku hanyalah seorang dungu yang sok pintar, seorang serakah yang sok dermawan, seorang gegabah yang sok bijak, dan seorang pecundang yang sok pemberani. Dia yang ada di sampingku kini adalah salah satu korban yang telah kubuat sakit tetapi tetap ingin berada di dekatku.
Aku menatapmu sekilas dan kembali kupekuri air yang berwarna kehijauan di danau. Ada banyak kata yang mengganjal dalam benakku dan tersangkut dibibirku. Aku selalu haru bersamamu. Kutahan air mataku karena aku tak ingin kau berpikir aku selalu sedih. Kulayangkan pandanganku kesekeliling tempat ini untuk mengalihkanku menatap kedua matamu yang cemas melihatku. Aku ingin kuat dihadapanmu, walau setiap usahaku selalu luruh saat kau menatapku dengan sorot matamu yang menyiratkan ketulusan.
Aku menghadirkan metafora padamu untuk menjelaskan apa masalahku. Banyak kata yang tak berharga kusampaikan padamu. Namun, satu hal yang tak kusampaikan padamu: “Aku menyayangimu”

Selasa, 01 November 2011

Ode Suatu Senja




Kadang kau mengabu dan aku kehabisan sumbu untuk menyulut bara dalam sejumput asa. Kadang kau membekas dan aku menghapusnya sesak karena sukma menjelma kabut. Aku menggenggam rona agar kusimpan jadi milikku saja dan kau takkan pernah menemukannya. Ada begitu banyak kubangan yang mesti kau lalui untuk sampai ke sahara. Aku masih menghirup senja, masih mengurung makna, membual kata kosong dan dijajakan saat para pengelana mulai berziarah ke padang penuh ilalang. Aku abui kau dan hempaskan seiring angin berhembus dan tak ada lagi jejak, ataupun luka…

Duhai durjana, perihal apa yang kau letakkan padaku dan menjadikannya sejumput kesedihan baru? Dalam risalahmu kebenaran patut hadir dan merayakan apa yang disebut bahagia. Tapi tak pernah ada yang benar dalam caraku memandang surga dan cinta. Tak ada apa-apa tentang pelangi dan nirwana yang disinggahi para kekasih. Semua hanya rona. Semua hanya ilusi. Semua hanya basa-basi…

Pekatnya malam mengaburkan kesedihan. Air mata bukan lagi pertanda kegundahan. Hanya suatu hempasan emosi yang biasa saja. Tetapi aku lain, wahai arjuna. Air mata ku berharga melebihi emas permata. Kusimpan ia untuk kuhujankan pada yang terkasih yang belum juga kunjung datang. Segenggam manisan buah memenuhi mulutmu, membasahi bibirmu yang bulat mungil. Aku mendamba sebuah singgasana di mana di dalamnya aku menemukan dia. Namun ia kini sudah mengabu, meninggalkan rona pada awan yang berarak banyak. Ada kisah yang mesti diakhiri. ada kitab lain yang mesti diisi. Tapi dengan apa?...

Jika sampai waktuku mencinta seorang biasa. Kutahu aku akan bahagia sekaligus menderita. Jika tuan, dapat jabarkan cinta lewat kata dan kiranya menyentuh hati dan pikiran saya, maka sudilah tuan menjadi sang bijak yang menunjukkan kebenaran. Karena saya hanya rumput liar yang belum sudi dipangkas maupun diklasifikasikan ke dalam jenis apapun. Aku hanya ingin begini, tetap seperti ini. Tak ingin ditemukan. Setidaknya tunjukkan aku dulu bagaimana caramu akan memperlakukanku…