Senin, 25 Juni 2012

Ode Untuk Malam

http://www.montpelieralive.org/firstnight2011



Siapa bilang malam kelam dan berkabut hingga pekatnya mengantarkan bau kesepian pada sejumput jiwa-jiwa masa lalu?

Dalam bilangan urut waktu, selalu hadir momen yang datang mengulang dan membawa sejuta kenangan lama mengenai arti hidup bahagia tanpa beban, tanpa harapan. Pengulangan yang hampir selalu ditentang banyak kalangan berotak cemerlang mengenai hakekat waktu yang seharusnya linear bukan sporadis. Maka waktu yang benar adalah selalu yang bergerak ke arah idea bukan partikular, sementara subjek yang terikat waktu dan terjerat ruang selalu partikular. Selalu bukan yang ideal, selalu satu, unik juga kaya.

Partikular. Unik. Berbeda. Kita selayaknya merayakan yang berbeda dari apa yang tidak kita punya namun dimiliki oleh orang lain. Saling belajar dan menghargai adalah kuncinya.Tapi rupanya itulah yang paling sulit dipegang oleh kita yang mengaku manusia.

Siapa bilang malam kelam dan berkabut hingga pekatnya mengantarkan kesedihan bagi jiwa-jiwa yang kehilangan cinta?

Tidak ada yang pernah hilang seluruh utuh dalam sejarah manusia. Kita terikat dengan permainan dadu Tuhan yang membolak-balik perihal nasib baik buruk. Keunikan kita dijadikan taruhan untuk segala kemungkinan yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Dalam sunyi sebuah keheningan, banyak yang hadir. Mendorong, menerabas, menyikut demi sebuah awal baru. Kesejarahan bagi kami yang belajar filsafat merupakan repetisi yang berubah forma dan waktu saja, tidak dengan isi.

Kupungut kau dari kelam malam saat kelam dan sepi menjadi selubungmu menjalani hari bermandikan matahari. Kutunjukkan kau taman bermain dan sejuta keindahan lain. Tapi kau rupanya tetap ingin bergulat dengan malam.

Ode untuk malam mengantarkan setiap pribadi menuju kesejarahannya yang bergerak sporadis dan partikular.



Jumat, 22 Juni 2012

Prognose



http://www.greatleadershipbydan.com


Keresahan itu merasuk saat kau menginjak usia dewasa. Sebuah usia dimana kau mulai memikirkan dengan serius mengenai hidupmu sendiri. Mengenai kebahagiaan yang ingin kau raih di usia ranum, tapi kau tak mendapatkan apapun. Satu-satunya yang kau dapatkan adalah sebuah kesadaran yang terlalu mengerikan dan menyedihkan untuk dijalani. Entah apakah kesadaran ini paripurna sifatnya atau masih mungkin diotak-atik hingga jadi sedikit berwarna dan lebih baik.

Kupandangi jam dinding di depanku. Sudah pukul dua pagi. Aku masih tak bisa memejamkan kedua mataku. Sulit tidur dan menjamu diri sendiri dalam imaji ketidaksadaran dalam mimpi. Oh Freud, aku harus apa? Aku butuh diagnosis terhadap diriku sendiri. Pasti ada yang tak beres dengan ketidaksadaranku hingga ia seolah menghilang karena tak kunjung mataku terpejam.

Oh Kierkergaard, mengapa hidupmu begitu tragis. Kau memutuskan dunia dan cintamu terhadap Regina untuk bergelut dalam keresahan seumur hidup. Apakah kau bahagia? Apakah kau puas atas apa yang telah kau pilih untuk kau jalani? Apakah kau menerima kesendirian dan kesepian yang ternyata saudara kandung?

Aku banyak mengenal orang. Salah seorang temanku ada yang menikah muda karena ia hamil duluan. Itukah cinta? Itukah putusan eksistensialis? Apakah ia menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam mimpi rumah tangga monoton; mengurus suami dan anak? Adakah ia menyesal melepaskan kesempatan mereguk cita-citanya yang siapa tahu ingin menjadi Presiden Republik Terkutuk ini?

Kali lain kutemui seorang perempuan yang sudah memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas cinta. Menyentuhnya pun enggan. Kenapa? Karena aku telah matang dan tak ada yang tersisa untukku selain duda dan perjaka lapuk. Tidak, tidak, aku tak mau menjadi yang kedua ataupun yang terakhir dalam deret aritmetika jodoh yang bodoh macam itu, katanya.

Berjalan sedikit, kuingat diskusi dengan salah seorang teman mengenai menjadi perempuan paripurna. Dalam suatu perbincangan saat makan malam, ia menceritakan padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang perempuan.

Sulit. Sulit? Sulit! Sulit menjadi perempuan yang ingin dirinya dianggap setara dengan laki-laki. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing. “Aku tak mau terjebak dalam permainan cinta,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu mengkilap.

Ya, aku pun tahu kau akan berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang cinta. Kami sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut di bawah kuasanya untuk mengabdi menjadi sahaya. Cinta yang banyak kulihat hanyalah akumulasi ketertundukan perempuan oleh laki-laki. Mereka yang punya penis merasa jumawa hingga tak peduli mengenai perang ide dan konsep setara.

Jonathan Haidt dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Devided by Politics and Religion pun mengafirmasi pendapat itu. Moralitas yang terbentuk sejak kecil dan mengelindan dalam lingkungan sehari-hari membentuk moralitas kaku. Sementara dunia ini sejak dulu dijajah oleh mereka yang mampu ereksi – laki-laki. Perempuan ditundukkan dengan segala macam isme dan kepercayaan. Moralitas dibentuk sedemikian rupa untuk tetap menempatkan perempuan dikasta terendah menjadi manusia.

Saat seorang laki-laki bertemu dengan perempuan, tidak hanya persoalan moral yang mesti dibenturkan, melainkan juga adu argumen dalam sikap mengenai politik dan kepercayaan. Aku tak percaya begitu saja jika ada seorang lelaki menghadapku dan mengaku ia paham denganku dan mau menerima diriku apa adanya yang gemar berpikir jahil dan tak ingin kalah.

Tidak, aku tak ingin diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas ku serahkan cintaku padamu. Sayangnya itu sulit, hingga aku merasa seperti sembelit!

Moral mengarahkan ketidaksadaran baik laki-laki pun perempuan dalam suatu antagonisme hubungan. Ya, antagonisme. Aku dan kamu adalah lawan dan mesti ada yang kalah atau mengalah. Agonisme gagal untuk diperjuangkan dalam dunia yang berputar siang dan malam menunggu mati.

“Belum apa-apa saja dia sudah minta yang macam-macam. Hei, yang suka kan dia, bukan aku. Jika dia ingin mengambil hatiku maka berusahalah. Belum berusaha apa-apa sudah menuntut macam-macam,” runtuknya.

“Tapi aku hanya menganggapnya teman. Tak lebih. Kuterima semua kebaikannya karena dia teman. Entah dia menganggapku apa, itu urusannya. Toh, sampai saat ini aku tak berselera dengannya. Kau tahu orang seperti apa yang ingin kucintai. Aku tak suka pria bodoh dan berpenis kecil.”

Aku mengangguk, setuju dengannya. “Ya, dan aku tak suka pria bodoh dan sok hebat mendekatiku seolah aku ini rendah,” tambahku.

Ia semakin bersemangat. Setuju dengan apa yang kukatakan.

“Jangan dipikir aku tak tahu lelaki seperti apa saja yang mendekatiku. Kebanyakan dari mereka merasa hebat dan pintar. Padahal, aku lebih banyak tahu ketimbang dia yang terus-menerus berlagak jumawa dengan segala banyak omongnya. Sayang saja, aku masih menghormatinya dengan tidak mengatakan apa-apa yang menurutku. Itu bisa mengkebiri superioritasnya sebagai seorang laki-laki.”

“Mereka laki-laki bodoh,” komentarnya sambil menyeruput minumannya.

“Apakah pernah terlintas dalam pikiranmu bahwa kita sangat sombong menjadi seorang perempuan karena menganggap remeh laki-laki yang tak sepintar kita?” tanyaku.

Hahahahaha... ia tertawa dan hampir tersedak. “Aku juga berpikir hal yang sama. Kita sangat sombong.”

“Kupikir itu wajar saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri dengan orang yang tak tepat dan lemah?”

“Ya, kau benar. Itu bukan cinta yang pantas diserahkan.”

“Dan kupikir mungkin hidup memang mesti seperti itu.”

“Maksudmu?” tanya agak heran.

Kubiarkan pikiranku mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan kepadanya. “Kita tak bisa mengharapkan hidup yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya. Coba kau bayangkan. Apakah dengan menikah kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu? Iya, jika kau pada akhirnya menemukan lelaki yang menganggapmu setara. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpi kita yang sendiri. Kurasa tidak akan ada lelaki yang bisa memahami itu dan mengakui bahwa perempuan yang dicintainya lebih hebat dari dirinya. Hampir mustahil menemukan lelaki macam itu.”

Ia mendengarkanku dengan seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan disela-sela bibirku yang mendamba perasaan lembut. “Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.

“Tetapi kupikir juga, setiap pengorbanan ada kebesaran yang menanti kita di depan sana. Kita akan menjadi orang besar meski harus kehilangan cinta yang kita dambakan dan bukan berasal dari lelaki bodoh yang tak tahu bagaimana cara kita berpikir. Dan itu merupakan sebuah prognose...”


Keresahan menjalari seluruh tubuh dan pikiranku. Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak mungkin dicapai jelas membayangiku saat ini. Manusia yang dapat berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak dikehidupan sehari-hari.

Waktu berjalan terus. Aku semakin menua dan cemas. Begitu menyedihkan bahwa tidak ada yang adil, tidak ada yang bahagia, tidak ada yang sempurna. Semua hanyalah ruang kosong yang ditinggali oleh banyak imaji untuk menjadi indah. Nyatanya kehidupan tak seindah itu, tak pernah semenyenangkan itu.

Faktisitas, Heidegger! Kau menyadarinya dan aku hampir maklum mengapa kau ikut berkonspirasi dalam rencana bejat Hitler. Kau tak meminta maaf untuk permufakatan jahat kalian pun aku hampir paham. Semua eksis dalam bentuk tindakan. Kau mengambil resiko untuk disalahkan sejarah aku hampir paham. Dan semuanya bagiku menyedihkan. Begitu menyedihkan untuk tidak menjadi oportunistis dalam hidup.

Bagaimana pun aku tak dapat terlelap. Aku merinding menyelami prognose yang kudapat. Sebuah ramalan yang kelihatan sangat nyata dan jelas saat ini. Begitu logis, begitu rasional, begitu absurd!

Kusingkap tirai jendela kamarku. Di luar masih gelap, tetapi ada bulan. Masih ada bulan yang malam ini begitu bulat dan indah. Tidak, bulan tidak pernah indah. Kejelekannya merupakan realita. Entah mengapa, manusia membuatnya terasa indah. Permukaan tak rata dan bopeng-bopeng bulan adalah prognose yang baru diketahui kemudian saat Apollo 11 mengorbit bulan dan manusia pertama menjejakkan kaki disana. Sementara bulan yang indah dan masih terus hadir dalam syair para pujangga merupakan ruang kosong, suatu imaji yang absud!





Selasa, 19 Juni 2012

Menyapa Sendu saat Pagi

http://www.123rf.com/photo_8045952_stone-in-the-park-feel-alone.html


Siapa tidak muak mendengar merpati berbisik di telingamu pada suatu fajar bahwa ia mencintaimu. Ia mencintaimu hingga hilang kesadaran dan dunianya. Ia mencintaimu hingga malu-malu dan tak ada lagi rona merah yang membayang diwajahnya yang berbulu putih..

Ah, itu hanya kicauan, sayang. Tak ada cinta dalam kata. Hanya penyair yang bersedia berkorban kata demi menjaja cinta. Itu bukan cinta yang ingin kau raih. Tak ada masa depan disana saat kau membiarkannya mengerak, basah, dan berak. Itu feses! Itu penyakit! Akut!

Tak ada cinta dalam kata-kata yang dijajakan orang yang tak berusaha. Tak ada cinta dalam kabar duka yang dibuat untuk menjadikannya dewasa. Tak ada apa-apa, selain ingin menjadi sufi atau budha.

Tragedi dihadirkan Shakespeare bukan untuk diratapi. Justru ia menginginkan katarsis dalam dengung ketidakpastian rasa. Dan jatuh. Kau jatuh terpuruk demikian dalam. Tak bangkit, tak kuasa menggantang dunia yang dulu kau yakin dapat kau pikul dibahumu yang sempit.

Demi surga yang telah kupancangkan di depan sana, “Ada hidup yang lebih berharga ketimbang membuat dirimu merasa tak dinyana oleh dunia.”

Sejarah ini dibuat dan diceritakan oleh mereka yang menang sekaligus sakit. Kemenangan mereka merupakan buah keegoisan justifikasi logika yang ajaib. Tak ada benar disana. Tak selamanya hitam putih yang harus dipilih untuk menuju pembabtisan kebesaran sebuah analisis hingga ternubuat keyakinan.

Merpati itu masih bercicit ditelingaku yang sesak dengan apa yang ingin kunikmati dari pagi yang selalu baru terbit. Hariku selalu pagi. Belum ia menjelma siang apalagi malam. Tak mesti selalu kuikuti nubuat semesta. Akan kuciptakan nirwana dari lempengan justifikasi logika absurd dunia dan isinya. Biarlah, toh aku punya masa depan sendiri. Dan kuusir kau, merpati yang tak ingin belajar terbang di dalam taman yang telah kusediakan.

Sebuah taman dengan rumah pohon dan tembok sebagai prasasti. Prasasti yang akan menjadi risalah bahwa perjalananku menjadi manusia adalah suatu kesalahan yang tak akan kusesali bagaimanapun wujudnya. Sebuah rumah dimana selalu ada tempat pulang untukku merebahkan semesta yang berat kupikul. Namun, aku tersenyum untuk segala hal yang dapat kurasa dan menjelma bahagia...




Jumat, 15 Juni 2012

Alur Logis dalam Film, Perlukah?


http://cinematicreactions.blogspot.com/2012/03/extra-credit.html



Baru-baru ini saya menyaksikan film Snow White & The Huntsman bersama beberapa orang teman. Dalam salah satu adegan dimana Snow White berhasil melarikan diri dari menara penjara yang tinggi dan mesti beradu cepat dengan pasukan Ratu Ravenna yang berkuda, di tepi pantai tak dinyana ada seekor kuda putih duduk dengan anggun seolah menunggu Snow White menghampirinya. Kuda putih cantik itu tampaknya di-setting untuk mengetahui dan membantu kesulitan yang sedang dihadapi Snow White. Karena memang si kuda dengan baik hati berlari dengan Snow White menunggang di atasnya.

Selain itu, selama sekian tahun dikurung dalam menara penjara tentu seharusnya membuat Snow White tak punya kemampuan berkuda yang apik. Nyatanya saat menunggangi si kuda putih, dirinya tanpa takut dan canggung langsung melesat menghindari kejaran pasukan berkuda Ratu jahat. 

“Ini adegan paling janggal menurut gue,” gumam seorang teman yang duduk di samping saya. “Masa tiba-tiba ada kuda disitu. Kayak tahu banget si Snow White butuh bantuan. Udah gitu masa dipenjara dari kecil dia langsung bisa naik kuda. Kapan belajarnya?”

Kali lain dalam adegan pasukan Snow White menyerbu benteng istana Ratu Ravenna dan mencoba merangsek masuk, pasukan ini diberondong berjuta anak panah dari atas benteng oleh pasukan kegelapan sang ratu. 

Teman saya yang juga tadi mengeluh mengenai ketidaklogisan alur film tersebut kembali buka suara,”Masa dari sekian banyak anak panah yang ditembak, nggak kena tokoh utamanya? Kenapa selalu pasukannya yang mati kena panah. Coba dong sekali-sekali pemeran utama yang mati duluan. Itu kan kemungkinan kenanya juga sama. Kenapa gak dibikin Snow Whitenya mati gitu kena panah tapi pasukannya bisa menang pertempuran?” 

Dan sederet kata tanya kenapa yang dilontarkan teman saya ini. “Ini mengganggu logika gue banget,” tegasnya kemudian.

Kejanggalan alur dalam film tidak hanya dimiliki oleh film Snow White & The Huntsman, melainkan ada banyak film lain dengan alur tak logis. Bahkan, di Indonesia yang tak logis tidak hanya alur film, tetapi juga judulnya. Sebut saja salah satu judul film yaitu Mr. Bean Kesurupan Depe. Dari judulnya saja sudah tidak logis dan mengganggu pikiran. Memangnya Depe ini termasuk kategori setan dan sejenisnya kah hingga Mr. Bean mesti mengalami kesurupan? Lagipula apa juga yang diperbuat Mr. Bean hingga bisa kesurupan sebuah Depe? (kata sebuah bukan seorang karena Depe ini tidak bisa diindentifikasi termasuk kata benda, kata kerja, ataupun kata sifat – terlepas dalam dunia yang agak nyata ini merupakan seorang artis tanpa kualitas mumpuni selain mendulang sensasi murahan).

Terlepas dari alur pun judul film yang berpotensi  mengganggu logika berpikir, sebuah film umumnya dibuat untuk menghibur. Maka jangan heran jika alur pun judul dikemas agak tak masuk akal demi memuaskan dahaga keinginan manusia mengenai akhir yang bahagia (happy ending).

Happy ending merupakan tujuan yang umum dibuat oleh para sineas film. Alasan sederhana; mereka tak ingin repot-repot membuat film yang idealis dan seolah realitas karena kesuksesan sebuah film ditentukan oleh banyaknya masyarakat yang menonton film dan merasa terhibur. Sehingga happy ending berubah wujud menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh para penonton. Karena hidup tidak selalu happy ending.

Film menjadi representasi keinginan manusia untuk sebuah alur yang berujung pada kebahagiaan. Aristotles sudah sejak dari sebelum masehi memahami ini dalam risalah mengenai tragedy dan komedi. kedua bentuk seni tak lain hadir untuk mencuci bersih perasaan terpendam manusia – Katarsis!

Jika tragedy biasanya memiliki muatan penuh air mata dan kisah heroic, maka komedi dapat memancing gelitik tawa dari kekonyolan yang disuguhkan. Keduanya mampu memancing perasaan paling murni manusia. Air mata pun tawa tak sengaja dihadirkan sebagai bentuk representasi perasaan manusia. Bentuk ekspresi ini hadir begitu saja tanpa penjabaran alasan logis sahih. 

Sehingga wajar saja bagi saya jika misalkan, di tepi pantai sudah ada seekor kuda putih cantik yang menunggu Snow White tanpa tahu siapa yang mengirimkannya. Walaupun pada zaman pertengahan seperti itu rasanya memang mustahil jika seekor kuda lepas begitu saja atau menjadi hewan liar. Keinginan penonton yang khusyuk menikmati film tersebut pasti berharap selalu akan ada pertolongan yang diberikan kepada si lemah Snow White tanpa peduli dari mana datangnya kuda tersebut. 

Wajar saja jika dalam berondongan anak panah, Snow White tak kena tembak karena ia mesti menang melawan Ratu Ravenna. Ia ditempatkan dalam frame dan dialog sebagai ikon kebaikan yang selalu memang. Dan kita seringkali menginginkan kebaikan mewujud dalam sebuah person. Kebaikan lebih baik dipersonifikasi sehingga ada cerita yang dapat dibahas dan diperdebatkan pun dipercayai. 

Kecenderungan manusia yang selalu ingin mempersonifikasi hal-hal absurd tak dapat disanggah. Alur yang tak logis dalam sebuah film pun menjelma tak berarti ketika happy ending yang dituju. Seorang sutradara merupakan Tuhan dalam film yang digarapnya. Tetapi Tuhan itu tentu mengincar laba. Alasan apapun akan masuk akal selama hitung-hitungan untung rugi tak menempatkan dirinya dalam posisi sial.

Masih perlukah alur logis dalam film? 

Cobalah menonton film-film eropa, apalagi Prancis dan Inggris. Film-film mereka sejoli dengan sastra modern yang berkembang disana. Realitas yang ditangkap kemudian diinterpretasikan ke dalam film hampir tak ada beda. Serupa antara dunia sehari-hari nyata dengan film. Keduanya bejalan dalam ritme alur yang monoton. Akhir film pun tak jelas apakah happy or sad ending. Tak ada kesimpulan tegas macam itu. Karena memang hidup tak dapat ditegaskan dalam dua titik kulminasi antara ya dan tidak. Hidup dan film bagai riak air dan angin yang tak dapat digenggam. Semuanya selalu dalam kemenjadian menuju kemenjadian yang lain. 

Namun, bagi saya apapun film yang membanjiri bioskop pun tukang dvd bajakan, tontonlah sebuah film dengan semangat mencari hiburan tetapi harus tetap awas terhadap alur yang disajikan. Film dapat menjadi sangat memuakkan ketika trik para pelaku film untuk mendulang laba ketahuan oleh penonton. Tetapi untuk sebuah kesenangan ditengah hiruk pikuk dunia yang membuat penat, menonton film dapat menjadi sarana pembebasan yang lumayan. Keep your head up and think wisely, guys!


Rabu, 13 Juni 2012

Membakar Buku, Membakar Logika


http://withtheresistance.com/burn-books/


Sejak beberapa hari yang lalu ranum pemberitaan mengenai kontroversi buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU). Pada halaman 24 buku tersebut terdapat sebaris kalimat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad, junjungan kaum muslim sebagai seorang perompak, perampok, tukang kawin, dan menyebarkan Islam dengan pedang.

Sebagian masyarakat Indonesia yang diwakili oleh mereka yang mengaku Islam sampai mati, berbondong-bondong melakukan protes. Bagaimana tidak, menurut mereka buku tersebut menghina kepercayaan mereka. Bahkan, masuk dalam pasal hukum penistaan terhadap agama (Pasal 154 A KUHP). Berondong nota protes dilayangkan FPI pun mereka yang sejalan dengannya baik lewat jalur hukum pun jalur caci maki. Ada yang mesti diperjuangkan hingga mati disana, yaitu kepercayaan yang berlandaskan monopolisme.

Pihak GPU pun langsung bereaksi. Mereka meminta maaf dan segera mencabut peredaran buku tersebut. Pada Rabu (13/6), dilakukan pembakaran sebanyak 216 buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia. Dalam acara bakar-bakar itu hadir ketua MUI, K.H Ma'ruf Amin dan dirut GPU, Wanda S Brata menjadi saksi. Beberapa media pun tak mau ketinggalan dalam pesta bakar buku tersebut. Mereka meliput, merekam dan mengabarkannya ke segala penjuru negeri perihal peristiwa tersebut.

Adakah yang salah dalam peristiwa ini?

Bagi saya, terlepas dari siapa atau apa yang salah, hal ini jangak. Bakar buku bukan solusi untuk memperjuangkan keyakinan Anda yang mengaku beriman. Memang, rasanya jika dipikir ulang mereka yang mengaku beragama secara saklek tanpa berpikir dan skeptis sangat ketakutan dengan kata.

Sebuah kata dapat mengubah banyak hal termasuk keimanan. Maka mereka yang begitu militan dengan kata-kata jangak akan bersuara lantang bahwa ini adalah sesat dan kami didzalimi!

Dunia ini selain terbentuk karena konflik juga karena kuasa kata. Kata-kata menggema sepanjang zaman dan menyuarakan pluralitas makna. Bagi yang tak berpikir, kuasa kata dapat menjadi jebakan yang sangat ditakuti. Maka buru-burulah mereka menghabisinya dalam seremoni pembakaran api suci.

Ampuhkah?

Tentu tidak. Sejarah berulang. Dalam linear waktu meski formanya tak lagi sama sejarah berulang terus menerus. Bagi yang dapat sedikit berpikir tanpa menaruh justifikasi berlebihan, pembakaran sebuah buku dengan beribu-ribu eksemplar tak akan menyelesaikan masalah. Apa masalahnya memang jika keimanan kita dihina, dicaci, dinistakan selama kita tahu itu tidak benar dan terus berjalan lurus ke depan? Begitu tinggikah harga diri kita yang mengaku beriman kepada satu Tuhan yang sama hingga mesti bereaksi panas terhadap segala tuduhan dan pernyataan?

Saya mungkin termasuk ke dalam kaum yang permisif untuk hal-hal semacam itu. Maaf saja, bagi saya ada yang salah ketika arogansi beragama mesti diselesaikan salah satunya lewat membakar buku, membakar logika. Mengapa hal ini tidak dijadikan teguran bagi diri sendiri untuk lebih mengenal apa yang sudah kau pilih sebagai keyakinan agar berlaku sabar dan berkepala dingin?

Toh, akan ada banyak hal lain lagi yang akan menjebakmu di depan sana saat kau tak belajar dari hari ini dan hari sebelumnya. Karena belajar adalah selalu mengambil remahan di masa yang lampau, bukan di masa depan.

Saya bukan pengamat sosial yang mesti menerjemahkan segala fenomena sosial apa adanya. Karena bagi saya, apa adanya hanyalah slogan kosong yang tak dapat diajukan pada pengadilan logika. Tak pernah ada apa adanya, melainkan selalu ada apa disana. Suatu padanan kata yang diakhiri dengan tanda tanya (?).