http://www.greatleadershipbydan.com
Keresahan itu merasuk
saat kau menginjak usia dewasa. Sebuah usia dimana kau mulai
memikirkan dengan serius mengenai hidupmu sendiri. Mengenai
kebahagiaan yang ingin kau raih di usia ranum, tapi kau tak
mendapatkan apapun. Satu-satunya yang kau dapatkan adalah sebuah
kesadaran yang terlalu mengerikan dan menyedihkan untuk dijalani.
Entah apakah kesadaran ini paripurna sifatnya atau masih mungkin
diotak-atik hingga jadi sedikit berwarna dan lebih baik.
Kupandangi jam dinding di
depanku. Sudah pukul dua pagi. Aku masih tak bisa memejamkan kedua
mataku. Sulit tidur dan menjamu diri sendiri dalam imaji
ketidaksadaran dalam mimpi. Oh Freud, aku harus apa? Aku butuh
diagnosis terhadap diriku sendiri. Pasti ada yang tak beres dengan
ketidaksadaranku hingga ia seolah menghilang karena tak kunjung
mataku terpejam.
Oh Kierkergaard, mengapa
hidupmu begitu tragis. Kau memutuskan dunia dan cintamu terhadap
Regina untuk bergelut dalam keresahan seumur hidup. Apakah kau
bahagia? Apakah kau puas atas apa yang telah kau pilih untuk kau
jalani? Apakah kau menerima kesendirian dan kesepian yang ternyata
saudara kandung?
Aku banyak mengenal
orang. Salah seorang temanku ada yang menikah muda karena ia hamil
duluan. Itukah cinta? Itukah putusan eksistensialis? Apakah ia
menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam mimpi rumah tangga
monoton; mengurus suami dan anak? Adakah ia menyesal melepaskan
kesempatan mereguk cita-citanya yang siapa tahu ingin menjadi
Presiden Republik Terkutuk ini?
Kali lain kutemui seorang
perempuan yang sudah memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas
cinta. Menyentuhnya pun enggan. Kenapa? Karena aku telah matang dan
tak ada yang tersisa untukku selain duda dan perjaka lapuk. Tidak,
tidak, aku tak mau menjadi yang kedua ataupun yang terakhir dalam
deret aritmetika jodoh yang bodoh macam itu, katanya.
Berjalan sedikit, kuingat
diskusi dengan salah seorang teman mengenai menjadi perempuan
paripurna. Dalam suatu perbincangan saat makan malam, ia menceritakan
padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang perempuan.
Sulit. Sulit? Sulit!
Sulit menjadi perempuan yang ingin dirinya dianggap setara dengan
laki-laki. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan
pandangan masing-masing. “Aku tak mau terjebak dalam permainan
cinta,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu
mengkilap.
Ya, aku pun tahu kau akan
berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang cinta. Kami
sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut di bawah kuasanya untuk
mengabdi menjadi sahaya. Cinta yang banyak kulihat hanyalah akumulasi
ketertundukan perempuan oleh laki-laki. Mereka yang punya penis
merasa jumawa hingga tak peduli mengenai perang ide dan konsep
setara.
Jonathan Haidt dalam
bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Devided by
Politics and Religion pun mengafirmasi pendapat itu. Moralitas
yang terbentuk sejak kecil dan mengelindan dalam lingkungan
sehari-hari membentuk moralitas kaku. Sementara dunia ini sejak dulu
dijajah oleh mereka yang mampu ereksi – laki-laki. Perempuan
ditundukkan dengan segala macam isme dan kepercayaan. Moralitas
dibentuk sedemikian rupa untuk tetap menempatkan perempuan dikasta
terendah menjadi manusia.
Saat seorang laki-laki
bertemu dengan perempuan, tidak hanya persoalan moral yang mesti
dibenturkan, melainkan juga adu argumen dalam sikap mengenai politik
dan kepercayaan. Aku tak percaya begitu saja jika ada seorang lelaki
menghadapku dan mengaku ia paham denganku dan mau menerima diriku apa
adanya yang gemar berpikir jahil dan tak ingin kalah.
Tidak, aku tak ingin
diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu
barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas
ku serahkan cintaku padamu. Sayangnya itu sulit, hingga aku merasa
seperti sembelit!
Moral mengarahkan
ketidaksadaran baik laki-laki pun perempuan dalam suatu antagonisme
hubungan. Ya, antagonisme. Aku dan kamu adalah lawan dan mesti ada
yang kalah atau mengalah. Agonisme gagal untuk diperjuangkan dalam
dunia yang berputar siang dan malam menunggu mati.
“Belum apa-apa saja dia
sudah minta yang macam-macam. Hei, yang suka kan dia, bukan aku. Jika
dia ingin mengambil hatiku maka berusahalah. Belum berusaha apa-apa
sudah menuntut macam-macam,” runtuknya.
“Tapi aku hanya
menganggapnya teman. Tak lebih. Kuterima semua kebaikannya karena dia
teman. Entah dia menganggapku apa, itu urusannya. Toh, sampai saat
ini aku tak berselera dengannya. Kau tahu orang seperti apa yang
ingin kucintai. Aku tak suka pria bodoh dan berpenis kecil.”
Aku mengangguk, setuju
dengannya. “Ya, dan aku tak suka pria bodoh dan sok hebat
mendekatiku seolah aku ini rendah,” tambahku.
Ia semakin bersemangat.
Setuju dengan apa yang kukatakan.
“Jangan dipikir aku tak
tahu lelaki seperti apa saja yang mendekatiku. Kebanyakan dari mereka
merasa hebat dan pintar. Padahal, aku lebih banyak tahu ketimbang dia
yang terus-menerus berlagak jumawa dengan segala banyak omongnya.
Sayang saja, aku masih menghormatinya dengan tidak mengatakan apa-apa
yang menurutku. Itu bisa mengkebiri superioritasnya sebagai seorang
laki-laki.”
“Mereka laki-laki
bodoh,” komentarnya sambil menyeruput minumannya.
“Apakah pernah
terlintas dalam pikiranmu bahwa kita sangat sombong menjadi seorang
perempuan karena menganggap remeh laki-laki yang tak sepintar kita?”
tanyaku.
Hahahahaha... ia tertawa
dan hampir tersedak. “Aku juga berpikir hal yang sama. Kita sangat
sombong.”
“Kupikir itu wajar
saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting
pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri
dengan orang yang tak tepat dan lemah?”
“Ya, kau benar. Itu
bukan cinta yang pantas diserahkan.”
“Dan kupikir mungkin
hidup memang mesti seperti itu.”
“Maksudmu?” tanya
agak heran.
Kubiarkan pikiranku
mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada
kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan kepadanya.
“Kita tak bisa mengharapkan hidup yang paripurna. Tak ada
kebahagiaan sepenuhnya. Coba kau bayangkan. Apakah dengan menikah kau
siap melepaskan semua mimpi-mimpimu? Iya, jika kau pada akhirnya
menemukan lelaki yang menganggapmu setara. Jika tidak? Atau kita
telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju
mimpi-mimpi kita yang sendiri. Kurasa tidak akan ada lelaki yang bisa
memahami itu dan mengakui bahwa perempuan yang dicintainya lebih
hebat dari dirinya. Hampir mustahil menemukan lelaki macam itu.”
Ia mendengarkanku dengan
seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan
disela-sela bibirku yang mendamba perasaan lembut. “Iya, selalu ada
yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.
“Tetapi kupikir juga,
setiap pengorbanan ada kebesaran yang menanti kita di depan sana.
Kita akan menjadi orang besar meski harus kehilangan cinta yang kita
dambakan dan bukan berasal dari lelaki bodoh yang tak tahu bagaimana
cara kita berpikir. Dan itu merupakan sebuah prognose...”
Keresahan menjalari
seluruh tubuh dan pikiranku. Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak
mungkin dicapai jelas membayangiku saat ini. Manusia yang dapat
berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan
menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir
mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk
diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak
dikehidupan sehari-hari.
Waktu berjalan terus. Aku
semakin menua dan cemas. Begitu menyedihkan bahwa tidak ada yang
adil, tidak ada yang bahagia, tidak ada yang sempurna. Semua hanyalah
ruang kosong yang ditinggali oleh banyak imaji untuk menjadi indah.
Nyatanya kehidupan tak seindah itu, tak pernah semenyenangkan itu.
Faktisitas, Heidegger!
Kau menyadarinya dan aku hampir maklum mengapa kau ikut berkonspirasi
dalam rencana bejat Hitler. Kau tak meminta maaf untuk permufakatan
jahat kalian pun aku hampir paham. Semua eksis dalam bentuk tindakan.
Kau mengambil resiko untuk disalahkan sejarah aku hampir paham. Dan
semuanya bagiku menyedihkan. Begitu menyedihkan untuk tidak menjadi
oportunistis dalam hidup.
Bagaimana pun aku tak
dapat terlelap. Aku merinding menyelami prognose yang kudapat. Sebuah
ramalan yang kelihatan sangat nyata dan jelas saat ini. Begitu logis,
begitu rasional, begitu absurd!
Kusingkap tirai jendela
kamarku. Di luar masih gelap, tetapi ada bulan. Masih ada bulan yang
malam ini begitu bulat dan indah. Tidak, bulan tidak pernah indah.
Kejelekannya merupakan realita. Entah mengapa, manusia membuatnya
terasa indah. Permukaan tak rata dan bopeng-bopeng bulan adalah
prognose yang baru diketahui kemudian saat Apollo 11 mengorbit bulan
dan manusia pertama menjejakkan kaki disana. Sementara bulan yang
indah dan masih terus hadir dalam syair para pujangga merupakan ruang
kosong, suatu imaji yang absud!