Jumat, 22 Juni 2012

Prognose



http://www.greatleadershipbydan.com


Keresahan itu merasuk saat kau menginjak usia dewasa. Sebuah usia dimana kau mulai memikirkan dengan serius mengenai hidupmu sendiri. Mengenai kebahagiaan yang ingin kau raih di usia ranum, tapi kau tak mendapatkan apapun. Satu-satunya yang kau dapatkan adalah sebuah kesadaran yang terlalu mengerikan dan menyedihkan untuk dijalani. Entah apakah kesadaran ini paripurna sifatnya atau masih mungkin diotak-atik hingga jadi sedikit berwarna dan lebih baik.

Kupandangi jam dinding di depanku. Sudah pukul dua pagi. Aku masih tak bisa memejamkan kedua mataku. Sulit tidur dan menjamu diri sendiri dalam imaji ketidaksadaran dalam mimpi. Oh Freud, aku harus apa? Aku butuh diagnosis terhadap diriku sendiri. Pasti ada yang tak beres dengan ketidaksadaranku hingga ia seolah menghilang karena tak kunjung mataku terpejam.

Oh Kierkergaard, mengapa hidupmu begitu tragis. Kau memutuskan dunia dan cintamu terhadap Regina untuk bergelut dalam keresahan seumur hidup. Apakah kau bahagia? Apakah kau puas atas apa yang telah kau pilih untuk kau jalani? Apakah kau menerima kesendirian dan kesepian yang ternyata saudara kandung?

Aku banyak mengenal orang. Salah seorang temanku ada yang menikah muda karena ia hamil duluan. Itukah cinta? Itukah putusan eksistensialis? Apakah ia menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam mimpi rumah tangga monoton; mengurus suami dan anak? Adakah ia menyesal melepaskan kesempatan mereguk cita-citanya yang siapa tahu ingin menjadi Presiden Republik Terkutuk ini?

Kali lain kutemui seorang perempuan yang sudah memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas cinta. Menyentuhnya pun enggan. Kenapa? Karena aku telah matang dan tak ada yang tersisa untukku selain duda dan perjaka lapuk. Tidak, tidak, aku tak mau menjadi yang kedua ataupun yang terakhir dalam deret aritmetika jodoh yang bodoh macam itu, katanya.

Berjalan sedikit, kuingat diskusi dengan salah seorang teman mengenai menjadi perempuan paripurna. Dalam suatu perbincangan saat makan malam, ia menceritakan padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang perempuan.

Sulit. Sulit? Sulit! Sulit menjadi perempuan yang ingin dirinya dianggap setara dengan laki-laki. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing. “Aku tak mau terjebak dalam permainan cinta,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu mengkilap.

Ya, aku pun tahu kau akan berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang cinta. Kami sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut di bawah kuasanya untuk mengabdi menjadi sahaya. Cinta yang banyak kulihat hanyalah akumulasi ketertundukan perempuan oleh laki-laki. Mereka yang punya penis merasa jumawa hingga tak peduli mengenai perang ide dan konsep setara.

Jonathan Haidt dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Devided by Politics and Religion pun mengafirmasi pendapat itu. Moralitas yang terbentuk sejak kecil dan mengelindan dalam lingkungan sehari-hari membentuk moralitas kaku. Sementara dunia ini sejak dulu dijajah oleh mereka yang mampu ereksi – laki-laki. Perempuan ditundukkan dengan segala macam isme dan kepercayaan. Moralitas dibentuk sedemikian rupa untuk tetap menempatkan perempuan dikasta terendah menjadi manusia.

Saat seorang laki-laki bertemu dengan perempuan, tidak hanya persoalan moral yang mesti dibenturkan, melainkan juga adu argumen dalam sikap mengenai politik dan kepercayaan. Aku tak percaya begitu saja jika ada seorang lelaki menghadapku dan mengaku ia paham denganku dan mau menerima diriku apa adanya yang gemar berpikir jahil dan tak ingin kalah.

Tidak, aku tak ingin diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas ku serahkan cintaku padamu. Sayangnya itu sulit, hingga aku merasa seperti sembelit!

Moral mengarahkan ketidaksadaran baik laki-laki pun perempuan dalam suatu antagonisme hubungan. Ya, antagonisme. Aku dan kamu adalah lawan dan mesti ada yang kalah atau mengalah. Agonisme gagal untuk diperjuangkan dalam dunia yang berputar siang dan malam menunggu mati.

“Belum apa-apa saja dia sudah minta yang macam-macam. Hei, yang suka kan dia, bukan aku. Jika dia ingin mengambil hatiku maka berusahalah. Belum berusaha apa-apa sudah menuntut macam-macam,” runtuknya.

“Tapi aku hanya menganggapnya teman. Tak lebih. Kuterima semua kebaikannya karena dia teman. Entah dia menganggapku apa, itu urusannya. Toh, sampai saat ini aku tak berselera dengannya. Kau tahu orang seperti apa yang ingin kucintai. Aku tak suka pria bodoh dan berpenis kecil.”

Aku mengangguk, setuju dengannya. “Ya, dan aku tak suka pria bodoh dan sok hebat mendekatiku seolah aku ini rendah,” tambahku.

Ia semakin bersemangat. Setuju dengan apa yang kukatakan.

“Jangan dipikir aku tak tahu lelaki seperti apa saja yang mendekatiku. Kebanyakan dari mereka merasa hebat dan pintar. Padahal, aku lebih banyak tahu ketimbang dia yang terus-menerus berlagak jumawa dengan segala banyak omongnya. Sayang saja, aku masih menghormatinya dengan tidak mengatakan apa-apa yang menurutku. Itu bisa mengkebiri superioritasnya sebagai seorang laki-laki.”

“Mereka laki-laki bodoh,” komentarnya sambil menyeruput minumannya.

“Apakah pernah terlintas dalam pikiranmu bahwa kita sangat sombong menjadi seorang perempuan karena menganggap remeh laki-laki yang tak sepintar kita?” tanyaku.

Hahahahaha... ia tertawa dan hampir tersedak. “Aku juga berpikir hal yang sama. Kita sangat sombong.”

“Kupikir itu wajar saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri dengan orang yang tak tepat dan lemah?”

“Ya, kau benar. Itu bukan cinta yang pantas diserahkan.”

“Dan kupikir mungkin hidup memang mesti seperti itu.”

“Maksudmu?” tanya agak heran.

Kubiarkan pikiranku mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan kepadanya. “Kita tak bisa mengharapkan hidup yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya. Coba kau bayangkan. Apakah dengan menikah kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu? Iya, jika kau pada akhirnya menemukan lelaki yang menganggapmu setara. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpi kita yang sendiri. Kurasa tidak akan ada lelaki yang bisa memahami itu dan mengakui bahwa perempuan yang dicintainya lebih hebat dari dirinya. Hampir mustahil menemukan lelaki macam itu.”

Ia mendengarkanku dengan seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan disela-sela bibirku yang mendamba perasaan lembut. “Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.

“Tetapi kupikir juga, setiap pengorbanan ada kebesaran yang menanti kita di depan sana. Kita akan menjadi orang besar meski harus kehilangan cinta yang kita dambakan dan bukan berasal dari lelaki bodoh yang tak tahu bagaimana cara kita berpikir. Dan itu merupakan sebuah prognose...”


Keresahan menjalari seluruh tubuh dan pikiranku. Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak mungkin dicapai jelas membayangiku saat ini. Manusia yang dapat berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak dikehidupan sehari-hari.

Waktu berjalan terus. Aku semakin menua dan cemas. Begitu menyedihkan bahwa tidak ada yang adil, tidak ada yang bahagia, tidak ada yang sempurna. Semua hanyalah ruang kosong yang ditinggali oleh banyak imaji untuk menjadi indah. Nyatanya kehidupan tak seindah itu, tak pernah semenyenangkan itu.

Faktisitas, Heidegger! Kau menyadarinya dan aku hampir maklum mengapa kau ikut berkonspirasi dalam rencana bejat Hitler. Kau tak meminta maaf untuk permufakatan jahat kalian pun aku hampir paham. Semua eksis dalam bentuk tindakan. Kau mengambil resiko untuk disalahkan sejarah aku hampir paham. Dan semuanya bagiku menyedihkan. Begitu menyedihkan untuk tidak menjadi oportunistis dalam hidup.

Bagaimana pun aku tak dapat terlelap. Aku merinding menyelami prognose yang kudapat. Sebuah ramalan yang kelihatan sangat nyata dan jelas saat ini. Begitu logis, begitu rasional, begitu absurd!

Kusingkap tirai jendela kamarku. Di luar masih gelap, tetapi ada bulan. Masih ada bulan yang malam ini begitu bulat dan indah. Tidak, bulan tidak pernah indah. Kejelekannya merupakan realita. Entah mengapa, manusia membuatnya terasa indah. Permukaan tak rata dan bopeng-bopeng bulan adalah prognose yang baru diketahui kemudian saat Apollo 11 mengorbit bulan dan manusia pertama menjejakkan kaki disana. Sementara bulan yang indah dan masih terus hadir dalam syair para pujangga merupakan ruang kosong, suatu imaji yang absud!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar