http://withtheresistance.com/burn-books/
Sejak beberapa hari yang
lalu ranum pemberitaan mengenai kontroversi buku 5 Kota Paling
Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson. Buku ini diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU).
Pada halaman 24 buku tersebut terdapat sebaris kalimat yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad, junjungan kaum muslim sebagai seorang
perompak, perampok, tukang kawin, dan menyebarkan Islam dengan
pedang.
Sebagian masyarakat
Indonesia yang diwakili oleh mereka yang mengaku Islam sampai mati,
berbondong-bondong melakukan protes. Bagaimana tidak, menurut mereka
buku tersebut menghina kepercayaan mereka. Bahkan, masuk dalam pasal
hukum penistaan terhadap agama (Pasal 154 A KUHP). Berondong nota
protes dilayangkan FPI pun mereka yang sejalan dengannya baik lewat
jalur hukum pun jalur caci maki. Ada yang mesti diperjuangkan hingga
mati disana, yaitu kepercayaan yang berlandaskan monopolisme.
Pihak GPU pun langsung
bereaksi. Mereka meminta maaf dan segera mencabut peredaran buku
tersebut. Pada Rabu (13/6), dilakukan pembakaran sebanyak 216 buku 5
Kota Paling Berpengaruh di Dunia. Dalam acara bakar-bakar itu hadir
ketua MUI, K.H Ma'ruf Amin dan dirut GPU, Wanda S Brata menjadi
saksi. Beberapa media pun tak mau ketinggalan dalam pesta bakar buku
tersebut. Mereka meliput, merekam dan mengabarkannya ke segala
penjuru negeri perihal peristiwa tersebut.
Adakah yang salah dalam
peristiwa ini?
Bagi saya, terlepas dari
siapa atau apa yang salah, hal ini jangak. Bakar buku bukan solusi
untuk memperjuangkan keyakinan Anda yang mengaku beriman. Memang,
rasanya jika dipikir ulang mereka yang mengaku beragama secara saklek
tanpa berpikir dan skeptis sangat ketakutan dengan kata.
Sebuah kata dapat
mengubah banyak hal termasuk keimanan. Maka mereka yang begitu
militan dengan kata-kata jangak akan bersuara lantang bahwa ini
adalah sesat dan kami didzalimi!
Dunia ini selain
terbentuk karena konflik juga karena kuasa kata. Kata-kata menggema
sepanjang zaman dan menyuarakan pluralitas makna. Bagi yang tak
berpikir, kuasa kata dapat menjadi jebakan yang sangat ditakuti. Maka
buru-burulah mereka menghabisinya dalam seremoni pembakaran api suci.
Ampuhkah?
Tentu tidak. Sejarah
berulang. Dalam linear waktu meski formanya tak lagi sama sejarah
berulang terus menerus. Bagi yang dapat sedikit berpikir tanpa
menaruh justifikasi berlebihan, pembakaran sebuah buku dengan
beribu-ribu eksemplar tak akan menyelesaikan masalah. Apa masalahnya
memang jika keimanan kita dihina, dicaci, dinistakan selama kita tahu
itu tidak benar dan terus berjalan lurus ke depan? Begitu tinggikah
harga diri kita yang mengaku beriman kepada satu Tuhan yang sama
hingga mesti bereaksi panas terhadap segala tuduhan dan pernyataan?
Saya mungkin termasuk ke
dalam kaum yang permisif untuk hal-hal semacam itu. Maaf saja, bagi
saya ada yang salah ketika arogansi beragama mesti diselesaikan salah
satunya lewat membakar buku, membakar logika. Mengapa hal ini tidak
dijadikan teguran bagi diri sendiri untuk lebih mengenal apa yang
sudah kau pilih sebagai keyakinan agar berlaku sabar dan berkepala
dingin?
Toh, akan ada banyak hal
lain lagi yang akan menjebakmu di depan sana saat kau tak belajar
dari hari ini dan hari sebelumnya. Karena belajar adalah selalu
mengambil remahan di masa yang lampau, bukan di masa depan.
Saya bukan pengamat
sosial yang mesti menerjemahkan segala fenomena sosial apa adanya.
Karena bagi saya, apa adanya hanyalah slogan kosong yang tak dapat
diajukan pada pengadilan logika. Tak pernah ada apa adanya, melainkan
selalu ada apa disana. Suatu padanan kata yang diakhiri dengan tanda
tanya (?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar