Rabu, 13 Juni 2012

Membakar Buku, Membakar Logika


http://withtheresistance.com/burn-books/


Sejak beberapa hari yang lalu ranum pemberitaan mengenai kontroversi buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU). Pada halaman 24 buku tersebut terdapat sebaris kalimat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad, junjungan kaum muslim sebagai seorang perompak, perampok, tukang kawin, dan menyebarkan Islam dengan pedang.

Sebagian masyarakat Indonesia yang diwakili oleh mereka yang mengaku Islam sampai mati, berbondong-bondong melakukan protes. Bagaimana tidak, menurut mereka buku tersebut menghina kepercayaan mereka. Bahkan, masuk dalam pasal hukum penistaan terhadap agama (Pasal 154 A KUHP). Berondong nota protes dilayangkan FPI pun mereka yang sejalan dengannya baik lewat jalur hukum pun jalur caci maki. Ada yang mesti diperjuangkan hingga mati disana, yaitu kepercayaan yang berlandaskan monopolisme.

Pihak GPU pun langsung bereaksi. Mereka meminta maaf dan segera mencabut peredaran buku tersebut. Pada Rabu (13/6), dilakukan pembakaran sebanyak 216 buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia. Dalam acara bakar-bakar itu hadir ketua MUI, K.H Ma'ruf Amin dan dirut GPU, Wanda S Brata menjadi saksi. Beberapa media pun tak mau ketinggalan dalam pesta bakar buku tersebut. Mereka meliput, merekam dan mengabarkannya ke segala penjuru negeri perihal peristiwa tersebut.

Adakah yang salah dalam peristiwa ini?

Bagi saya, terlepas dari siapa atau apa yang salah, hal ini jangak. Bakar buku bukan solusi untuk memperjuangkan keyakinan Anda yang mengaku beriman. Memang, rasanya jika dipikir ulang mereka yang mengaku beragama secara saklek tanpa berpikir dan skeptis sangat ketakutan dengan kata.

Sebuah kata dapat mengubah banyak hal termasuk keimanan. Maka mereka yang begitu militan dengan kata-kata jangak akan bersuara lantang bahwa ini adalah sesat dan kami didzalimi!

Dunia ini selain terbentuk karena konflik juga karena kuasa kata. Kata-kata menggema sepanjang zaman dan menyuarakan pluralitas makna. Bagi yang tak berpikir, kuasa kata dapat menjadi jebakan yang sangat ditakuti. Maka buru-burulah mereka menghabisinya dalam seremoni pembakaran api suci.

Ampuhkah?

Tentu tidak. Sejarah berulang. Dalam linear waktu meski formanya tak lagi sama sejarah berulang terus menerus. Bagi yang dapat sedikit berpikir tanpa menaruh justifikasi berlebihan, pembakaran sebuah buku dengan beribu-ribu eksemplar tak akan menyelesaikan masalah. Apa masalahnya memang jika keimanan kita dihina, dicaci, dinistakan selama kita tahu itu tidak benar dan terus berjalan lurus ke depan? Begitu tinggikah harga diri kita yang mengaku beriman kepada satu Tuhan yang sama hingga mesti bereaksi panas terhadap segala tuduhan dan pernyataan?

Saya mungkin termasuk ke dalam kaum yang permisif untuk hal-hal semacam itu. Maaf saja, bagi saya ada yang salah ketika arogansi beragama mesti diselesaikan salah satunya lewat membakar buku, membakar logika. Mengapa hal ini tidak dijadikan teguran bagi diri sendiri untuk lebih mengenal apa yang sudah kau pilih sebagai keyakinan agar berlaku sabar dan berkepala dingin?

Toh, akan ada banyak hal lain lagi yang akan menjebakmu di depan sana saat kau tak belajar dari hari ini dan hari sebelumnya. Karena belajar adalah selalu mengambil remahan di masa yang lampau, bukan di masa depan.

Saya bukan pengamat sosial yang mesti menerjemahkan segala fenomena sosial apa adanya. Karena bagi saya, apa adanya hanyalah slogan kosong yang tak dapat diajukan pada pengadilan logika. Tak pernah ada apa adanya, melainkan selalu ada apa disana. Suatu padanan kata yang diakhiri dengan tanda tanya (?).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar