Siapa tidak muak
mendengar merpati berbisik di telingamu pada suatu fajar bahwa ia
mencintaimu. Ia mencintaimu hingga hilang kesadaran dan dunianya. Ia
mencintaimu hingga malu-malu dan tak ada lagi rona merah yang membayang diwajahnya yang berbulu putih..
Ah, itu hanya kicauan,
sayang. Tak ada cinta dalam kata. Hanya penyair yang bersedia
berkorban kata demi menjaja cinta. Itu bukan cinta yang ingin kau
raih. Tak ada masa depan disana saat kau membiarkannya mengerak,
basah, dan berak. Itu feses! Itu penyakit! Akut!
Tak ada cinta dalam
kata-kata yang dijajakan orang yang tak berusaha. Tak ada cinta dalam
kabar duka yang dibuat untuk menjadikannya dewasa. Tak ada apa-apa,
selain ingin menjadi sufi atau budha.
Tragedi dihadirkan Shakespeare bukan untuk diratapi. Justru ia menginginkan katarsis
dalam dengung ketidakpastian rasa. Dan jatuh. Kau jatuh terpuruk
demikian dalam. Tak bangkit, tak kuasa menggantang dunia yang dulu
kau yakin dapat kau pikul dibahumu yang sempit.
Demi surga yang telah
kupancangkan di depan sana, “Ada hidup yang lebih berharga
ketimbang membuat dirimu merasa tak dinyana oleh dunia.”
Sejarah ini dibuat dan
diceritakan oleh mereka yang menang sekaligus sakit. Kemenangan
mereka merupakan buah keegoisan justifikasi logika yang ajaib. Tak
ada benar disana. Tak selamanya hitam putih yang harus dipilih untuk
menuju pembabtisan kebesaran sebuah analisis hingga ternubuat
keyakinan.
Merpati itu masih
bercicit ditelingaku yang sesak dengan apa yang ingin kunikmati dari
pagi yang selalu baru terbit. Hariku selalu pagi. Belum ia menjelma
siang apalagi malam. Tak mesti selalu kuikuti nubuat semesta. Akan
kuciptakan nirwana dari lempengan justifikasi logika absurd dunia dan
isinya. Biarlah, toh aku punya masa depan sendiri. Dan kuusir kau,
merpati yang tak ingin belajar terbang di dalam taman yang telah
kusediakan.
Sebuah taman dengan rumah
pohon dan tembok sebagai prasasti. Prasasti yang akan menjadi risalah
bahwa perjalananku menjadi manusia adalah suatu kesalahan yang tak
akan kusesali bagaimanapun wujudnya. Sebuah rumah dimana selalu ada
tempat pulang untukku merebahkan semesta yang berat kupikul. Namun, aku tersenyum untuk segala hal yang dapat kurasa dan menjelma bahagia...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar