Selasa, 19 Juni 2012

Menyapa Sendu saat Pagi

http://www.123rf.com/photo_8045952_stone-in-the-park-feel-alone.html


Siapa tidak muak mendengar merpati berbisik di telingamu pada suatu fajar bahwa ia mencintaimu. Ia mencintaimu hingga hilang kesadaran dan dunianya. Ia mencintaimu hingga malu-malu dan tak ada lagi rona merah yang membayang diwajahnya yang berbulu putih..

Ah, itu hanya kicauan, sayang. Tak ada cinta dalam kata. Hanya penyair yang bersedia berkorban kata demi menjaja cinta. Itu bukan cinta yang ingin kau raih. Tak ada masa depan disana saat kau membiarkannya mengerak, basah, dan berak. Itu feses! Itu penyakit! Akut!

Tak ada cinta dalam kata-kata yang dijajakan orang yang tak berusaha. Tak ada cinta dalam kabar duka yang dibuat untuk menjadikannya dewasa. Tak ada apa-apa, selain ingin menjadi sufi atau budha.

Tragedi dihadirkan Shakespeare bukan untuk diratapi. Justru ia menginginkan katarsis dalam dengung ketidakpastian rasa. Dan jatuh. Kau jatuh terpuruk demikian dalam. Tak bangkit, tak kuasa menggantang dunia yang dulu kau yakin dapat kau pikul dibahumu yang sempit.

Demi surga yang telah kupancangkan di depan sana, “Ada hidup yang lebih berharga ketimbang membuat dirimu merasa tak dinyana oleh dunia.”

Sejarah ini dibuat dan diceritakan oleh mereka yang menang sekaligus sakit. Kemenangan mereka merupakan buah keegoisan justifikasi logika yang ajaib. Tak ada benar disana. Tak selamanya hitam putih yang harus dipilih untuk menuju pembabtisan kebesaran sebuah analisis hingga ternubuat keyakinan.

Merpati itu masih bercicit ditelingaku yang sesak dengan apa yang ingin kunikmati dari pagi yang selalu baru terbit. Hariku selalu pagi. Belum ia menjelma siang apalagi malam. Tak mesti selalu kuikuti nubuat semesta. Akan kuciptakan nirwana dari lempengan justifikasi logika absurd dunia dan isinya. Biarlah, toh aku punya masa depan sendiri. Dan kuusir kau, merpati yang tak ingin belajar terbang di dalam taman yang telah kusediakan.

Sebuah taman dengan rumah pohon dan tembok sebagai prasasti. Prasasti yang akan menjadi risalah bahwa perjalananku menjadi manusia adalah suatu kesalahan yang tak akan kusesali bagaimanapun wujudnya. Sebuah rumah dimana selalu ada tempat pulang untukku merebahkan semesta yang berat kupikul. Namun, aku tersenyum untuk segala hal yang dapat kurasa dan menjelma bahagia...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar