http://samurairacer.blogspot.com/2011/01/
Multikulturalisme dan
Agama dalam hal ini Islam merupakan dua hal yang bisa saling
mendukung satu sama lain, tetapi bisa juga menjadi hal yang
dinegasikan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia.
Permasalahan dengan dua tema diatas seringnya berkutat pada bagaimana
menyikapi mereka yang berbeda di luar Islam. Sebagai suatu Agama,
Islam memiliki asas absolut di dalam dirinya yang tak dapat diganggu
gugat. Salah satunya adalah mengenai ke-Tuhan-an dan ajaran-ajaran
yang dianggap inheren di dalam dirinya. Keabsolutan ini membawa
implikasi tidak adanya ruang tawar menawar bagi mereka yang punya
pandangan lain untuk menafsirkan secara berbeda dari satu hal yang
sama--rethinking terhadap ajaran agama. Agama berubah wajah
yang sebelumnya bercitra humanis dengan mengedepankan keadilan bagi
seluruh manusia - tidak sekedar mereka yang meyakini kepercayaan
tertentu - menjadi berwajah otoriter, totaliter!. Agama laiknya
institusi jagal saat bertemu dan dihadapkan pada mereka yang berbeda.
Sejarah panjang manusia
memaparkan selalu ada yang dikalahkan, ditumbalkan dalam persaingan
menuju yang tunggal benar. Seorang penulis Inggris, A.N Wilson
memaparkan kekhawatiran serta pesimismenya terhadap agama. Baginya
agama merupakan dilema, suatu paradoks. Agama mengajak pada kebaikan
dan semakin orang yakin kepada agamanya adalah semakin baik, tetapi
justru "orang baik" itu semakin kuat membenarkan dirinya
untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak
mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru
menjadi sumber keonaran sendiri.
Kekhawatiran Wilson
terbukti dalam kasus kekerasan terhadap para jemaah Ahmadiyah oleh
Organisasi massa (ormas) yang mengatasnamakan Islam. Apa yang
sebenarnya dimaksud dengan Islam? Mengapa jika kebaikan yang
diajarkan kepada tiap pemeluknya, kekerasan atas dasar intoleransi
terus menerus terjadi? Bagaimana kita menyikapi mereka ini - si biang
keonaran dan korban ketidakadilan - dalam kerangka toleransi di masa
kontemporer seperti sekarang? Apa pula yang dapat ditawarkan dalam
usaha mengurai permasalahan tersebut?
Bukan Islam, Melainkan
Pancasila
Dalam buku Islam Agama
Kemanusiaan, Nurcholish Madjid menekankan kembali asas kehidupan
berbangsa kita adalah Pancasila. Bukan Islam, Kristen, Budha, atau
apapun. Lima sila yang termaktub dalam Pancasila mencerminkan hal
pokok yang dikedepankan oleh manusia Indonesia; Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, dan Keadilan. Semua term ini menjadi dasar
yang mesti dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia
terlepas dari latar belakang agama, suku, pendidikan, dan lain
sebagainya. Hal ini menjadi cerminan bagi Indonesia sebagai bangsa
yang plural, beragam sehingga setiap usaha untuk mengedepankan
kepentingan pribadi maupun golongan tertentu akan mencederai
kemajemukan yang menjadi esensi bangsa ini.
Bagi Cak Nur, untuk
mereduksi kecenderungan totalitarianisme agama perlu ajanya Ijtihad
yaitu metode penafsiran Islam berbasis rasio dan fakta yang
mengedepankan kepentingan umum (mashlahah) tidak hanya bagi
sesama Islam melainkan juga mereka yang bukan Islam. Hal yang perlu
disadari, seperti apa yang pernah dikemukakan Hatta, adalah substansi
negara bukanlah Islam tetapi Keadilan!
Namun hal yang sering
jadi permasalahan adalah simbol. Simbol menjadi lebih penting
daripada fungsi atau substansi, makna digantikan oleh kerangka.
Ekspresi keagamaan dimutlakkan sedemikian rupa, menyingkirkan yang
berbeda. Menempatkan yang mutlak terlepas dari konteks ruang dan
waktu sehingga menutup ruang diskursus karena hal tersebut dapat
dianggap sebagai suatu bentuk penghinaan terhadap yang Ilahi. Padahal
yang perlu disadari oleh pemeluk agama adalah ajaran agama merupakan
hasil dialog dengan unsur lain yang mampu mengembangkan kreatifitas
kultural agama dalam menghadapi tantangan zaman. Sehingga diskursus
menjadi sesuatu yang wajib hadir untuk meredefinisi ajaran agama
sesuai konteks zaman.
Slogan "Islam cocok
untuk segala zaman dan tempat" perlu dibuktikaan dalam pikiran
manusia yang termanifestasi pada tingkah laku. Manusia tidak dapat
terlepas dari keterikatan sejarahnya sehingga tanggung jawab untuk
membuktikan slogan tersebut berada pada tiap-tiap individu yang
menganut ajaran agama. Singkatnya diperlukan inovasi dalam berpikir
dan bersikap.
Hal penting lain yang
perlu digarisbawahi dalam paparan Cak Nur adalah semua orang adalah
muslim, mereka yang melakukan dan mempraktekkan Islam. Sebab Islam
itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk kepada Allah swt yang
menghasilkan salam (damai) dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia
dan alam sekitar. Maka Islam menghasilkan salamah, sejahtera dan
sentosa.
Namun, banyaknya kasus
kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam kepada jemaah
Ahmadiyah atau kasus penusukan pendeta HKBP menjadi suatu perenungan
kembali makna beragama bagi kita. Pesimisme A .N Wilson bahwa Tuhan
merupakan sumber kejahatan dan agama merupakan tragedi umat manusia
karena ikut bertanggung jawab atas banyak peperangan, tirani, dan
lain-lain. Dalam pandangan Wilson, agama mendorong orang untuk
menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka
sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi
diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.
Citra agama yang
mengedepankan kebaikan ternyata memiliki potensi negatif dan
perusakan. Dalil ini ditolak dengan argumen keonaran bukan salah
agama, melainkan para penganutnya yang tidak memahami sekaligus
mempraktekkan ajaran agama secara benar. Sialnya argumen bantahan ini
pun mendapat pertanyaan lanjutan, kalau agama benar tapi tidak mampu
mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran
agama? Apa gunanya benar jika tak dapat mempengaruhi watak
pemeluknya?
Dari hal tersebut muncul
pertanyaan dimanakah letak toleransi?
Menempatkan Toleransi
dalam Bingkai Pluralitas Dimensi Agama
Ada ulasan menarik dalam
kajian buku, Islam Agama Kemanusiaan. Cak Nur membahas mengenai
fundamentalisme. Fundamentalisme, mengutip Megatrends 2000, merupakan
suatu gerakan emosional reaksioner yang berkembang dalam
budaya-budaya yang sedang mengalami krisis sosial dan bersifat
otoriter, tidak toleran dan bersemangat memaksa dalam menampilkan
dirinya terhadap masyarakat yang lain. Kelompok ini tidak mengenal
kompromi.
Kasus-kasus intoleransi
dalam keberagamaan yang berujung pada tindak kekerasan dilakukan oleh
mereka yang fundamentalis. Kelompok fundamentalisme berciri anti
sosial dan tak kenal kompromi. Artinya ada eksklusifitas yang berlaku
pada sesama mereka. Kebenaran yang dijadikan rujukan pun pada
akhirnya merupakan kebenaran versi kelompok ini. Jangan harapkan
mereka mengubah wajah sedikit lebih toleran terhadap yang berbeda di
luar mereka. Apa yang menurut mereka tidak sama mesti disingkirkan
walaupun mesti dengan tindak kekerasan. Jangan heran jika asas-asas
humanitas yang mestinya dijunjung oleh setiap individu apapun latar
belakangnya diabaikan dalam kerangka fundamentalisme.
Roger Garaudy mencoba
memberikan solusi untuk mengatasi Fundamentalisme. Ada tujuh cara
yang kesemuanya bermuara pada ajakan untuk menemukan kembali dimensi
Islam keseluruhan yang dulu pernah membuatnya menjadi Agung. Pertama,
memahami dan mengembangkan dimensi Qur'ani Islam. Kedua, memahami dan
mengembangkan dimensi keruhanian dan kecintaan Ilahi sebagaimana
dikembangkan oleh kaum sufi, untuk melawan paham keagamaan yang
formalistik-ritualistik serta literalisme kosong. Ketiga, memahami
dan mengembangkan dimensi sosial Islam. Keempat, menghidupkan kembali
jiwa kritis Islam. Kelima, merubah program pengajaran agama, sehingga
formalisme keagamaan yang kering dapat diakhiri. Keenam, meningkatkan
kesadaran tanggung jawab pribadi kepada Tuhan dalam memahami
ajaran-ajaran agama. Ketujuh, mengakhiri mentalitas isolatif dan
membuka diri untuk kerjasama dengan pihak-pihak lain dengan semangat
persaudaraan untuk meruntuhkan sistem-sistem totaliter. Namun,
poin-poin tersebut mengandaikan usaha pengkayaan intelektual. Selain
itu, aspek lain yang perlu menjadi perhatian penting adalah
pengembangan kesadaran terhadap hukum sebagai bentuk ketaatan.
Toleransi dapat terhubung
jika adanya sikap mempersilahkan bagi mereka yang berbeda untuk turut
hadir dipanggung publik. Ketidaksetujuan terhadap mereka yang berbeda
bukan berarti mesti menghilangkan ataupun mengingkari eksistensi,
melainkan membiarkan berada di wilayah pikiran saja bukan dengan aksi
kekerasan. Toleransi tercipta jika adanya penghargaan dan kesadaran
akan humanitas dan keadilan yang patut dijunjung oleh semua manusia.