Selasa, 28 Agustus 2012

Viva Homini, Viva Logos


http://vimeo.com/15364417


Saya teringat beberapa bagian dalam novel Lost Symbol karya Dan Brown mengenai ilmu Noetic. Singkatnya ilmu Noetic memiliki keyakinan bahwa potensi pikiran manusia belum tergali secara maksimal. Manusia baru sekedar mengungkapkan kulit terluar kemampuan mental dan spiritualnya. Pikiran lebih berkuasa daripada tubuh. Pikiran-pikiran dapat berinteraksi dengan dunia fisik serta mampu mengubahnya.

Mungkin sepintas terlihat sepele. Pikiran memang berinteraksi dengan dunia fisik, tetapi mengubahnya? Terasa ada yang janggal tampaknya. Tesis ini lebih mengutamakan kepada substansi fisik yang dapat dirubah manusia, seperti stimulus positif pikiran mampu memberi respon positif terhadap air atau kekuatan doa massal yang dicontohkan dalam novel mampu mengurangi keacakan terhadap Random Event Generator yang memunculkan keteraturan.

Apa kaitan ini semua dengan korelasi antara mind, sosial, dan dunia secara keseluruhan?

Paradigma berpikir adalah jawabannya. Berpikir merupakan rangkaian kerja yang menakjubkan dan mampu mengubah diri untuk bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan. Menempatkan pola berpikir kritis menjadikan kita awas terhadap banyak hal yang terjadi disekitar. Tidak sekedar awas melainkan juga kita dapat berkontribusi untuk mencipta kondisi sosial yang ramah tanpa tendensi untuk menguasai satu sama lain.

Mind tentulah bersinggungan dengan kehidupan sosial dan dunia seluruhnya. Sejarah membuktikan hal tersebut. Pembantaian Nazi terhadap Yahudi, terorisme yang melanda Amerika paska serangan terhadap World Trade Center, penyerangan terhadap pihak-pihak yang dianggap kafir oleh aliansi organisasi masyarakat yang mengikutsertakan agama tertentu, serta berbagai kasus lainnya yang menciderai kebebasan serta hak manusia. Dimana peran mind dalam kasus-kasus demikian?

Setiap manusia memiliki pandangan berbeda terhadap suatu hal. Dari hal demikian jelas terlihat keragaman yang terkandung di dalam diri masing-masing individu. Pemaksaan ideologi tertentu seperti apa yang pernah dilakukan orde baru merupakan kerja mind pihak tertentu yang memiliki kepentingan dan kuasa yang membawa implikasi sosial secara luas pada kehidupan masyarakat Indonesia. Mind tampaknya berbahaya jika terjadi pemaksaan kebenaran terhadap pihak lain. Tetapi mind juga dapat dijadikan alat yang digunakan untuk membentengi diri terhadap berbagai wacana yang berkelindan disekeliling kita yang seringnya punya indikasi menggilas pihak lain lewat cara-cara kekerasan.

Bagaimana menangkis dan maju ditengah berbagai paradigma yang menyesatkan dan mendorong pada kesamaan yang tak menghargai keberbedaan?

Mencerna semua hal dengan berpikir kritis dan tak gegabah. Yang berbeda mesti disikapi dengan bijaksana. Saat arus massa meneriakkan,"Allahu akbar, serang yang kafir" janganlah kita ambil senjata dan bergegas serang mereka yang dicap kafir. Jangan-jangan justru kita yang kafir karena berniat membinasakan mereka yang juga manusia sama seperti kita.

Levinas sepertinya tahu manusia akan saling menyakiti lagi setelah pembantaian Nazi sehingga ia menyuarakan "Saat aku melihat mu, maka kau menjadi padu denganku sehingga kau berada dalam tanggung jawabku".

Kekerasan dapat diminimalisir tidak hanya lewat penegakan hukum, tetapi jauh lebih penting adalah bersikap cerdas lewat berpikir. Sekedar berpikirkah? Berpikir tanpa bertindak tak akan jadi apa-apa. Sekedar berpikir tanpa melawan mereka yang berlaku kekerasan juga tiada guna.

Lawan!

Lawan mereka lewat berpikir yang diwujudkan dalam bentuk tulisan, opini, demo damai, diskusi, kajian ilmiah, serta apapun bentuknya selama tidak melanggar prinsip kebebasan dan hak orang lain. Sebarkan apa yang ada dalam pikiran ke masyarakat. Jalankan apa yang menurut kita benar selama tidak melanggar kebebasan serta hak orang lain.

Hal demikian niscaya membawa perubahan dimasyarakat lambat laun serta punya implikasi menakjubkan untuk dunia sebagai tempat hidup bagi keberagaman yang tersemai indah. Karena hidup ini berbeda, maka indah. Seperti apa yang diyakini oleh ilmu Noetic; kita adalah Tuhan terhadap diri kita sendiri. Mind punya kemampuan mengubah dunia. Tidak sebatas pada perubahan subatomis suatu benda, melainkan melampaui itu.

Menceritakan Kebenaran



 http://windling.typepad.com/blog/2012/07/telling-the-truth.html
 

Pengarang lebih hebat ketimbang seorang filsuf. Ia menciptakan sebuah fiksi lengkap dengan tokoh, alur, latar dan setting. Ia mencipta dunia dan menyadari dirinya yang memulai semua cerita. Ia mengontrol jalan cerita maupun kebenaran di dalam cerita lewat komposisi kata-kata sederhana yang menjelma jadi indah dan bermakna. Ia tak lupa menyediakan ruang kosong bagi kita untuk bereaksi terhadap apa yang disuguhkan, menyentak tak sekedar akal pikiran, tetapi juga hati. Ia menawarkan rasa. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh seorang filsuf.

Kita bisa belajar banyak hal dari banyak sumber. Keduanya ternyata dapat berkorelasi. Atau setidaknya kita dapat menghendaki demikian. Di dalam bukunya, TRUTH; a guide for the perplexed, Simon Blackburn menganalisis mengenai kebenaran. Kebenaran merupakan sesuatu yang sensitif. Ia bisa tampak memaksa, mendorong kita untuk meyakini, mengamini kisah dibaliknya. Kebenaran seperti punya kuasa yang mampu menarik banyak orang untuk mentaatinya, menuruti maunya. Mengerikan!

Namun, kebenaran adalah sesuatu yang dicari-cari oleh manusia. Di kolong langit ini, semua manusia mencari kebenaran yang utamanya hendak dipegang sendiri demi keamanan dan kenyamanan. Saat kita menggenggam kebenaran, seringnya kita pamer kepada yang lain. Kita tunjukkan kebenaran yang kita miliki dengan harapan agar orang lain ikut masuk ke dalam cahaya kebenaran yang kita yakini. Kadang kala kita lebih agresif lagi, kita memaksa mereka yang berbeda untuk mau berpindah kepercayaan akan kebenaran ke kubu kita. Kita memaksa dengan cara apapun. Luar biasa!

Dalam perdebatan antara yang absolut dan relatif, kebenaran bisa menjadi keduanya, tergantung cara pandang kita. Yang absolut, yang universal, yang relatif ternyata berasal dari pandangan kita yang subjektif dan partikular. Dalam melihat kebenaran yang dianggap absolut kita mengabaikan diri sendiri sebagai si pelaku yang memandang dan berbuat sesuatu di dalam dunia. Kita lupa bahwa titik awal kitalah yang mempengaruhi lahirnya keberbedaan kebenaran. Keegoisan reason menepiskan diri kita yang merasakan dunia dan tiap rasa tidaklah sama satu dengan lainnya pun bertentangan dalam dirinya sendiri. Namun, kita dapat mengeliminasi itu. Menghilangkan, menyingkirkan, mengabaikan, apapun itu yang dianggap tak penting dan sesuai. Kita bermain puzzle! Membongkar-pasang bagian-bagian yang tak sesuai untuk dicari yang kiranya sesuai, tentunya selaras dengan keinginan kita.

Banyak orang bijak berkata untuk tidak melupakan sejarah. Tapi kita sering mengabaikan sejarah bahkan sejarah kita sendiri. Alasan sederhana; sejarah begitu membosankan, sesuatu yang usang dan berdebu. Tak lagi sesuai untuk masa kini. Kita menaruh sejarah dipojok rak, mendesaknya masuk ke dalam agar tak lagi tampak dan mudah untuk dilupakan. Padahal diri kita sekarang ini tak lepas dari sejarah. Kita memotong sejarah dan memungut kebenaran serta mengklaim bahwa kebenaran yang ini, yang kita genggam tidak terikat ruang dan waktu. Ia absolut, ia universal.

Mencipta fiksi
Hal menarik dari buku TRUTH adalah kata fiksi yang beberapa kali disebut oleh Blackburn. Kebenaran tak ubahnya fiksi yang kita ciptakan di dalam pikiran. Kita mencipta cerita. Puzzle yang kita punya adalah fiksi tersebut-proses mencari kebenaran. Kita adalah sutradara atas kebenaran yang ternyata merupakan fiksi. Kita membangun rumah, membangun istana dan benteng untuk melindungi diri kita dari serangan bangsa asing yang tak bernama. Kita butuh pelindung agar tempat berpijak kita tidak dirampas oleh sesuatu yang lain. Namun untuk dapat kokoh pada pijakan yang sama merupakan sesuatu yang sulit. Perlu tindakan dan pola pikir reflektif yang diikuti oleh kesadaran. Kita mesti menyadari bahwa kebenaran tak hanya satu dan kita mesti mempersilahkan yang berbeda untuk hadir. Bukan berarti kita pada akhirnya menyerah kepada kebenaran yang lain, melainkan kita belajar untuk hidup berdampingan dengan kebenaran yang lain dalam harmoni.

Multikulturalisme dalam Islam; Menegasikan atau Mempersilahkan yang Lain Turut Hadir


http://samurairacer.blogspot.com/2011/01/


Multikulturalisme dan Agama dalam hal ini Islam merupakan dua hal yang bisa saling mendukung satu sama lain, tetapi bisa juga menjadi hal yang dinegasikan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia. Permasalahan dengan dua tema diatas seringnya berkutat pada bagaimana menyikapi mereka yang berbeda di luar Islam. Sebagai suatu Agama, Islam memiliki asas absolut di dalam dirinya yang tak dapat diganggu gugat. Salah satunya adalah mengenai ke-Tuhan-an dan ajaran-ajaran yang dianggap inheren di dalam dirinya. Keabsolutan ini membawa implikasi tidak adanya ruang tawar menawar bagi mereka yang punya pandangan lain untuk menafsirkan secara berbeda dari satu hal yang sama--rethinking terhadap ajaran agama. Agama berubah wajah yang sebelumnya bercitra humanis dengan mengedepankan keadilan bagi seluruh manusia - tidak sekedar mereka yang meyakini kepercayaan tertentu - menjadi berwajah otoriter, totaliter!. Agama laiknya institusi jagal saat bertemu dan dihadapkan pada mereka yang berbeda.

Sejarah panjang manusia memaparkan selalu ada yang dikalahkan, ditumbalkan dalam persaingan menuju yang tunggal benar. Seorang penulis Inggris, A.N Wilson memaparkan kekhawatiran serta pesimismenya terhadap agama. Baginya agama merupakan dilema, suatu paradoks. Agama mengajak pada kebaikan dan semakin orang yakin kepada agamanya adalah semakin baik, tetapi justru "orang baik" itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri.

Kekhawatiran Wilson terbukti dalam kasus kekerasan terhadap para jemaah Ahmadiyah oleh Organisasi massa (ormas) yang mengatasnamakan Islam. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Islam? Mengapa jika kebaikan yang diajarkan kepada tiap pemeluknya, kekerasan atas dasar intoleransi terus menerus terjadi? Bagaimana kita menyikapi mereka ini - si biang keonaran dan korban ketidakadilan - dalam kerangka toleransi di masa kontemporer seperti sekarang? Apa pula yang dapat ditawarkan dalam usaha mengurai permasalahan tersebut?


Bukan Islam, Melainkan Pancasila
Dalam buku Islam Agama Kemanusiaan, Nurcholish Madjid menekankan kembali asas kehidupan berbangsa kita adalah Pancasila. Bukan Islam, Kristen, Budha, atau apapun. Lima sila yang termaktub dalam Pancasila mencerminkan hal pokok yang dikedepankan oleh manusia Indonesia; Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Keadilan. Semua term ini menjadi dasar yang mesti dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia terlepas dari latar belakang agama, suku, pendidikan, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi cerminan bagi Indonesia sebagai bangsa yang plural, beragam sehingga setiap usaha untuk mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan tertentu akan mencederai kemajemukan yang menjadi esensi bangsa ini.

Bagi Cak Nur, untuk mereduksi kecenderungan totalitarianisme agama perlu ajanya Ijtihad yaitu metode penafsiran Islam berbasis rasio dan fakta yang mengedepankan kepentingan umum (mashlahah) tidak hanya bagi sesama Islam melainkan juga mereka yang bukan Islam. Hal yang perlu disadari, seperti apa yang pernah dikemukakan Hatta, adalah substansi negara bukanlah Islam tetapi Keadilan!

Namun hal yang sering jadi permasalahan adalah simbol. Simbol menjadi lebih penting daripada fungsi atau substansi, makna digantikan oleh kerangka. Ekspresi keagamaan dimutlakkan sedemikian rupa, menyingkirkan yang berbeda. Menempatkan yang mutlak terlepas dari konteks ruang dan waktu sehingga menutup ruang diskursus karena hal tersebut dapat dianggap sebagai suatu bentuk penghinaan terhadap yang Ilahi. Padahal yang perlu disadari oleh pemeluk agama adalah ajaran agama merupakan hasil dialog dengan unsur lain yang mampu mengembangkan kreatifitas kultural agama dalam menghadapi tantangan zaman. Sehingga diskursus menjadi sesuatu yang wajib hadir untuk meredefinisi ajaran agama sesuai konteks zaman.

Slogan "Islam cocok untuk segala zaman dan tempat" perlu dibuktikaan dalam pikiran manusia yang termanifestasi pada tingkah laku. Manusia tidak dapat terlepas dari keterikatan sejarahnya sehingga tanggung jawab untuk membuktikan slogan tersebut berada pada tiap-tiap individu yang menganut ajaran agama. Singkatnya diperlukan inovasi dalam berpikir dan bersikap.

Hal penting lain yang perlu digarisbawahi dalam paparan Cak Nur adalah semua orang adalah muslim, mereka yang melakukan dan mempraktekkan Islam. Sebab Islam itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk kepada Allah swt yang menghasilkan salam (damai) dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekitar. Maka Islam menghasilkan salamah, sejahtera dan sentosa.

Namun, banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam kepada jemaah Ahmadiyah atau kasus penusukan pendeta HKBP menjadi suatu perenungan kembali makna beragama bagi kita. Pesimisme A .N Wilson bahwa Tuhan merupakan sumber kejahatan dan agama merupakan tragedi umat manusia karena ikut bertanggung jawab atas banyak peperangan, tirani, dan lain-lain. Dalam pandangan Wilson, agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.

Citra agama yang mengedepankan kebaikan ternyata memiliki potensi negatif dan perusakan. Dalil ini ditolak dengan argumen keonaran bukan salah agama, melainkan para penganutnya yang tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran agama secara benar. Sialnya argumen bantahan ini pun mendapat pertanyaan lanjutan, kalau agama benar tapi tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama? Apa gunanya benar jika tak dapat mempengaruhi watak pemeluknya?

Dari hal tersebut muncul pertanyaan dimanakah letak toleransi?


Menempatkan Toleransi dalam Bingkai Pluralitas Dimensi Agama
Ada ulasan menarik dalam kajian buku, Islam Agama Kemanusiaan. Cak Nur membahas mengenai fundamentalisme. Fundamentalisme, mengutip Megatrends 2000, merupakan suatu gerakan emosional reaksioner yang berkembang dalam budaya-budaya yang sedang mengalami krisis sosial dan bersifat otoriter, tidak toleran dan bersemangat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap masyarakat yang lain. Kelompok ini tidak mengenal kompromi.

Kasus-kasus intoleransi dalam keberagamaan yang berujung pada tindak kekerasan dilakukan oleh mereka yang fundamentalis. Kelompok fundamentalisme berciri anti sosial dan tak kenal kompromi. Artinya ada eksklusifitas yang berlaku pada sesama mereka. Kebenaran yang dijadikan rujukan pun pada akhirnya merupakan kebenaran versi kelompok ini. Jangan harapkan mereka mengubah wajah sedikit lebih toleran terhadap yang berbeda di luar mereka. Apa yang menurut mereka tidak sama mesti disingkirkan walaupun mesti dengan tindak kekerasan. Jangan heran jika asas-asas humanitas yang mestinya dijunjung oleh setiap individu apapun latar belakangnya diabaikan dalam kerangka fundamentalisme.

Roger Garaudy mencoba memberikan solusi untuk mengatasi Fundamentalisme. Ada tujuh cara yang kesemuanya bermuara pada ajakan untuk menemukan kembali dimensi Islam keseluruhan yang dulu pernah membuatnya menjadi Agung. Pertama, memahami dan mengembangkan dimensi Qur'ani Islam. Kedua, memahami dan mengembangkan dimensi keruhanian dan kecintaan Ilahi sebagaimana dikembangkan oleh kaum sufi, untuk melawan paham keagamaan yang formalistik-ritualistik serta literalisme kosong. Ketiga, memahami dan mengembangkan dimensi sosial Islam. Keempat, menghidupkan kembali jiwa kritis Islam. Kelima, merubah program pengajaran agama, sehingga formalisme keagamaan yang kering dapat diakhiri. Keenam, meningkatkan kesadaran tanggung jawab pribadi kepada Tuhan dalam memahami ajaran-ajaran agama. Ketujuh, mengakhiri mentalitas isolatif dan membuka diri untuk kerjasama dengan pihak-pihak lain dengan semangat persaudaraan untuk meruntuhkan sistem-sistem totaliter. Namun, poin-poin tersebut mengandaikan usaha pengkayaan intelektual. Selain itu, aspek lain yang perlu menjadi perhatian penting adalah pengembangan kesadaran terhadap hukum sebagai bentuk ketaatan.

Toleransi dapat terhubung jika adanya sikap mempersilahkan bagi mereka yang berbeda untuk turut hadir dipanggung publik. Ketidaksetujuan terhadap mereka yang berbeda bukan berarti mesti menghilangkan ataupun mengingkari eksistensi, melainkan membiarkan berada di wilayah pikiran saja bukan dengan aksi kekerasan. Toleransi tercipta jika adanya penghargaan dan kesadaran akan humanitas dan keadilan yang patut dijunjung oleh semua manusia.