http://windling.typepad.com/blog/2012/07/telling-the-truth.html
Pengarang lebih hebat
ketimbang seorang filsuf. Ia menciptakan sebuah fiksi lengkap dengan
tokoh, alur, latar dan setting. Ia mencipta dunia dan menyadari
dirinya yang memulai semua cerita. Ia mengontrol jalan cerita maupun
kebenaran di dalam cerita lewat komposisi kata-kata sederhana yang
menjelma jadi indah dan bermakna. Ia tak lupa menyediakan ruang
kosong bagi kita untuk bereaksi terhadap apa yang disuguhkan,
menyentak tak sekedar akal pikiran, tetapi juga hati. Ia menawarkan
rasa. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh seorang filsuf.
Kita bisa belajar banyak
hal dari banyak sumber. Keduanya ternyata dapat berkorelasi. Atau
setidaknya kita dapat menghendaki demikian. Di dalam bukunya, TRUTH;
a guide for the perplexed, Simon Blackburn menganalisis
mengenai kebenaran. Kebenaran merupakan sesuatu yang sensitif. Ia
bisa tampak memaksa, mendorong kita untuk meyakini, mengamini kisah
dibaliknya. Kebenaran seperti punya kuasa yang mampu menarik banyak
orang untuk mentaatinya, menuruti maunya. Mengerikan!
Namun, kebenaran adalah
sesuatu yang dicari-cari oleh manusia. Di kolong langit ini, semua
manusia mencari kebenaran yang utamanya hendak dipegang sendiri demi
keamanan dan kenyamanan. Saat kita menggenggam kebenaran, seringnya
kita pamer kepada yang lain. Kita tunjukkan kebenaran yang kita
miliki dengan harapan agar orang lain ikut masuk ke dalam cahaya
kebenaran yang kita yakini. Kadang kala kita lebih agresif lagi, kita
memaksa mereka yang berbeda untuk mau berpindah kepercayaan akan
kebenaran ke kubu kita. Kita memaksa dengan cara apapun. Luar biasa!
Dalam perdebatan antara
yang absolut dan relatif, kebenaran bisa menjadi keduanya, tergantung
cara pandang kita. Yang absolut, yang universal, yang relatif
ternyata berasal dari pandangan kita yang subjektif dan partikular.
Dalam melihat kebenaran yang dianggap absolut kita mengabaikan diri
sendiri sebagai si pelaku yang memandang dan berbuat sesuatu di dalam
dunia. Kita lupa bahwa titik awal kitalah yang mempengaruhi lahirnya
keberbedaan kebenaran. Keegoisan reason menepiskan diri kita
yang merasakan dunia dan tiap rasa tidaklah sama satu dengan lainnya
pun bertentangan dalam dirinya sendiri. Namun, kita dapat
mengeliminasi itu. Menghilangkan, menyingkirkan, mengabaikan, apapun
itu yang dianggap tak penting dan sesuai. Kita bermain puzzle!
Membongkar-pasang bagian-bagian yang tak sesuai untuk dicari yang
kiranya sesuai, tentunya selaras dengan keinginan kita.
Banyak orang bijak
berkata untuk tidak melupakan sejarah. Tapi kita sering mengabaikan
sejarah bahkan sejarah kita sendiri. Alasan sederhana; sejarah begitu
membosankan, sesuatu yang usang dan berdebu. Tak lagi sesuai untuk
masa kini. Kita menaruh sejarah dipojok rak, mendesaknya masuk ke
dalam agar tak lagi tampak dan mudah untuk dilupakan. Padahal diri
kita sekarang ini tak lepas dari sejarah. Kita memotong sejarah dan
memungut kebenaran serta mengklaim bahwa kebenaran yang ini, yang
kita genggam tidak terikat ruang dan waktu. Ia absolut, ia universal.
Mencipta fiksi
Hal menarik dari buku
TRUTH adalah kata fiksi yang beberapa kali disebut oleh Blackburn.
Kebenaran tak ubahnya fiksi yang kita ciptakan di dalam pikiran. Kita
mencipta cerita. Puzzle yang kita punya adalah fiksi
tersebut-proses mencari kebenaran. Kita adalah sutradara atas
kebenaran yang ternyata merupakan fiksi. Kita membangun rumah,
membangun istana dan benteng untuk melindungi diri kita dari serangan
bangsa asing yang tak bernama. Kita butuh pelindung agar tempat
berpijak kita tidak dirampas oleh sesuatu yang lain. Namun untuk
dapat kokoh pada pijakan yang sama merupakan sesuatu yang sulit.
Perlu tindakan dan pola pikir reflektif yang diikuti oleh kesadaran.
Kita mesti menyadari bahwa kebenaran tak hanya satu dan kita mesti
mempersilahkan yang berbeda untuk hadir. Bukan berarti kita pada
akhirnya menyerah kepada kebenaran yang lain, melainkan kita belajar
untuk hidup berdampingan dengan kebenaran yang lain dalam harmoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar