Selasa, 28 Agustus 2012

Multikulturalisme dalam Islam; Menegasikan atau Mempersilahkan yang Lain Turut Hadir


http://samurairacer.blogspot.com/2011/01/


Multikulturalisme dan Agama dalam hal ini Islam merupakan dua hal yang bisa saling mendukung satu sama lain, tetapi bisa juga menjadi hal yang dinegasikan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia. Permasalahan dengan dua tema diatas seringnya berkutat pada bagaimana menyikapi mereka yang berbeda di luar Islam. Sebagai suatu Agama, Islam memiliki asas absolut di dalam dirinya yang tak dapat diganggu gugat. Salah satunya adalah mengenai ke-Tuhan-an dan ajaran-ajaran yang dianggap inheren di dalam dirinya. Keabsolutan ini membawa implikasi tidak adanya ruang tawar menawar bagi mereka yang punya pandangan lain untuk menafsirkan secara berbeda dari satu hal yang sama--rethinking terhadap ajaran agama. Agama berubah wajah yang sebelumnya bercitra humanis dengan mengedepankan keadilan bagi seluruh manusia - tidak sekedar mereka yang meyakini kepercayaan tertentu - menjadi berwajah otoriter, totaliter!. Agama laiknya institusi jagal saat bertemu dan dihadapkan pada mereka yang berbeda.

Sejarah panjang manusia memaparkan selalu ada yang dikalahkan, ditumbalkan dalam persaingan menuju yang tunggal benar. Seorang penulis Inggris, A.N Wilson memaparkan kekhawatiran serta pesimismenya terhadap agama. Baginya agama merupakan dilema, suatu paradoks. Agama mengajak pada kebaikan dan semakin orang yakin kepada agamanya adalah semakin baik, tetapi justru "orang baik" itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri.

Kekhawatiran Wilson terbukti dalam kasus kekerasan terhadap para jemaah Ahmadiyah oleh Organisasi massa (ormas) yang mengatasnamakan Islam. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Islam? Mengapa jika kebaikan yang diajarkan kepada tiap pemeluknya, kekerasan atas dasar intoleransi terus menerus terjadi? Bagaimana kita menyikapi mereka ini - si biang keonaran dan korban ketidakadilan - dalam kerangka toleransi di masa kontemporer seperti sekarang? Apa pula yang dapat ditawarkan dalam usaha mengurai permasalahan tersebut?


Bukan Islam, Melainkan Pancasila
Dalam buku Islam Agama Kemanusiaan, Nurcholish Madjid menekankan kembali asas kehidupan berbangsa kita adalah Pancasila. Bukan Islam, Kristen, Budha, atau apapun. Lima sila yang termaktub dalam Pancasila mencerminkan hal pokok yang dikedepankan oleh manusia Indonesia; Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Keadilan. Semua term ini menjadi dasar yang mesti dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia terlepas dari latar belakang agama, suku, pendidikan, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi cerminan bagi Indonesia sebagai bangsa yang plural, beragam sehingga setiap usaha untuk mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan tertentu akan mencederai kemajemukan yang menjadi esensi bangsa ini.

Bagi Cak Nur, untuk mereduksi kecenderungan totalitarianisme agama perlu ajanya Ijtihad yaitu metode penafsiran Islam berbasis rasio dan fakta yang mengedepankan kepentingan umum (mashlahah) tidak hanya bagi sesama Islam melainkan juga mereka yang bukan Islam. Hal yang perlu disadari, seperti apa yang pernah dikemukakan Hatta, adalah substansi negara bukanlah Islam tetapi Keadilan!

Namun hal yang sering jadi permasalahan adalah simbol. Simbol menjadi lebih penting daripada fungsi atau substansi, makna digantikan oleh kerangka. Ekspresi keagamaan dimutlakkan sedemikian rupa, menyingkirkan yang berbeda. Menempatkan yang mutlak terlepas dari konteks ruang dan waktu sehingga menutup ruang diskursus karena hal tersebut dapat dianggap sebagai suatu bentuk penghinaan terhadap yang Ilahi. Padahal yang perlu disadari oleh pemeluk agama adalah ajaran agama merupakan hasil dialog dengan unsur lain yang mampu mengembangkan kreatifitas kultural agama dalam menghadapi tantangan zaman. Sehingga diskursus menjadi sesuatu yang wajib hadir untuk meredefinisi ajaran agama sesuai konteks zaman.

Slogan "Islam cocok untuk segala zaman dan tempat" perlu dibuktikaan dalam pikiran manusia yang termanifestasi pada tingkah laku. Manusia tidak dapat terlepas dari keterikatan sejarahnya sehingga tanggung jawab untuk membuktikan slogan tersebut berada pada tiap-tiap individu yang menganut ajaran agama. Singkatnya diperlukan inovasi dalam berpikir dan bersikap.

Hal penting lain yang perlu digarisbawahi dalam paparan Cak Nur adalah semua orang adalah muslim, mereka yang melakukan dan mempraktekkan Islam. Sebab Islam itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk kepada Allah swt yang menghasilkan salam (damai) dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekitar. Maka Islam menghasilkan salamah, sejahtera dan sentosa.

Namun, banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam kepada jemaah Ahmadiyah atau kasus penusukan pendeta HKBP menjadi suatu perenungan kembali makna beragama bagi kita. Pesimisme A .N Wilson bahwa Tuhan merupakan sumber kejahatan dan agama merupakan tragedi umat manusia karena ikut bertanggung jawab atas banyak peperangan, tirani, dan lain-lain. Dalam pandangan Wilson, agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.

Citra agama yang mengedepankan kebaikan ternyata memiliki potensi negatif dan perusakan. Dalil ini ditolak dengan argumen keonaran bukan salah agama, melainkan para penganutnya yang tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran agama secara benar. Sialnya argumen bantahan ini pun mendapat pertanyaan lanjutan, kalau agama benar tapi tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama? Apa gunanya benar jika tak dapat mempengaruhi watak pemeluknya?

Dari hal tersebut muncul pertanyaan dimanakah letak toleransi?


Menempatkan Toleransi dalam Bingkai Pluralitas Dimensi Agama
Ada ulasan menarik dalam kajian buku, Islam Agama Kemanusiaan. Cak Nur membahas mengenai fundamentalisme. Fundamentalisme, mengutip Megatrends 2000, merupakan suatu gerakan emosional reaksioner yang berkembang dalam budaya-budaya yang sedang mengalami krisis sosial dan bersifat otoriter, tidak toleran dan bersemangat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap masyarakat yang lain. Kelompok ini tidak mengenal kompromi.

Kasus-kasus intoleransi dalam keberagamaan yang berujung pada tindak kekerasan dilakukan oleh mereka yang fundamentalis. Kelompok fundamentalisme berciri anti sosial dan tak kenal kompromi. Artinya ada eksklusifitas yang berlaku pada sesama mereka. Kebenaran yang dijadikan rujukan pun pada akhirnya merupakan kebenaran versi kelompok ini. Jangan harapkan mereka mengubah wajah sedikit lebih toleran terhadap yang berbeda di luar mereka. Apa yang menurut mereka tidak sama mesti disingkirkan walaupun mesti dengan tindak kekerasan. Jangan heran jika asas-asas humanitas yang mestinya dijunjung oleh setiap individu apapun latar belakangnya diabaikan dalam kerangka fundamentalisme.

Roger Garaudy mencoba memberikan solusi untuk mengatasi Fundamentalisme. Ada tujuh cara yang kesemuanya bermuara pada ajakan untuk menemukan kembali dimensi Islam keseluruhan yang dulu pernah membuatnya menjadi Agung. Pertama, memahami dan mengembangkan dimensi Qur'ani Islam. Kedua, memahami dan mengembangkan dimensi keruhanian dan kecintaan Ilahi sebagaimana dikembangkan oleh kaum sufi, untuk melawan paham keagamaan yang formalistik-ritualistik serta literalisme kosong. Ketiga, memahami dan mengembangkan dimensi sosial Islam. Keempat, menghidupkan kembali jiwa kritis Islam. Kelima, merubah program pengajaran agama, sehingga formalisme keagamaan yang kering dapat diakhiri. Keenam, meningkatkan kesadaran tanggung jawab pribadi kepada Tuhan dalam memahami ajaran-ajaran agama. Ketujuh, mengakhiri mentalitas isolatif dan membuka diri untuk kerjasama dengan pihak-pihak lain dengan semangat persaudaraan untuk meruntuhkan sistem-sistem totaliter. Namun, poin-poin tersebut mengandaikan usaha pengkayaan intelektual. Selain itu, aspek lain yang perlu menjadi perhatian penting adalah pengembangan kesadaran terhadap hukum sebagai bentuk ketaatan.

Toleransi dapat terhubung jika adanya sikap mempersilahkan bagi mereka yang berbeda untuk turut hadir dipanggung publik. Ketidaksetujuan terhadap mereka yang berbeda bukan berarti mesti menghilangkan ataupun mengingkari eksistensi, melainkan membiarkan berada di wilayah pikiran saja bukan dengan aksi kekerasan. Toleransi tercipta jika adanya penghargaan dan kesadaran akan humanitas dan keadilan yang patut dijunjung oleh semua manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar