Rabu, 28 September 2011

Tuhan(tu)


Masa depan adalah perihal paling misterius yang terjadi dalam kehidupan manusia. Aku pernah menulis suatu telaah singkat mengenai budaya industri yang kemudian banyak diagungkan oleh masyarat modern sebagai Tuhan baru. Telaah ini berdasarkan atas kunjunganku ke salah satu pameran seni rupa kontemporer bertajuk ”Second God”. Tuhan yang imanen perlahan-lahan tergantikan oleh Tuhan elektronik maupun Tuhan yang berlabel paling mahal dalam produk budaya massal. Tulisan mengenai itu kuberi judul, “Tuhan(tu) dalam Second God”. Kata Tuhan kuselipkan (tu) karena jika kau baca cepat maka akan berbunyi tuhantuhantuhantu… suatu ironi tersendiri yang rupanya saling kait mengait antara kata “tuhan” dan “hantu”. Suatu permainan kata yang entah disadari atau tidak dalam bahasa Indonesia sebagai pembalikan makna dan kata dimana keduanya bisa dipertukarkan. 


Sama seperti hidup, kata “tuhan” pun “hantu” bagiku hanyalah masalah perspektif. Hidup pun juga demikian. Selalu ada kategori baik dan buruk, baik dan jahat, untung dan rugi, senang dan sedih, naik dan turun, serta masih banyak hal lain yang kiranya dapat didaftarkan dalam antagonisme kata. Bagaimana pun semuanya adalah masalah perspektif. Namun, apapun perspektif tersebut akan selalu bermuara pada percabangan yang saling bertentangan satu sama lain yang disebut antagonis. 


Kadang saat kau sedang tekun dalam pencapaian pada Legenda Pribadimu, kau terjungkal ke dalam sebuah jurang yang dalam. Kau terluka lumayan parah. Rasa sakitnya membuatmu urung melanjutkan perjalananmu atau pembangunanmu menggapai yang kau impikan dan harapkan. Bagiku disaat itulah dua kata itu -tuhan dan hantu- tampil  sebagai metafora yang kugunakan untuk memenangkan salah satunya dan mempengaruhi bagaimana caramu melihat hidup selanjutnya, mempengaruhi bagaimana caramu menuliskan Legenda Pribadimu sampai pada kesimpulan akhir. Akankah kau menangkan Tuhan saat jatuh tersungkur dan menderita luka-luka yang bahkan mungkin tak akan sembuh lagi atau kau memenangkan hantu sebagai satu-satunya alasan terbesar kau mundur dari pencapaian Legenda Pribadimu? Semua jawab ada padamu…

Saat memilih memenangkan hantu sebagai jawaban, kau menyesali banyak hal yang telah terjadi padamu. Berjuta tegangan volt perasaan bersalah mengalirimu dan membuatmu menangis mengenai apa yang tak bisa kau capai atas tujuan yang kau tetapkan sebelumnya. Sementara saat kau memenangkan Tuhan, kau mensyukuri banyak hal walaupun kau terjatuh dan hampir mati. Setidaknya kau belajar banyak hal baru dan pengetahuanmu bertambah dibandingkan dengan mereka yang memilih memenangkan hantu.


Aku tak hendak membuatmu memilih tuhan pun menjatuhkan hantu. Sebelumnya pernah kubilang bahwa apa yang kau lihat pada hidupmu sendiri dan hidup sekitarmu adalah permasalahan perspektif. Apapun yang kau pilih untuk dimenangkan, putusanmu memperngaruhi caramu melihat kehidupan secara menyeluruh. Satu keputusanmu akan memperngaruhi keputusanmu yang lain di masa depan.


Tuhantuhantuhantuhan… aku hanya tahu bahwa perjalananku kadang menuntunku menuju jurang ketimbang bukit dengan sebatang pohon oak di atasnya. Namun, aku yakin kali ini aku tak akan apa-apa saat jurang yang ternyata ada dihadapanku. Setidaknya aku akan selalu belajar sesuatu baik mengenai tuhan maupun hantu.

Malchizedek si Raja Salem


Aku selalu tahu ada yang tak kuat dalam diriku untuk menghidupkan imajinasi. Gambaranku tak tegas, bahkan bergelombang. Gelap dan pekat. Bahkan sering kali berubah-ubah. Bagaikan mencoba membangun istana dari salju. Gagal adalah nama bayanganku yang selama ini kuhindari untuk diberi nama. Aku tahu aku akan goyah, suatu saat nanti.


Namun aku bertemu Malchizedek, raja Salem. Ia menunjukkan padaku lewat seorang bocah gembala mengenai makna hidup. Ya, aku mendengarkan obrolan mereka pada suatu senja dan tergelitik. Perasaan hening menjalari dan memaksaku untuk mengusap luka yang menanah pada tubuh pun jiwaku. Suatu kisah diceritakan Malchizedek mengenai Legenda Pribadi, suatu mitos kanak-kanak yang justru itulah menjadikan manusia hidup dan bermakna. 


Aku bertemu anugerah dan berkesempatan mendengarkan sabda Tuhan dari menguping perbincangan mereka. Aku melihat cahaya diatas tubuh manusia dan kutahu Tuhan sedang tersenyum mengetahui perbuatanku yang mengintip serta menguping pembicaraan orang yang tak kukenal. Aku meringis menghadapi senyuman Tuhan, layaknya seorang bocah yang ketahuan telah membuat piring kesayangan ibunya pecah berderai. Biar begitu, aku tahu Tuhan bersamaku dan si tua Malchizedek mengedipkan sebelah mata sayunya padaku pertanda ia tak berkeberatan.


Tercenung, aku tahu apa yang pernah ingin kulukiskan dalam kanvas hidupku. Apa yang ingin kubangun di atas sebidang tanah milikku sewaktu aku masih begitu muda. Ada banyak hasrat yang ingin kugapai dan kucapai bintang gemintang. Seperti seorang kawan pernah berseloroh bahwa tiada mimpi yang tak berharga walau sekecil apapun. Semua mimpi indah selama ia diyakini. Ya, ada maket yang ingin kubuat nyata dengan membangunnya sendiri dari setiap bata dan gumpalan semen yang kuoleskan untuk mendirikan dinding. Kupancangkan tiang, kututupi dengan atap dan akhirnya kubangun sebuah istana dimana segala imajinasi dan mimpiku berubah dan berkembang menghasilkan kebahagiaan seluas aku hidup dan tak ada habis-habisnya. 


Perjalanku ibarat menaiki sebuah kereta super cepat dimana aku berada di dalam salah satu gerbong. Aku tahu aku akan selalu siap menikmati setiap perjalanan yang tersaji dihadapanku. Kulihat sekelilingku saat kereta melaju lurus ke depan. Aku menikmati mereguk banyak pemandangan untuk kukumpulkan menjadi  kisah baru perjalananku menuju stasiun pemberhentian terakhir yang kumaksud. Dan aku bahagia, dengan seronok kutahu hasratku mengenai hidup tak akan mati, dan akan bergelora kembali. Ya, aku hidup. Sekali lagi aku hidup walau realitas berusaha mematisurikanku ke dalam lumbung yang kadang penuh kesenangan maupun kesedihan baru. 


Seperti seorang anak yang bertanya dengan si bijak tua mengenai apa itu menjadi bahagia. Si bijak tua hanya menyuruhnya berkeliling istana sambil memegang sebuah sendok berisi minyak. Yang pertama dilakukan si anak, ia berkeliling istana namun hanya berfokus pada sendok berisi minyak agar minyak yang dibawanya tak tumpah. Bukan, itu bukan bahagia. Yang kedua dilakukan si anak, ia membawa kembali sendok berisi minyak dan berkeliling istana menikmati semua pemandangan yang ada namun minyak yang ada ditangannya tumpah. Bukan, itu bukan bahagia. Si bijak hanya tersenyum dan berkata bahwa bahagia adalah menggenggam sendok berisi minyak tersebut agar tidak tumpah, namun tetap menikmati berbagai pemandangan yang tersaji disekelilingnya. 


Perhatikan alam dan kau akan tahu bahwa Tuhan telah meninggalkan padamu jejak-jejak yang dapat kau ikuti untuk mencapai Legenda Pribadimu. Legenda Pribadimu adalah bagian dari jiwa alam, dimana saat kau menginginkannya untuk menjadi kenyataan, maka semesta akan mendukungmu untuk mewujudkannya. 


Tuhan masih mengamatiku dan telah menunjukkan padaku untuk tidak menyerah. Aku tahu aku akan apa pada sisa hidupku. Aku akan menulis mengenai Legenda Pribadiku..


Terima kasih hidup untuk terus mengaliriku dengan berjuta keindahan tiada terperi. Terima kasih hidup untuk berbagai perasaan yang membuatku belajar lebih kuat. Terima kasih hidup untuk banyak jalan yang tersaji dan aku mesti belajar lagi mencari jejak bagai seorang pramuka pemula yang mencari jalan keluar. Terima kasih hidup atas banyak warna yang ditunjukkan padaku. Terima kasih hidup atas pemulihan dari berbagai makna yang sempat hilang dariku. Terima kasih Tuhan atas hidup yang demikian membangkitkan rasa syukur. Terima kasih…

Kamis, 08 September 2011

Tengah Jalan Bukan Jalan Tengah


Ada suatu perumpamaan menarik yang dilontarkan adikku mengenai pilihan dalam hidup. Ya, pilihan-pilihan yang tersaji dalam hidup menjadi pijakan bagi manusia untuk melangkah ke depan, suatu wilayah baru dalam kehidupan yang mesti dijalani dengan kualitas ruang dan waktu yang juga baru lengkap dengan segala variabelnya.

Pada salah satu dialog yang kulakukan dengannya, ia berkata,”Tak mungkin kita terus berada di jalan tengah, menjadi orang tengah yang punya posisi netral. Pada akhirnya kita mesti memilih sesuatu entah apa pun.” Ya, aku paham perihal itu sejak dulu.”Ibarat sebuah jalan, kita sebagai pejalan kaki mesti memilih hendak berada dijalur mana, kanan atau kiri. Kita tak mungkin memilih berada di tengah jalan karena pasti resiko yang dihadapi lebih besar-tertabrak kendaraan. Jadi, pilihan kita baik berada dijalur kiri atau kanan merupakan jalan selamat yang sebenarnya memiliki resiko lebih sedikit ketimbang berusaha menjadi pihak netral yang berada di tengah jalan.”

Aku tersenyum yang lambat laun diiringi dengan tawa. Yayayaya … tentu saja ia benar. Analogi yang ia berikan membuka kesadaranku betapa pentingnya memilih dalam hal apapun. Seberapa enggan kau untuk memilih untuk berpihak di antara satu, paling tidak gunakan pilihanmu untuk menggugurkannya agar pilhan yang kau punya tidak sia-sia begitu saja. Memilih menegasikan pilihan lain yang tersedia dengan segala kemungkinan resiko pun keuntungannya.

Hidup seperti sebuah laju arus kendaraan yang hanya dapat berhenti sejenak saat bertemu dengan lampu lalu lintas. Berhenti di tengah jalan berarti mati dan kita hilang eksistensi. Membiarkan banyak hal menuntun tanpa pernah kita benar-benar memilih juga mengabaikan pilihan dan kehendak bebas yang kita punya, walau apa yang disebut kehendak bebas ini masih absurd. Namun, dalam sebuah lintasan jalan raya, tidak semuanya memiliki kendaraan untuk melaju dengan cepat dan nyaman. Ada beragam jenis kendaraan yang hadir pun para pejalan kaki ikut terhitung di dalamnya. Demi apa kiranya kita bertaruh pada jalanan yang tak pernah lengang? Bertaruh pada hidup yang tak pernah berhenti dari alur waktu yang terus mendesak ke depan? Demi suatu tujuan. Tujuan yang bisa jadi beragam bagi masing-masing kita.

Setiap pilihan, seperti kataku tadi, selalu mengandaikan resiko masing-masing. Ada yang hilang saat pilihan satu diambil dan membuang yang lain. Aku hanya perlu mempersiapkan diriku untuk menerimanya. Bagaimana pun dari sini aku tahu aku akan mendapatkan banyak pelajaran berharga yang membuatku lebih mengenal diri sendiri .

Posisi netral saat aku memilih jalan tengah pada tengah jalan, mengabaikan fakta lain bahwa aku sebenarnya adalah pelaku. Aku terlibat di dalamnya. Posisi netral hanya menampik bahwa aku punya pilihan yang harus kupilih.

Aku takut. Aku masih takut dengan banyak hal. namun, setidaknya  ketakutan itu harus kuhadapi salah satunya. Aku harus tahu, seperti apakah diriku dengan pilihan yang kupunya dan telah kupilih. Entah itu akan membuatku maju ataupun semakin menyesali yang lalu, nyatanya aku akan belajar hal baru. Itu yang terpenting kiranya. Kanan maupun kiri bukan hal besar, pilih saja yang aku yakini paling benar. Toh, ini hal biasa yang mesti dihadapi manusia.

Adikku tersenyum sumringah karena penyadarannya terhadap jalan tengah tidak hanya menyentakku, melainkan juga dirinya.

Senin, 05 September 2011

Antagonisme Pikiran


Mencoba mengingkari diri itu sia-sia. Aku ingin menjadi si bijak dan berpikir lebih tenang. Namun diriku tidak sekedar digerakkan oleh pikiran rasionalku, melainkan juga oleh kehendak; entah itu hasrat pun egoku, sadar pun tidak sadar. Bahkan lebih seringnya aku bertindak tanpa kompromi dulu dengan rasio yang kuharap dapat menjadi filter saat aku tak kuasa menahan diri dan membendung emosi-emosiku. Tetapi bagaimanapun aku hanyalah darah dan daging serta mungkin ruh yang menjadikanku hidup dan bergerak. Mungkin juga ada Tuhan di dalamnya. Aku tak dapat memastikan. Hal yang dapat kupastikan adalah di antara darah dan daging itu ada ruang kosong yang kadang gelap kadang bersinar, kuanggap sebagai tempat Tuhan merasukiku.

Seringnya aku diam dan cuek dengan segala hal. Hanya pikiran saja yang ribut di dalam otak. Bergemuruh. Sedang ada perang troya atau bahkan mahabarata berlangsung di sana. Mereka beristirahat ketika aku tidur saja. Ya, setelah kupikir ulang mungkin selamanya aku akan berperang dengan diriku sendiri sebelum berperang dengan orang lain. Berperang bagiku tidak berarti mesti mengalahkan yang lain. Menang adalah tujuan yang selalu diinginkan saat kita berperang. Menang berarti berkuasa terhadap yang lainnya. Menang berarti menyingkirkan yang lain. Tetapi yang seringnya kita lupa adalah konsekuensi lain dari peperangan; kalah. Tak ada kiranya orang yang ingin kalah dalam menghadapi pertempuran apapun. Untuk mereka yang agak sabar, kekalahan dianggap sebagai kemenangan yang tertunda. Akan ada saat di mana mereka yang kalah akan bangkit dan menang. Mungkin saja benar. Bagi mereka yang tak sabaran, kalah meninggalkan dendam yang mesti dituntaskan segera dan bahkan lebih kejam.

 Kubilang hidup itu kan berperang. Peperangan abadi adanya buka di luar sana, misalnya antara kelompok massa Islam fundamentalis dengan liberal pun ahmadiyah, atau antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi pasar bebas. Tentu kita bisa mendata sejumlah peperangan yang terjadi di luar sana. Data-data yang coba kita kumpulkan pun mungkin tidak akan pernah selesai karena begitu banyaknya. Peperangan sesungguhnya terjadi dan abadi sifatnya ada di dalam diri sendiri. Banyak suara bergemuruh dan berisik yang membikin pening. Di dalam kepalaku kadang ada yang iseng berteriak,”Allahu Akbar”, “Bangsat”, “Mampus lo”, dan berjuta sumpah serapah dengan model dan jenis yang beragam. Kadang ada pula di tengah peperangan ada suara yang sok menenangkan, seolah-olah pada suatu peperangan dahsyat, ia duduk manis di tengah medan. Sosoknya kakek-kakek tua berjanggut panjang putih duduk bersila sambil mata terpejam bersuara pelan,”Astagfirullah, hentika semua ini. Ini dosa. Jangan kau berlaku kasar dan berbuat baiklah dengan sesama”. Tipe suara seperti ini rasa-rasanya ingin segera dimatikan saja supaya tidak menggangu jalannya peperangan. Solusinya sudah usang. Si kakek tua mesti mengakhiri hidupnya sendiri kalau tidak ingin diakhiri oleh massa suara yang marah dan panas.

Bagaimanapun suara-suara di dalam kepala ada banyak sekali dan cukup sulit diindentifikasi. Mereka hadir tak terduga dan kadang langsung membentuk koalisi sendiri untuk ikut dipihak mana dalam peperangan. Semua hal di dalam diriku berperang. Kadang menyenangkan, seringkali menyusahkan saat aku butuh putusan segera untuk memilih sesuatu.

Kalau tidak dapat dibilang berperang, ya dapat dibilang sedang berdebat. Seperti agora-suatu parlemen rakyat pada masa Yunani dulu. Para negarawan sibuk mengemukakan pandangannya. Berjubah putih, berkepala botak-entah pikiranku langsung membayangkan mereka bertampang layaknya Plato, Aristoteles, pun bahkan Cicero walau tak hidup sezaman dengan dua pendahulunya. Mereka sibuk beretorika macam-macam. Ada yang masuk akal pandangannya. Namun ada pula yang ngaco bin sesat sekali. Lagi-lagi ada yang liyan dalam perdebatan di antara para orang-orang bijak ini. Diam-diam hadir Aristophanes, si badut yang duduk dipojokan mendengarkan sambil senyum-senyum sendiri. Barangkali di dalam batok kepalanya sedang asyik memikirkan segala kekurangan  dari tiap argumen para ahli ini untuk dijadikan bahan lelucon atau bahkan sebuah komedi. Ya, bagi Aristophanes komedi merupakan media kualitas kedua yang mampu menghibur para awam untuk merayakan kebodohan para cendekiawan. Komedi mampu membuka diri terlebih lagi menusuk logika siapapun untuk ikut hanyut di dalamnya. Komedi barangkali menjadi suatu terminal pemberhentian manusia dari segala keagungannya yang berusaha untuk memenangkan peperangan apapun dalam hidupnya, karena ternyata hidup tak dapat selesai begitu saja hanya dengan memenangkan suatu peperangan pun perdebatan mengenai sesuatu. Hidup sekedar penuh dengan banyak pandangan dan pilihan, tetapi kita tak pernah punya cukup alasan untuk menyingkirkan siapapun atau apapun atas nama kebenaran tunggal. Semua punya rasionalitasnya sendiri, tetapi tak semua mau menerima bahwa kebenaran itu jamak hakekatnya.

Sabtu, 03 September 2011

Membaca Film


Kadang aku begitu terhanyut dalam sebuah alur. Dalam setiap peran yang bergulir aku merasakan sesuatu. Bisa jadi berbeda dan aku juga ikut di dalamnya. Tanpa sadar menempatkan diriku dalam kumparan imajinasi sebagai pemeran utama yang memiliki lebih banyak gaya dan pesona. Bersanding dengan pemeran lainnya yang juga menarik hati dan mata. 

Ada si protagonis, perannya sangat menderita dan sial luar biasa. Si antagonis pada awalnya berlagak jumawa namun kemudian menjadi tersingkir begitu saja. Alasan sederhana, karena ini kisah bahagia. Setiap kisah bahagia mesti berakhir gembira, si jahat mesti kalah untuk selama-lamanya.

Tahukah kau apa yang kita lihat saat menyaksikan sebuah alur dalam film? Suatu kesempurnaan yang hampir paripurna. Dalam limit waktu yang ditetapkan untuk segera diakhiri, kita menikmati dan berpuas hati, pada akhirnya kebahagiaanlah yang menampakkan diri. Segala duka lara pergi karena kini hanya tinggal cinta dan kebaikan yang menaungi. 

Dalam sebuah film kita juga dapat melihat semesta beserta isinya. Setiap peran menampakkan dirinya dihadapan kita yang menyaksikannya, tetapi tidak bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Jangan salahkan si jahat atau kasihani si baik karena perbuatan yang mereka ambil untuk tetap melanjutkan hidup. Karena kita adalah Tuhan yang tahu segalanya saat menyaksikan sebuah film. 

Kita menikmati keseluruhan proses dari awal hingga akhir dan mengerti  bahwa semuanya tak lain merupakan hukum sebab akibat mengapa alur yang kita saksikan menjadi demikian. Kita menjustifikasi banyak peran yang tidak kita sukai karena bersikap demikian. Perasaan geram kadang melatarbelakangi perasaan kecewa kita karena rupanya si penulis naskah menuliskannya jauh dari apa yang kita harapkan akan terjadi dengan  mereka yang ada di dalam film. Kita ingin cerita tidak berjalan seperti ini, mungkin simpati atau bahkan empati tehadap tokoh tertentu menempatkan kita mesti berjibaku untuk menyelamatkan tokoh tertentu.

Egoiskah?

Tidak. Ini adalah perihal diri manusia yang berbeda. Semua perasaan yang mengembang ke permukaan sesungguhnya merupakan cerminan diri kita. Suatu perasaan yang tidak lagi dapat direpresi dan ini membebaskan. Membebaskan kita mengenal diri sendiri. Setiap rasa tak dapat disalahkan pun tak dapat diingkari. Namun ia dapat direfleksikan, ditelaah kembali..

Aku menikmati sebuah film hari ini dan terhanyut dengan alur yang sajikannya. Sempat terbit perasaan kesal dan sedih, seolah aku saja lah yang lebih baik menjadi pemeran utamanya agar salah seorang tokoh yang kusukai tak begitu mendapatkan nasib sial dan merasa pedih. Kemudian aku menertawakan diriku sendiri, menyadari kebodohanku yang disepakati oleh imajinasiku sendiri. Aku hanya menikmati film dan terhanyut sesaat dengan alurnya. 

Aku tahu semua hal yang terjadi dalam film tersebut karena aku tak terlibat di dalamnya. Aku dapat menjustifikasi beberapa tokoh karena kutahu motif mereka. Namun, aku belajar lagi hari ini dari apa yang kuharapkan. Mungkin lebih baik begitu saja, tidak tahu dan tidak mungkin mengetahui semua hal jika kita adalah pemeran utama dari setiap film yang kita mainkan dalam kehidupan nyata. Selalu ada yang tercecer dan tak ada yang memungutnya kecuali mereka yang menyaksikan kita dari sebuah layar besar. Kita hanya dapat menikmati film tanpa tahu mesti berbuat apa untuk mengubahnya.

Jumat, 02 September 2011

Indonesia (tak) Punya Pahlawan


Jumat, 19 Agustus 2011. Sudah 66 tahun sejak Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Sudahkah negeri ini merdeka? Dalam selebrasi tiap tahun menuju tanggal 17 Agustus, selalu ada semangat yang walau kian kabur tetap menghikmati bahwa Indonesia memang sudah merdeka.

Saat ini pemerintahan SBY. Presiden dari Partai Demokrat, suatu partai yang baru berdiri beberapa tahun tetapi langsung melejit menjadi partai yang katanya favorit orang banyak. Namun saat ini terkuak isu menarik mengenai kasus korupsi wisma atlet yang melibatkan anggota DPR sekaligus anggota Partai Demokrat. Si tersangka kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri dan dari sana ia berkumandang bahwa korupsi yang dilakukannya dan terbongkar oleh KPK tidak dilakukannya sendiri. Uang yang tak terkira jumlahnya bagi rakyat miskin Indonesia mengalir kesejumlah nama; anggota lain partai sendiri, pejabat KPK, pun pejabat Kementrian Pemuda dan Olahraga. Ia bilang ia punya fakta yang dapat menjadi bukti bahwa partai di mana ia bergabung di dalamnya tidak bersih-bersih amat seperti apa yang sering dicitrakan oleh omong kosong si SBY.

Pada suatu hari, dikabarkan oleh media massa bahwa si tersangka tertangkap oleh Interpol Kolumbia sedang menuju Bogota. Berbagai pihak di negeri sendiri ikut ribut mendengar kabar tertangkapnya si kartu as. Sejak dalam perjalanan pulang ke negeri asal hingga tiba di tanah air, si tersangka jadi orang yang linglung seperti lupa ingatan. Kabar burung berhembus ia telah dicuci otaknya oleh para penguasa yang tak ingin aibnya terbongkar oleh ulah si cecunguk itu. Buktinya saja, kata salah satu media nasional, ia menyatakan lupa atas apa yang pernah ia nyatakan dalam video konferen langsung yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi. Selain itu lihat saja tampangnya yang kuyu seperti habis disiksa atau bahkan ditekan  sedemikian rupa oleh aparat yang juga berafiliasi terhadap penguasa – bukannya dengan rakyat. Bahkan, lebih anehnya lagi ia rela untuk langsung diperkarakan ke muka hukum tanpa perlu diperiksa oleh tim penyidik. Ia memohon kepada SBY untuk melindungi istrinya yang juga terjerat kasus korupsi untuk masalah lain dan kini tak diketahui juntrungannya. Entah melarikan diri atau disekap oleh penguasa.

Apa yang dituturkan bisa jadi sebuah gossip yang tak berdasarkan fakta akurat. Toh, mengapa kita masih butuh fakta saat apa yang disajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanyalah sebuah jalinan kebohongan yang kian tak masuk akal. Mereka yang berstatus penyelenggara negara sibuk menyulam dialektika yang tak lagi dapat dirujuk mana yang benar dan mana yang salah. Terlalu banyak kerja sama aneh yang terjadi antara pihak A, pihak B, hingga pihak Z. Kita yang hanya asik menonton pun sudah enggan untuk mengurai omong kosong yang tak lagi jelas implementasi nyatanya. Bagaimana pun rakyat tetap sekarat dalam kepapaan karena tak cukup sandang, pangan, papan, pendidikan dan makna menjadi sejahtera.

Betapa tak muak kah kita melihat tingkah pola penguasa yang tak merepresentasikan kemauan dan harapan rakyat? Kita butuh seorang pahlawan. Hanya satu saja agar harapan yang kami punya tak membumbung ke angkasa dengan percuma. Hanya satu saja pahlawan yang dapat membuat kami tetap beriman bahwa kami memang telah merdeka dan hak kami tetap dijaga. Hanya satu pahlawan yang dapat meretas jalinan kebohongan yang tak lagi berdasarkan pada realita melainkan hanya dialektika sesat saja. Tak adakah ia yang dapat kami sebut pahlawan?

Dan, setiap harinya kami dicucuki perang dialektika hingga kami tak lagi dapat membedakan siapa yang kiranya sedang berbohong kepada kami atau tidak. Kami pun pada kesimpulan tragic, semua yang berperang citra dan menyangkal berbagai tuduhan walau mungkin sudah ada fakta adalah pembohong dan penjahat yang hanya menginginkan suara kami saja di pemilu yang akan datang. Jika kami meminta datangnya seorang pahlawan, justru mereka hanya menyodorkan kami mengenai kenaikkan Produk Domestik Bruto, pendapan perkapita masyarakat yang tampak secara matematis  maupun pertumbuhan ekonomi yang meningkat sekian persen. Nyatanya kehidupan kami yang papa ini tak pernah berubah. Tak pernah menuju ke arah perbaikan. Kami hanya disuguhi kemajuan-kemajuan absurd yang sekalipun tak pernah kami nikmati.

Kami enggan mengakui ini, namun harapan yang kami punya tak pantas lagi untuk dipupuk dan disemai saat realita hanyalah kumpulan omong kosong tak berkesudahan yang digunakan oleh para penguasa untuk terus dapat melanggengkan kuasanya.