Mencoba mengingkari diri itu sia-sia.
Aku ingin menjadi si bijak dan berpikir lebih tenang. Namun diriku tidak
sekedar digerakkan oleh pikiran rasionalku, melainkan juga oleh kehendak; entah
itu hasrat pun egoku, sadar pun tidak sadar. Bahkan lebih seringnya aku
bertindak tanpa kompromi dulu dengan rasio yang kuharap dapat menjadi filter
saat aku tak kuasa menahan diri dan membendung emosi-emosiku. Tetapi
bagaimanapun aku hanyalah darah dan daging serta mungkin ruh yang menjadikanku
hidup dan bergerak. Mungkin juga ada Tuhan di dalamnya. Aku tak dapat
memastikan. Hal yang dapat kupastikan adalah di antara darah dan daging itu ada
ruang kosong yang kadang gelap kadang bersinar, kuanggap sebagai tempat Tuhan
merasukiku.
Seringnya aku diam dan cuek dengan
segala hal. Hanya pikiran saja yang ribut di dalam otak. Bergemuruh. Sedang ada
perang troya atau bahkan mahabarata berlangsung di sana. Mereka beristirahat
ketika aku tidur saja. Ya, setelah kupikir ulang mungkin selamanya aku akan
berperang dengan diriku sendiri sebelum berperang dengan orang lain. Berperang
bagiku tidak berarti mesti mengalahkan yang lain. Menang adalah tujuan yang
selalu diinginkan saat kita berperang. Menang berarti berkuasa terhadap yang
lainnya. Menang berarti menyingkirkan yang lain. Tetapi yang seringnya kita
lupa adalah konsekuensi lain dari peperangan; kalah. Tak ada kiranya orang yang
ingin kalah dalam menghadapi pertempuran apapun. Untuk mereka yang agak sabar,
kekalahan dianggap sebagai kemenangan yang tertunda. Akan ada saat di mana
mereka yang kalah akan bangkit dan menang. Mungkin saja benar. Bagi mereka yang
tak sabaran, kalah meninggalkan dendam yang mesti dituntaskan segera dan bahkan
lebih kejam.
Kubilang hidup itu kan berperang. Peperangan
abadi adanya buka di luar sana, misalnya antara kelompok massa Islam
fundamentalis dengan liberal pun ahmadiyah, atau antara ekonomi kerakyatan
dengan ekonomi pasar bebas. Tentu kita bisa mendata sejumlah peperangan yang
terjadi di luar sana. Data-data yang coba kita kumpulkan pun mungkin tidak akan
pernah selesai karena begitu banyaknya. Peperangan sesungguhnya terjadi dan
abadi sifatnya ada di dalam diri sendiri. Banyak suara bergemuruh dan berisik
yang membikin pening. Di dalam kepalaku kadang ada yang iseng berteriak,”Allahu
Akbar”, “Bangsat”, “Mampus lo”, dan berjuta sumpah serapah dengan model dan
jenis yang beragam. Kadang ada pula di tengah peperangan ada suara yang sok
menenangkan, seolah-olah pada suatu peperangan dahsyat, ia duduk manis
di tengah medan. Sosoknya kakek-kakek tua berjanggut panjang putih duduk bersila
sambil mata terpejam bersuara pelan,”Astagfirullah, hentika semua ini. Ini
dosa. Jangan kau berlaku kasar dan berbuat baiklah dengan sesama”. Tipe suara
seperti ini rasa-rasanya ingin segera dimatikan saja supaya tidak menggangu
jalannya peperangan. Solusinya sudah usang. Si kakek tua mesti mengakhiri
hidupnya sendiri kalau tidak ingin diakhiri oleh massa suara yang marah dan
panas.
Bagaimanapun suara-suara di dalam
kepala ada banyak sekali dan cukup sulit diindentifikasi. Mereka hadir tak
terduga dan kadang langsung membentuk koalisi sendiri untuk ikut dipihak mana
dalam peperangan. Semua hal di dalam diriku berperang. Kadang menyenangkan,
seringkali menyusahkan saat aku butuh putusan segera untuk memilih sesuatu.
Kalau tidak dapat dibilang berperang,
ya dapat dibilang sedang berdebat. Seperti agora-suatu parlemen rakyat pada
masa Yunani dulu. Para negarawan sibuk mengemukakan pandangannya. Berjubah
putih, berkepala botak-entah pikiranku langsung membayangkan mereka bertampang
layaknya Plato, Aristoteles, pun bahkan Cicero walau tak hidup sezaman dengan
dua pendahulunya. Mereka sibuk beretorika macam-macam. Ada yang masuk akal
pandangannya. Namun ada pula yang ngaco bin sesat sekali. Lagi-lagi ada yang
liyan dalam perdebatan di antara para orang-orang bijak ini. Diam-diam hadir
Aristophanes, si badut yang duduk dipojokan mendengarkan sambil senyum-senyum
sendiri. Barangkali di dalam batok kepalanya sedang asyik memikirkan segala
kekurangan dari tiap argumen para ahli
ini untuk dijadikan bahan lelucon atau bahkan sebuah komedi. Ya, bagi
Aristophanes komedi merupakan media kualitas kedua yang mampu menghibur para
awam untuk merayakan kebodohan para cendekiawan. Komedi mampu membuka diri
terlebih lagi menusuk logika siapapun untuk ikut hanyut di dalamnya. Komedi
barangkali menjadi suatu terminal pemberhentian manusia dari segala
keagungannya yang berusaha untuk memenangkan peperangan apapun dalam hidupnya,
karena ternyata hidup tak dapat selesai begitu saja hanya dengan memenangkan
suatu peperangan pun perdebatan mengenai sesuatu. Hidup sekedar penuh dengan
banyak pandangan dan pilihan, tetapi kita tak pernah punya cukup alasan untuk
menyingkirkan siapapun atau apapun atas nama kebenaran tunggal. Semua punya
rasionalitasnya sendiri, tetapi tak semua mau menerima bahwa kebenaran itu
jamak hakekatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar