Senin, 05 September 2011

Antagonisme Pikiran


Mencoba mengingkari diri itu sia-sia. Aku ingin menjadi si bijak dan berpikir lebih tenang. Namun diriku tidak sekedar digerakkan oleh pikiran rasionalku, melainkan juga oleh kehendak; entah itu hasrat pun egoku, sadar pun tidak sadar. Bahkan lebih seringnya aku bertindak tanpa kompromi dulu dengan rasio yang kuharap dapat menjadi filter saat aku tak kuasa menahan diri dan membendung emosi-emosiku. Tetapi bagaimanapun aku hanyalah darah dan daging serta mungkin ruh yang menjadikanku hidup dan bergerak. Mungkin juga ada Tuhan di dalamnya. Aku tak dapat memastikan. Hal yang dapat kupastikan adalah di antara darah dan daging itu ada ruang kosong yang kadang gelap kadang bersinar, kuanggap sebagai tempat Tuhan merasukiku.

Seringnya aku diam dan cuek dengan segala hal. Hanya pikiran saja yang ribut di dalam otak. Bergemuruh. Sedang ada perang troya atau bahkan mahabarata berlangsung di sana. Mereka beristirahat ketika aku tidur saja. Ya, setelah kupikir ulang mungkin selamanya aku akan berperang dengan diriku sendiri sebelum berperang dengan orang lain. Berperang bagiku tidak berarti mesti mengalahkan yang lain. Menang adalah tujuan yang selalu diinginkan saat kita berperang. Menang berarti berkuasa terhadap yang lainnya. Menang berarti menyingkirkan yang lain. Tetapi yang seringnya kita lupa adalah konsekuensi lain dari peperangan; kalah. Tak ada kiranya orang yang ingin kalah dalam menghadapi pertempuran apapun. Untuk mereka yang agak sabar, kekalahan dianggap sebagai kemenangan yang tertunda. Akan ada saat di mana mereka yang kalah akan bangkit dan menang. Mungkin saja benar. Bagi mereka yang tak sabaran, kalah meninggalkan dendam yang mesti dituntaskan segera dan bahkan lebih kejam.

 Kubilang hidup itu kan berperang. Peperangan abadi adanya buka di luar sana, misalnya antara kelompok massa Islam fundamentalis dengan liberal pun ahmadiyah, atau antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi pasar bebas. Tentu kita bisa mendata sejumlah peperangan yang terjadi di luar sana. Data-data yang coba kita kumpulkan pun mungkin tidak akan pernah selesai karena begitu banyaknya. Peperangan sesungguhnya terjadi dan abadi sifatnya ada di dalam diri sendiri. Banyak suara bergemuruh dan berisik yang membikin pening. Di dalam kepalaku kadang ada yang iseng berteriak,”Allahu Akbar”, “Bangsat”, “Mampus lo”, dan berjuta sumpah serapah dengan model dan jenis yang beragam. Kadang ada pula di tengah peperangan ada suara yang sok menenangkan, seolah-olah pada suatu peperangan dahsyat, ia duduk manis di tengah medan. Sosoknya kakek-kakek tua berjanggut panjang putih duduk bersila sambil mata terpejam bersuara pelan,”Astagfirullah, hentika semua ini. Ini dosa. Jangan kau berlaku kasar dan berbuat baiklah dengan sesama”. Tipe suara seperti ini rasa-rasanya ingin segera dimatikan saja supaya tidak menggangu jalannya peperangan. Solusinya sudah usang. Si kakek tua mesti mengakhiri hidupnya sendiri kalau tidak ingin diakhiri oleh massa suara yang marah dan panas.

Bagaimanapun suara-suara di dalam kepala ada banyak sekali dan cukup sulit diindentifikasi. Mereka hadir tak terduga dan kadang langsung membentuk koalisi sendiri untuk ikut dipihak mana dalam peperangan. Semua hal di dalam diriku berperang. Kadang menyenangkan, seringkali menyusahkan saat aku butuh putusan segera untuk memilih sesuatu.

Kalau tidak dapat dibilang berperang, ya dapat dibilang sedang berdebat. Seperti agora-suatu parlemen rakyat pada masa Yunani dulu. Para negarawan sibuk mengemukakan pandangannya. Berjubah putih, berkepala botak-entah pikiranku langsung membayangkan mereka bertampang layaknya Plato, Aristoteles, pun bahkan Cicero walau tak hidup sezaman dengan dua pendahulunya. Mereka sibuk beretorika macam-macam. Ada yang masuk akal pandangannya. Namun ada pula yang ngaco bin sesat sekali. Lagi-lagi ada yang liyan dalam perdebatan di antara para orang-orang bijak ini. Diam-diam hadir Aristophanes, si badut yang duduk dipojokan mendengarkan sambil senyum-senyum sendiri. Barangkali di dalam batok kepalanya sedang asyik memikirkan segala kekurangan  dari tiap argumen para ahli ini untuk dijadikan bahan lelucon atau bahkan sebuah komedi. Ya, bagi Aristophanes komedi merupakan media kualitas kedua yang mampu menghibur para awam untuk merayakan kebodohan para cendekiawan. Komedi mampu membuka diri terlebih lagi menusuk logika siapapun untuk ikut hanyut di dalamnya. Komedi barangkali menjadi suatu terminal pemberhentian manusia dari segala keagungannya yang berusaha untuk memenangkan peperangan apapun dalam hidupnya, karena ternyata hidup tak dapat selesai begitu saja hanya dengan memenangkan suatu peperangan pun perdebatan mengenai sesuatu. Hidup sekedar penuh dengan banyak pandangan dan pilihan, tetapi kita tak pernah punya cukup alasan untuk menyingkirkan siapapun atau apapun atas nama kebenaran tunggal. Semua punya rasionalitasnya sendiri, tetapi tak semua mau menerima bahwa kebenaran itu jamak hakekatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar