Jumat, 19 Agustus 2011. Sudah 66 tahun sejak Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Sudahkah negeri ini merdeka? Dalam selebrasi tiap tahun menuju tanggal 17 Agustus, selalu ada semangat yang walau kian kabur tetap menghikmati bahwa Indonesia memang sudah merdeka.
Saat ini pemerintahan SBY. Presiden dari Partai Demokrat, suatu partai yang baru berdiri beberapa tahun tetapi langsung melejit menjadi partai yang katanya favorit orang banyak. Namun saat ini terkuak isu menarik mengenai kasus korupsi wisma atlet yang melibatkan anggota DPR sekaligus anggota Partai Demokrat. Si tersangka kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri dan dari sana ia berkumandang bahwa korupsi yang dilakukannya dan terbongkar oleh KPK tidak dilakukannya sendiri. Uang yang tak terkira jumlahnya bagi rakyat miskin Indonesia mengalir kesejumlah nama; anggota lain partai sendiri, pejabat KPK, pun pejabat Kementrian Pemuda dan Olahraga. Ia bilang ia punya fakta yang dapat menjadi bukti bahwa partai di mana ia bergabung di dalamnya tidak bersih-bersih amat seperti apa yang sering dicitrakan oleh omong kosong si SBY.
Pada suatu hari, dikabarkan oleh media massa bahwa si tersangka tertangkap oleh Interpol Kolumbia sedang menuju Bogota. Berbagai pihak di negeri sendiri ikut ribut mendengar kabar tertangkapnya si kartu as. Sejak dalam perjalanan pulang ke negeri asal hingga tiba di tanah air, si tersangka jadi orang yang linglung seperti lupa ingatan. Kabar burung berhembus ia telah dicuci otaknya oleh para penguasa yang tak ingin aibnya terbongkar oleh ulah si cecunguk itu. Buktinya saja, kata salah satu media nasional, ia menyatakan lupa atas apa yang pernah ia nyatakan dalam video konferen langsung yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi. Selain itu lihat saja tampangnya yang kuyu seperti habis disiksa atau bahkan ditekan sedemikian rupa oleh aparat yang juga berafiliasi terhadap penguasa – bukannya dengan rakyat. Bahkan, lebih anehnya lagi ia rela untuk langsung diperkarakan ke muka hukum tanpa perlu diperiksa oleh tim penyidik. Ia memohon kepada SBY untuk melindungi istrinya yang juga terjerat kasus korupsi untuk masalah lain dan kini tak diketahui juntrungannya. Entah melarikan diri atau disekap oleh penguasa.
Apa yang dituturkan bisa jadi sebuah gossip yang tak berdasarkan fakta akurat. Toh, mengapa kita masih butuh fakta saat apa yang disajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanyalah sebuah jalinan kebohongan yang kian tak masuk akal. Mereka yang berstatus penyelenggara negara sibuk menyulam dialektika yang tak lagi dapat dirujuk mana yang benar dan mana yang salah. Terlalu banyak kerja sama aneh yang terjadi antara pihak A, pihak B, hingga pihak Z. Kita yang hanya asik menonton pun sudah enggan untuk mengurai omong kosong yang tak lagi jelas implementasi nyatanya. Bagaimana pun rakyat tetap sekarat dalam kepapaan karena tak cukup sandang, pangan, papan, pendidikan dan makna menjadi sejahtera.
Betapa tak muak kah kita melihat tingkah pola penguasa yang tak merepresentasikan kemauan dan harapan rakyat? Kita butuh seorang pahlawan. Hanya satu saja agar harapan yang kami punya tak membumbung ke angkasa dengan percuma. Hanya satu saja pahlawan yang dapat membuat kami tetap beriman bahwa kami memang telah merdeka dan hak kami tetap dijaga. Hanya satu pahlawan yang dapat meretas jalinan kebohongan yang tak lagi berdasarkan pada realita melainkan hanya dialektika sesat saja. Tak adakah ia yang dapat kami sebut pahlawan?
Dan, setiap harinya kami dicucuki perang dialektika hingga kami tak lagi dapat membedakan siapa yang kiranya sedang berbohong kepada kami atau tidak. Kami pun pada kesimpulan tragic, semua yang berperang citra dan menyangkal berbagai tuduhan walau mungkin sudah ada fakta adalah pembohong dan penjahat yang hanya menginginkan suara kami saja di pemilu yang akan datang. Jika kami meminta datangnya seorang pahlawan, justru mereka hanya menyodorkan kami mengenai kenaikkan Produk Domestik Bruto, pendapan perkapita masyarakat yang tampak secara matematis maupun pertumbuhan ekonomi yang meningkat sekian persen. Nyatanya kehidupan kami yang papa ini tak pernah berubah. Tak pernah menuju ke arah perbaikan. Kami hanya disuguhi kemajuan-kemajuan absurd yang sekalipun tak pernah kami nikmati.
Kami enggan mengakui ini, namun harapan yang kami punya tak pantas lagi untuk dipupuk dan disemai saat realita hanyalah kumpulan omong kosong tak berkesudahan yang digunakan oleh para penguasa untuk terus dapat melanggengkan kuasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar