Selasa, 27 Desember 2011

Sejumput Risalah


doc: favim.com


Duhai senja,
Namamu seringkali dijadikan singgasana para peziarah. Diantara sinar mentari dan lembutnya kegelapan menjelang malam, kau berdiri dikeduanya. Layaknya koma, kau adalah jeda dimana ruang menjadi kosong dan mendamaikan.
                                      
Jelaga,
Hitam pekat menempel pada sekat dan berkerak. Jika kau melihat pekat, siapa yang tahu mengenai diriku? Kau pun juga tak tahu pasti. Sejumput kerak, berdesir membangkitkan perasaan aneh dan jijik pada diriku sendiri.

Cermin,
Kulihat diriku disana, tapi tak kukenali pantulan siapa itu. Aku sekaligus bukan aku. Ya, begitulah adanya. Mereka bilang itu aku, tapi bagiku itu bahkan bukan aku bahkan bayanganku. Ada yang terpisah dariku dan tak kukenali sebelumnya. Ada harapan dan fantasi yang tak terkatakan namun tampak dalam cermin. Ia adalah harapan sekaligus kenyataan yang tak mampu kereguk seluruhnya.  

Kata,
Aku terlalu banyak membuang kata. Semuanya menjadi omong kosong. Kata, ia representasi apa yang kupikirkan sekaligus mereduksi kemungkinan lain dari pikiran. Aku menjelma frasa, menggugat bait. Selalu ada yang dapat ditentang, dan aku menentang diriku sendiri lewat kata.

Fiksi,
Biarkan aku mencipta fiksi dan mengaburkan dunia. Biar kusembunyikan namanya di dalam fiksi dan cinta menjadi diksi dalam setiap kata-kata yang terbentuk dari imajinasi. Agar setiap peziarah yang mencoba menemukannya mendapati sebentuk jiwa yang layu karena fiksi menyerap realita dan kemungkinan. Dalam fiksi, cinta dan dirinya melebur dan menggandakan diri dalam beragam makna. (Rabu, 10/8/2011)

Kenangan,
Sendiri merupakan kesunyian tak terbantahkan dari eksistensi seorang manusia. Kenangan hadir bagai sebuah arus sungai yang tak berkesudahan, kadang membawa limbahan berjuta material hingga meluap dan membuat banjir sekitar. Arus deras jutaan kubik kenangan bagai sebuah tegangan volt supertinggi dan mengantarkan manusia pada kepapaannya pun kebanggaannya. Kenangan membawa simfoni mengenai warna kuning dimana usang adalah album fotonya. Ada indah, ada serapah, ada kecewa, ada bahagia, ada marah, ada bangga, serta cinta yang pernah mampir dalam kenangan. Ia universal walau dengan seluruh kategori particular yang membentuknya. Abadi? Tidak juga, sebab itulah mengapa kenangan hadir sebagai arus sungai. Selalu ada sisa yang tertinggal dan menjadi kerak di dasar batuan sungai. (Selasa, 18/10/2011)

Senin, 26 Desember 2011

Balada Kakek Tua Penjual Pisang


Biarkan aku mencipta fiksi dan menulis. Menulis lagi dari awal dan menyodorkan sebuah kisah tentang apa yang kukelola dari hidup yang begitu ajaib. Tragedi menjadi latarnya namun komedi menjadi pijakannya. Betapa ternyata hidup tak sebagaimana mestinya. Ya, jika memang ada kategori sebagaimana semestinya...


Seorang kakek tua yang selalu kulihat ditepi jalan raya tampak melihat dunia dengan kedua matanya, nanar. Ada setumpuk kepedihan yang membayang disana. Namun, ia telah kebas. Kesedihan mungkin hanya sebatas luka yang mesti dihadapinya setiap hari hingga berakhirnya usia. Disampingnya sebuah sepeda tua dan beberapa sisir pisang di dalam kotak kayu sengaja dijajakan kakek tua itu. Entah ia lupa atau bodoh, bahwa dunia yang sekarang; hiruk-pikuk volume kendaraan yang bertambah tiap harinya, sekian juta polusi udara membumbung ke angkasa, hilir mudik para pekerja yang tak lagi mengenal kepentingan bersama, telah berubah. Dunia yang sekarang tidak begitu suka makan pisang. Pisang menandakan status sosial, menandakan derajat suatu kaum. Pisang berarti tidak kaya walau bergizi tinggi. Apalagi pisang yang dijajakan kakek tua yang miskin itu. Pisang yang dijajakannya tak memiliki merek dan kualitas dari badan kelayakan makanan yang berlaku di negeri ini.

Tidak, kakek tua. Pisangmu tak akan lagi laku ketika zaman yang mesti kaulalui setiap hari dalam kesenduan lebih memilih buah-buahan yang jauh memiliki merek dan derajat yang lebih tinggi. Sementara itu pisang-pisangmu tak kunjung habis dibeli orang dan mereka membusuk, memilih mati cepat ketimbang direndahkan oleh zaman yang tak lagi mengenal kesejahteraan sebagai tujuan bersama. Kau masih duduk di tepi jalan hingga mentari menguap disebelah barat. Mungkinkah ada seseorang yang masih menunggumu pulang saat senja hari? Istrimu mungkin? Anak-anak bahkan cucu yang belum kau beri makan? Dan suara perutmu mulai bergemuruh riuh rendah, kau bersiap menuntun sepeda dan sekilas menatap kotak yang terus terbuka diboncengan belakang. Kaki-tangan liatmu tak seperti dulu saat kau muda. Kini kau telah kehilangan usia dan dunia tetap tak peduli dengan sosokmu yang tiap hari duduk ditepi jalan raya. Sekedar menjual harapan pun kau tak dilirik para pembeli.

Kesedihanmu mungkin hanya sebait dibandingkan prosa yang terus mengudara ditangan para pembesar negeri yang selalu mengincar harta dan kuasa…

Selasa, 15 November 2011

Melaju Kereta, Pergi


Banyak orang yang cuma bisa mengasihi diri sendiri dan tidak dapat menerima pandangan berbeda orang lain. Dari apa yang dirasakannya, ia merasa adalah orang yang paling sengsara dan menderita dibandingkan siapapun. Terlebih ia memperparahnya dengan berlagak seperti santa dihadapan orang lain. Ia lupa, hidup setiap orang dijalankan berdasarkan pilihan-pilihan yang bisa jadi potensi konflik karena tidak seperti apa yang dipikirkannya. Betapa memuakkannya melihatmu diposisi seberang sana yang melambai-lambai seolah tenggelam oleh kepedihan karena “salah”-ku.

Rasanya ingin berlari kencang, kalau bisa sekalian terbang. Atau mungkin hilang ingatan lebih baik?? Apa saja tak masalah yang penting semua rasa yang ada disini terlupakan, kalau boleh untuk selama-lamanya. Peduli setan dengan mereka yang pura-pura peduli padaku. Tak usah kasih perhatian berlebih dan seolah-olah sakit hatinya jika aku lemah sedikit saja. Urusanku adalah urusanku.

Kau tak perlu turut campur. Pikirmu kau siapa, hah? Aku muak menganggap diriku salah sementara kau terlihat oleh mereka sebagai yang mengalah. Kau tidak tahu bagaimana rasanya saat orang-orang menganggap aku mempermainkan dirimu sedemikian rupa. Kau dengan raut wajahmu yang memelas setiap kali kita berselisih paham, membuat mereka semakin menyudutkanku. Aku tidak tahu diri, egois dan besar kepala. Tak tahu diuntung! Jahanam!
Mereka memang tak bicara langsung padaku pun mencerna hingga hina dina diriku. Namun, akan kuberitahu sebuah rahasia perempuan padamu. Kami adalah makhluk yang peka terhadap sekeliling. Kami punya perasaan yang kuat terhadap suatu hal.

Irasional!

Ah, itu kan yang selalu ada dipikiranmu, dibatok kepalamu yang isinya tak lebih banyak daripada punyaku. Kau memang sok intelek, padahal melankolis juga. Kau itu sebenarnya lemah dibalik kelaminmu yang dapat tegak panjang. Aku tahu kau diam-diam menangis saat aku bilang hendak memutuskan hubungan denganmu.

Kau semakin membuatku tersudut dan merasa bersalah luar biasa terhadapmu. Padahal aku tak salah apa-apa. Semua ini hanya permasalahan cocok atau tidak cocok satu dengan yang lain. Aku tak merasa nyaman bersamamu. Kau tidak menanggapi perkataan pun pemikiranku. Kau biarkan aku bicara sendiri tanpa berusaha mendebatnya. Kau sungguh sok pintar dengan diammu itu. Alasanmu hanya karena tak ingin menyakiti hatiku kalau sampai kau ikut mendebatku. Kau pikir aku tak tahu? Salah besar!!

Ting! Tong!

“Kereta tujuan Bogor yang akan berangkat lebih dahulu adalah kereta ekonomi biasa. Kereta ekonomi AC tujuan Bogor baru berangkat dari stasiun  Pangeran Jayakarta.”

Keretaku masih lama.

“Tempo, Media, Warta seribu. Kompasnya dua ribu,” celoteh penjaja Koran disekitaran stasiun siang ini.
Aku melirik sekilas ke arah mereka yang berkoar-koar menjajakan koran. Aku ingin baca koran. Sudah lama tak tahu kabar mengenai negeri ini. Tapi ah, aku pasti tak akan serius membaca. Bagaimana bisa membaca dengan tenang jika perasaanku tak karuan begini. Ingin marah tapi tak kuasa di saat begini, apalagi sendirian di stasiun yang ramai orang seperti sekarang.

Sungguh memuakkan! Mau marah saja mesti kutahan kuat-kuat. Aku hanya mampu mengatupkan rahang kuat-kuat hingga sakit persendian mulutku. Sungguh, aku ingin teriak kencang bagai orang kesetanan. Kalau perlu sampai kejang-kejang biar iblis yang bersemayam dalam diriku terpuaskan birahinya.

Ting! Tong!

“Sebentar lagi di jalur satu kereta ekonomi tujuan Bogor akan melintas stasiun Tebet. Di mohon para penumpang bersiap karena kereta yang akan masuk hanya terdiri dari empat gerbong.”

Suara petugas kereta dari mikrofon diiringi gerakan tergesa oleh sebagian besar penumpang. Banyak diantara mereka yang saling mendorong satu sama lain, hendak tak ingin kehilangan kesempatan naik kereta yang lebih dulu.

“Huuuu, gerbong pendek!” runtuk seorang bapak tua dengan beberapa kardus bawaannya.”Ayo, ayo, pasti ramai nih!”

Jelas akan ramai sekali kereta ekonomi biasa. Untungnya aku membeli tiket kereta ekonomi AC. Aku hanya berharap keretaku nanti tak begitu penuh sehingga aku masih kebagian jatah duduk. Setelah itu akan kupasang mp3, medengarkan lagu-lagu favorit sambil memandangi pemandangan diluar dan disepanjang perjalanan menuju Bogor. Rasanya pasti menyenangkan dan damai. Aku membayangkan diriku berada ditengah-tengah kebun jambu biji dengan buah-buah yang hampir ranum dan berbau manis. Ingin kupetik satu diantaranya dan memakannya dengan lahap. Ah, pasti menyenangkan sekali.

Ting! Tong!

“Kereta ekonomi AC telah tersedia di stasiun Manggarai. Penumpang ekonomi AC Bogor harap bersiap-siap. Hati-hati dengan barang bawaan anda.”

Kusampirkan ke depan tas bututku yang selalu setia menemaniku sejak masih sekolah dasar. Aku berdiri menanti kereta tiba. Udara begini  cerah sungguh indah. Sangat sayang jika aku gundah gulana sekarang ini. Sudahlah, aku tak ingin memikirkanmu lagi. Aku tak ingin membebani pikiranku mengenaimu.

Grrr..grrr…grrr…

Telepon genggamku bergetar. Kuambil dari saku celana. Sebuah pesan pendek darimu rupanya. Aku menghela napas panjang. 

Aku sayang kamu. Hati-hati dijalan

Cepat-cepat kuhapus pesanmu. Tak mengertikah kau kita telah putus??!! Aku telah mengakhiri hubunganku denganmu. Kau memang baik. Namun aku tak sayang padamu. Tak merasa cocok denganmu. Kubilang waktu itu saat kita terakhir bertemu bahwa aku tak dapat menyayangimu, mencintaimu karena aku tak ingin bersama dengan siapa pun saat ini. Sesederhana itu. Tapi kau tak mengerti dan memintaku menjabarkan apa yang kurang darimu untuk dapat kau perbaiki. Bukan itu maksudku. Kau cukup menjadi dirimu sendiri, begitu pun aku. Aku hanya tak ingin mencintai siapa pun saat ini. Lagipula hadirnya cinta tak dapat diminta dan disengaja. Kau pun tetap tak terima penjelasanku.

Apa peduliku kini? Aku sudah menganggap selesai hubungan kita. Keretaku tiba. Aku akan belajar melupakanmu mulai saat ini.

Bagaimana jika ternyata kau adalah jodoh yang dimaksudkan Tuhan untuk melengkapi hidupku?

Aku tersenyum kecut. Biarlah kalau memang ternyata begitu. Biarkan menjadi urusan Tuhan. Aku tak ingin tahu mengenai itu sekarang, sementara kereta telah terlihat diujung sebelah selatan. Selamat tinggal.

(September 2010)

Sabtu, 05 November 2011

Debu Kata Usang


Semilir angin berhembus pelan. Menyapu kilauan pekat yang tergambar jelas diwajahku bagai sebuah lukisan penuh debu dan hampir usang. Perlahan panasnya matahari siang ini digantikan oleh sejuknya hembusan angin di bawah pohon rindang yang mungkin sudah berusia puluhan tahun. Aku selalu menyukai tempat ini. Gedung megah yang menjulang dihadapanku, walau tampak sangat hebat dengan keagungan arsitekturnya, bagiku sangat kuno. Sangat membosankan sebenarnya. Hanya puluhan ruang yang dibangun dengan mengabaikan pentingnya konsep keruangan tanpa pintu dan jendela yang jelas pada perkembangan arsitektur sebelum era sekarang ini. Hanya kumpulan kaca yang mencoba menggantikan fungsi pintu dan jendela serta mengaburkan realitas ruang yang sarat perhitungan matematik logis. Pola hitungan yang dipakai dalam penggunakan kaca pada bangunan ini adalah ingin mengembalikan konsep keruangan pada aspek alam sehingga jika kau lemparkan pandanganmu ke segala arah , maka yang kau dapati pun hanya setumpuk batu yang menyusun bangunan ini dan disangga dengan banyak kaca di mana kau dapat melihat langsung apa yang terjadi diluar sana tanpa perlu beranjak dari tepatmu berada di dalamnya.
Melihat bangunan ini selalu mengingatkanku dengan suasana perpustakaan di Eropa pada zaman pertengahan saat gereja yang memiliki peran penting dalam hampir segala aspek kehidupan masyarakat dimana arsitektur yang berlaku zaman itu pun menggambarkan betapa suramnya hidup tanpa keindahan, tanpa seni, tanpa keberagaman. Semuanya hampir serupa. Semuanya mengusung kesatuan yang semu sama seperti apa yang didengungkan oleh pihak gereja. Kira-kira begitulah gambaran umum mengenai bangunan megah dibelakangku yang entah mengapa begitu kusukai walau bentuknya sangat membosankan. Betapa tidak membosankan, bangunan ini memang bagus luar biasa tapi ia memiliki kekurangan yang sangat janggal mengingat kita tidak lagi hidup di zaman pertengahan, melainkan zaman dimana yang berbeda dapat mulai menampakkan diri dan menyatakan kediriannya-zaman dimana demokrasi menjadi mantra semua dapat hadir dan dihargai hak-haknya. Bangunan ini  kurang warna. Tidak, bahkan tidak diwarnai sama sekali. Kelabu saja. Betapa membosankan. Begitu kontras dengan apa yang hadir disekitarnya; sebuah danau berarus tenang berwarna kehijauan, berbagai pepohonan yang tumbuh dan memancarkan kilau pesona warna hijau yang mengagumkan, jalan setapak yang dilalui banyak orang lengkap dengan berbagai ekspresi yang tak kalah memberikan nuansa ceria, tiga taman yang sedang dibangun dan mulai menampakkan rona alam dan sejumput canda mereka yang bermain disana. Bangunan kelabu ini menyiratkan tempat beristirahat dengan tenang walau dunia berputar tak pernah sabaran.
Tidak, bangunan ini adalah sebuah mahakarya. Suatu usaha menghadirkan masa lampau ke zaman yang penuh hiruk-pikuk dan keberagaman. Ia adalah penegasan dari demokrasi yang tampil sebagai ruang kosong dan cair dimana siapa saja, apa saja dapat hadir tanpa perlu takut berbeda dengan tetangganya.
Kembali kurenungi pikiran-pikiran liarku sambil tetap mencoba menikmati suasana pengap dan panas siang ini. Siapa kiranya manusia di dunia yang tak pernah berpikir sekejab pun? Adakah yang memiliki kehendak untuk tidak berpikir sejenak dan permohonannya dikabulkan oleh Tuhan? Ya, mereka yang sudah mati tidak lagi berpikir dan permohonannya pun menguap seiring hasrat yang tak lagi dipunyainya sebagai makhluk yang hidup dan bernapas. Karena jiwa tak lagi ada, entah kemana…
Jika ada surga, aku ingin surgaku bentuknya seperti tempat ini. Banyak pepohonan dan terdapat danau ditengahnya untuk kupandangi sepanjang hari. Aku bersedia duduk disampingnya, disebuah fondasi batu bata yang sengaja dibuat mirip agora. Akan kulantunkan sajak khas para pecinta di sore hari dimana kicauan burung menjadi orchestra yang mengiringi penjiwaanku saat menyampaikan sebaris kata. Akan kusampaikan dengan lantang pada Tuhan dan malaikat di surga bahwa aku telah bahagia. 



Semua tentu terjadi dalam kepalaku saat seseorang datang menghampiri dan langsung mengambil tempat tepat disebelahku. Ia membuyarkan khayalanku tentang nirwana. Seseorang yang tersenyum kearahku dan aku hanya menatapnya sambil lalu. Melihat air yang terangkum di danau lebih menarik perhatianku ketimbang kedatangannya.
“Mari kita bicarakan tentangmu.”
Aku menoleh ke arahnya. Ia terlihat sedikit pucat, cemas. “Kenapa? Memangnya ada apa?”
“Kau berbeda.”
“Semua orang berbeda, bahkan dirimu sendiri pun berbeda dengan dirimu yang kemarin. Kita semua terjebak dalam risalah menjadi-becoming”, jawabku sambil mengerling padanya. Ia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu. Ya, ia tahu benar aku sedang risau dan ia cemas karenanya.
Ia terdiam dan menatap lurus ke depan. Aku menatapnya dan tersenyum kecut. Sekelumit pikiran liar memang tengah mengganggu diriku. Sebagian sisanya karena dirinya. Dirimu maksudku…
“Ya, semua orang berbeda dan menjadi dalam jejak kehidupan mereka. Dan itu masalah. Namun aku ingin mengetahui masalahmu.”
“Bukan sesuatu yang besar dan pantas diceritakan. Aku baik-baik saja.”
Bagaimana mungkin menceritakan apa yang bergumul dan berkoalisi menjadi kanker dalam pikiranku jika kau salah satu sebab kanker itu mengerak dalam batok kepalaku? Ini hanya sebuah lelucon. Percakapan ini suatu kesia-siaan. Aku tetap harus berjarak denganmu karena masalah ini. Bukan karena kau berbahaya, menurutku, melainkan karena tak mungkin bagiku berbagi kecemasan mengenai dirimu sendiri.
“Setidaknya bercerita dapat membantu meringankan bebanmu”, ujarnya.
Aku menatapnya lekat. Gurat wajahnya tampak sedikit kelabu. Ia seperti bangunan yang tepat berdiri dibelakangku. Kau sedang sakit namun kau memutuskan untuk pergi kesini dan menemuiku? Mengapa? “Kau masih sakit kan? Untuk apa menemuiku? Kau kan bisa bilang kalau kau masih sakit dan kita masih dapat berjumpa kali lain saat kau sembuh nanti.”
“Ah, kita sedang tidak membahas tentang sakitku. Lagipula aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dapat bertemu denganmu. Tidak setiap hari kita berjumpa dan aku tidak ingin kehilangan kesempatan itu walau aku sakit.”
“Jangan begitu. Aku merasa bersalah atasmu karena saat sakit pun kau mau menemuiku.”
Ia terdiam sesaat untuk mengambil napas. Tubuh besarnya terlihat kelelahan. “Jangan merasa bersalah. Ini pilihanku untuk bertemu denganmu. Lagipula melihatmu selama sekian menit membuatku segar sekali”, katamu sambil tersenyum.
“Ha..ha..ha…” Aku tersipu mendengar ucapannya dan tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Kau memang penipu. Pernah kukatakan jangan lagi merayuku tapi kau tetap melakukannya.
“Kau terlihat sangat cantik saat tertawa. Wajahmu begitu hidup. Tetaplah seperti itu.” Tiba-tiba ia berkata demikian padaku. Aku berhenti tertawa dan menatapnya, ia masih tersenyum. Entah mengapa seketika aku merasa sedih. Air mataku hendak jatuh tapi kutahan ia baik-baik. Tidak, aku tidak boleh katakan apapun padanya. Jangan cerita apa-apa.
Banyak hal hadir lagi dalam batok kepalaku. Kata seseorang, hal paling sulit yang mesti dihadapi manusia adalah dirinya sendiri. Ya, dirinya sendiri dan bukan orang lain. Kita mengalami banyak hal dalam hidup, sadar pun tak sadar. Segala perbuatan bersumber dari pembentukan diri sebelumnya. Semua perasaan; marah, kecewa, bahagia, gembira, sedih dan lainnya merupakan bumbu yang menjadikan hidup berwarna dan berbeda satu dengan lainnya. Menerima perbedaan selalu menjadi hal yang sulit karena hasrat yang juga dimiliki manusia membuatnya enggan menerima perbedaan yang tak dikehendaki olehnya. Perbedaan adalah liyan, sesuatu yang tak dikenal. Sesuatu yang tak dikenal merupakan wilayah di mana ketidakpastian menjadi jebakan yang agak menyakitkan bagi siapa saja yang menginginkan kepastian.
Pelajaran yang paling sulit dalam memahami diri sendiri adalah menerima bahwa dirimu tidak sepenuhnya seperti apa yang kau pikirkan; baik seutuhnya. Saat kau berhadapan dengan orang lain dan kau bertindak menyakitinya, kau berpikir ulang bahwa ternyata kau bukanlah orang baik. Kau bukan orang baik sama sekali. Kau hanya seseorang yang dapat bertindak baik sekaligus buruk. Dan itulah aku.
Ya, baru-baru ini aku menyadari bahwa diriku adalah seseorang yang jahat dan egois. Kupikir selama ini aku adalah orang yang penuh pertimbangan dan selalu berhati-hati. kukendalikan semua hal yang mungkin dihadapan orang lain agar aku tampak sebagai si baik bahkan si bijak. Namun, bertemu dengannya dan seorang lainnya dalam masa hidupku kini menunjukkan siapa diriku yang selama ini tidak kusadari. Atau setidaknya enggan kuakui. Aku adalah si jahat karena egois dan selalu menang, sementara yang lain rela mengalah demi kemauanku. Betapa hal ini tidak menyesakkanmu saat kau tahu bahwa aku hanyalah seorang dungu yang sok pintar, seorang serakah yang sok dermawan, seorang gegabah yang sok bijak, dan seorang pecundang yang sok pemberani. Dia yang ada di sampingku kini adalah salah satu korban yang telah kubuat sakit tetapi tetap ingin berada di dekatku.
Aku menatapmu sekilas dan kembali kupekuri air yang berwarna kehijauan di danau. Ada banyak kata yang mengganjal dalam benakku dan tersangkut dibibirku. Aku selalu haru bersamamu. Kutahan air mataku karena aku tak ingin kau berpikir aku selalu sedih. Kulayangkan pandanganku kesekeliling tempat ini untuk mengalihkanku menatap kedua matamu yang cemas melihatku. Aku ingin kuat dihadapanmu, walau setiap usahaku selalu luruh saat kau menatapku dengan sorot matamu yang menyiratkan ketulusan.
Aku menghadirkan metafora padamu untuk menjelaskan apa masalahku. Banyak kata yang tak berharga kusampaikan padamu. Namun, satu hal yang tak kusampaikan padamu: “Aku menyayangimu”

Selasa, 01 November 2011

Ode Suatu Senja




Kadang kau mengabu dan aku kehabisan sumbu untuk menyulut bara dalam sejumput asa. Kadang kau membekas dan aku menghapusnya sesak karena sukma menjelma kabut. Aku menggenggam rona agar kusimpan jadi milikku saja dan kau takkan pernah menemukannya. Ada begitu banyak kubangan yang mesti kau lalui untuk sampai ke sahara. Aku masih menghirup senja, masih mengurung makna, membual kata kosong dan dijajakan saat para pengelana mulai berziarah ke padang penuh ilalang. Aku abui kau dan hempaskan seiring angin berhembus dan tak ada lagi jejak, ataupun luka…

Duhai durjana, perihal apa yang kau letakkan padaku dan menjadikannya sejumput kesedihan baru? Dalam risalahmu kebenaran patut hadir dan merayakan apa yang disebut bahagia. Tapi tak pernah ada yang benar dalam caraku memandang surga dan cinta. Tak ada apa-apa tentang pelangi dan nirwana yang disinggahi para kekasih. Semua hanya rona. Semua hanya ilusi. Semua hanya basa-basi…

Pekatnya malam mengaburkan kesedihan. Air mata bukan lagi pertanda kegundahan. Hanya suatu hempasan emosi yang biasa saja. Tetapi aku lain, wahai arjuna. Air mata ku berharga melebihi emas permata. Kusimpan ia untuk kuhujankan pada yang terkasih yang belum juga kunjung datang. Segenggam manisan buah memenuhi mulutmu, membasahi bibirmu yang bulat mungil. Aku mendamba sebuah singgasana di mana di dalamnya aku menemukan dia. Namun ia kini sudah mengabu, meninggalkan rona pada awan yang berarak banyak. Ada kisah yang mesti diakhiri. ada kitab lain yang mesti diisi. Tapi dengan apa?...

Jika sampai waktuku mencinta seorang biasa. Kutahu aku akan bahagia sekaligus menderita. Jika tuan, dapat jabarkan cinta lewat kata dan kiranya menyentuh hati dan pikiran saya, maka sudilah tuan menjadi sang bijak yang menunjukkan kebenaran. Karena saya hanya rumput liar yang belum sudi dipangkas maupun diklasifikasikan ke dalam jenis apapun. Aku hanya ingin begini, tetap seperti ini. Tak ingin ditemukan. Setidaknya tunjukkan aku dulu bagaimana caramu akan memperlakukanku…


Rabu, 28 September 2011

Tuhan(tu)


Masa depan adalah perihal paling misterius yang terjadi dalam kehidupan manusia. Aku pernah menulis suatu telaah singkat mengenai budaya industri yang kemudian banyak diagungkan oleh masyarat modern sebagai Tuhan baru. Telaah ini berdasarkan atas kunjunganku ke salah satu pameran seni rupa kontemporer bertajuk ”Second God”. Tuhan yang imanen perlahan-lahan tergantikan oleh Tuhan elektronik maupun Tuhan yang berlabel paling mahal dalam produk budaya massal. Tulisan mengenai itu kuberi judul, “Tuhan(tu) dalam Second God”. Kata Tuhan kuselipkan (tu) karena jika kau baca cepat maka akan berbunyi tuhantuhantuhantu… suatu ironi tersendiri yang rupanya saling kait mengait antara kata “tuhan” dan “hantu”. Suatu permainan kata yang entah disadari atau tidak dalam bahasa Indonesia sebagai pembalikan makna dan kata dimana keduanya bisa dipertukarkan. 


Sama seperti hidup, kata “tuhan” pun “hantu” bagiku hanyalah masalah perspektif. Hidup pun juga demikian. Selalu ada kategori baik dan buruk, baik dan jahat, untung dan rugi, senang dan sedih, naik dan turun, serta masih banyak hal lain yang kiranya dapat didaftarkan dalam antagonisme kata. Bagaimana pun semuanya adalah masalah perspektif. Namun, apapun perspektif tersebut akan selalu bermuara pada percabangan yang saling bertentangan satu sama lain yang disebut antagonis. 


Kadang saat kau sedang tekun dalam pencapaian pada Legenda Pribadimu, kau terjungkal ke dalam sebuah jurang yang dalam. Kau terluka lumayan parah. Rasa sakitnya membuatmu urung melanjutkan perjalananmu atau pembangunanmu menggapai yang kau impikan dan harapkan. Bagiku disaat itulah dua kata itu -tuhan dan hantu- tampil  sebagai metafora yang kugunakan untuk memenangkan salah satunya dan mempengaruhi bagaimana caramu melihat hidup selanjutnya, mempengaruhi bagaimana caramu menuliskan Legenda Pribadimu sampai pada kesimpulan akhir. Akankah kau menangkan Tuhan saat jatuh tersungkur dan menderita luka-luka yang bahkan mungkin tak akan sembuh lagi atau kau memenangkan hantu sebagai satu-satunya alasan terbesar kau mundur dari pencapaian Legenda Pribadimu? Semua jawab ada padamu…

Saat memilih memenangkan hantu sebagai jawaban, kau menyesali banyak hal yang telah terjadi padamu. Berjuta tegangan volt perasaan bersalah mengalirimu dan membuatmu menangis mengenai apa yang tak bisa kau capai atas tujuan yang kau tetapkan sebelumnya. Sementara saat kau memenangkan Tuhan, kau mensyukuri banyak hal walaupun kau terjatuh dan hampir mati. Setidaknya kau belajar banyak hal baru dan pengetahuanmu bertambah dibandingkan dengan mereka yang memilih memenangkan hantu.


Aku tak hendak membuatmu memilih tuhan pun menjatuhkan hantu. Sebelumnya pernah kubilang bahwa apa yang kau lihat pada hidupmu sendiri dan hidup sekitarmu adalah permasalahan perspektif. Apapun yang kau pilih untuk dimenangkan, putusanmu memperngaruhi caramu melihat kehidupan secara menyeluruh. Satu keputusanmu akan memperngaruhi keputusanmu yang lain di masa depan.


Tuhantuhantuhantuhan… aku hanya tahu bahwa perjalananku kadang menuntunku menuju jurang ketimbang bukit dengan sebatang pohon oak di atasnya. Namun, aku yakin kali ini aku tak akan apa-apa saat jurang yang ternyata ada dihadapanku. Setidaknya aku akan selalu belajar sesuatu baik mengenai tuhan maupun hantu.

Malchizedek si Raja Salem


Aku selalu tahu ada yang tak kuat dalam diriku untuk menghidupkan imajinasi. Gambaranku tak tegas, bahkan bergelombang. Gelap dan pekat. Bahkan sering kali berubah-ubah. Bagaikan mencoba membangun istana dari salju. Gagal adalah nama bayanganku yang selama ini kuhindari untuk diberi nama. Aku tahu aku akan goyah, suatu saat nanti.


Namun aku bertemu Malchizedek, raja Salem. Ia menunjukkan padaku lewat seorang bocah gembala mengenai makna hidup. Ya, aku mendengarkan obrolan mereka pada suatu senja dan tergelitik. Perasaan hening menjalari dan memaksaku untuk mengusap luka yang menanah pada tubuh pun jiwaku. Suatu kisah diceritakan Malchizedek mengenai Legenda Pribadi, suatu mitos kanak-kanak yang justru itulah menjadikan manusia hidup dan bermakna. 


Aku bertemu anugerah dan berkesempatan mendengarkan sabda Tuhan dari menguping perbincangan mereka. Aku melihat cahaya diatas tubuh manusia dan kutahu Tuhan sedang tersenyum mengetahui perbuatanku yang mengintip serta menguping pembicaraan orang yang tak kukenal. Aku meringis menghadapi senyuman Tuhan, layaknya seorang bocah yang ketahuan telah membuat piring kesayangan ibunya pecah berderai. Biar begitu, aku tahu Tuhan bersamaku dan si tua Malchizedek mengedipkan sebelah mata sayunya padaku pertanda ia tak berkeberatan.


Tercenung, aku tahu apa yang pernah ingin kulukiskan dalam kanvas hidupku. Apa yang ingin kubangun di atas sebidang tanah milikku sewaktu aku masih begitu muda. Ada banyak hasrat yang ingin kugapai dan kucapai bintang gemintang. Seperti seorang kawan pernah berseloroh bahwa tiada mimpi yang tak berharga walau sekecil apapun. Semua mimpi indah selama ia diyakini. Ya, ada maket yang ingin kubuat nyata dengan membangunnya sendiri dari setiap bata dan gumpalan semen yang kuoleskan untuk mendirikan dinding. Kupancangkan tiang, kututupi dengan atap dan akhirnya kubangun sebuah istana dimana segala imajinasi dan mimpiku berubah dan berkembang menghasilkan kebahagiaan seluas aku hidup dan tak ada habis-habisnya. 


Perjalanku ibarat menaiki sebuah kereta super cepat dimana aku berada di dalam salah satu gerbong. Aku tahu aku akan selalu siap menikmati setiap perjalanan yang tersaji dihadapanku. Kulihat sekelilingku saat kereta melaju lurus ke depan. Aku menikmati mereguk banyak pemandangan untuk kukumpulkan menjadi  kisah baru perjalananku menuju stasiun pemberhentian terakhir yang kumaksud. Dan aku bahagia, dengan seronok kutahu hasratku mengenai hidup tak akan mati, dan akan bergelora kembali. Ya, aku hidup. Sekali lagi aku hidup walau realitas berusaha mematisurikanku ke dalam lumbung yang kadang penuh kesenangan maupun kesedihan baru. 


Seperti seorang anak yang bertanya dengan si bijak tua mengenai apa itu menjadi bahagia. Si bijak tua hanya menyuruhnya berkeliling istana sambil memegang sebuah sendok berisi minyak. Yang pertama dilakukan si anak, ia berkeliling istana namun hanya berfokus pada sendok berisi minyak agar minyak yang dibawanya tak tumpah. Bukan, itu bukan bahagia. Yang kedua dilakukan si anak, ia membawa kembali sendok berisi minyak dan berkeliling istana menikmati semua pemandangan yang ada namun minyak yang ada ditangannya tumpah. Bukan, itu bukan bahagia. Si bijak hanya tersenyum dan berkata bahwa bahagia adalah menggenggam sendok berisi minyak tersebut agar tidak tumpah, namun tetap menikmati berbagai pemandangan yang tersaji disekelilingnya. 


Perhatikan alam dan kau akan tahu bahwa Tuhan telah meninggalkan padamu jejak-jejak yang dapat kau ikuti untuk mencapai Legenda Pribadimu. Legenda Pribadimu adalah bagian dari jiwa alam, dimana saat kau menginginkannya untuk menjadi kenyataan, maka semesta akan mendukungmu untuk mewujudkannya. 


Tuhan masih mengamatiku dan telah menunjukkan padaku untuk tidak menyerah. Aku tahu aku akan apa pada sisa hidupku. Aku akan menulis mengenai Legenda Pribadiku..


Terima kasih hidup untuk terus mengaliriku dengan berjuta keindahan tiada terperi. Terima kasih hidup untuk berbagai perasaan yang membuatku belajar lebih kuat. Terima kasih hidup untuk banyak jalan yang tersaji dan aku mesti belajar lagi mencari jejak bagai seorang pramuka pemula yang mencari jalan keluar. Terima kasih hidup atas banyak warna yang ditunjukkan padaku. Terima kasih hidup atas pemulihan dari berbagai makna yang sempat hilang dariku. Terima kasih Tuhan atas hidup yang demikian membangkitkan rasa syukur. Terima kasih…

Kamis, 08 September 2011

Tengah Jalan Bukan Jalan Tengah


Ada suatu perumpamaan menarik yang dilontarkan adikku mengenai pilihan dalam hidup. Ya, pilihan-pilihan yang tersaji dalam hidup menjadi pijakan bagi manusia untuk melangkah ke depan, suatu wilayah baru dalam kehidupan yang mesti dijalani dengan kualitas ruang dan waktu yang juga baru lengkap dengan segala variabelnya.

Pada salah satu dialog yang kulakukan dengannya, ia berkata,”Tak mungkin kita terus berada di jalan tengah, menjadi orang tengah yang punya posisi netral. Pada akhirnya kita mesti memilih sesuatu entah apa pun.” Ya, aku paham perihal itu sejak dulu.”Ibarat sebuah jalan, kita sebagai pejalan kaki mesti memilih hendak berada dijalur mana, kanan atau kiri. Kita tak mungkin memilih berada di tengah jalan karena pasti resiko yang dihadapi lebih besar-tertabrak kendaraan. Jadi, pilihan kita baik berada dijalur kiri atau kanan merupakan jalan selamat yang sebenarnya memiliki resiko lebih sedikit ketimbang berusaha menjadi pihak netral yang berada di tengah jalan.”

Aku tersenyum yang lambat laun diiringi dengan tawa. Yayayaya … tentu saja ia benar. Analogi yang ia berikan membuka kesadaranku betapa pentingnya memilih dalam hal apapun. Seberapa enggan kau untuk memilih untuk berpihak di antara satu, paling tidak gunakan pilihanmu untuk menggugurkannya agar pilhan yang kau punya tidak sia-sia begitu saja. Memilih menegasikan pilihan lain yang tersedia dengan segala kemungkinan resiko pun keuntungannya.

Hidup seperti sebuah laju arus kendaraan yang hanya dapat berhenti sejenak saat bertemu dengan lampu lalu lintas. Berhenti di tengah jalan berarti mati dan kita hilang eksistensi. Membiarkan banyak hal menuntun tanpa pernah kita benar-benar memilih juga mengabaikan pilihan dan kehendak bebas yang kita punya, walau apa yang disebut kehendak bebas ini masih absurd. Namun, dalam sebuah lintasan jalan raya, tidak semuanya memiliki kendaraan untuk melaju dengan cepat dan nyaman. Ada beragam jenis kendaraan yang hadir pun para pejalan kaki ikut terhitung di dalamnya. Demi apa kiranya kita bertaruh pada jalanan yang tak pernah lengang? Bertaruh pada hidup yang tak pernah berhenti dari alur waktu yang terus mendesak ke depan? Demi suatu tujuan. Tujuan yang bisa jadi beragam bagi masing-masing kita.

Setiap pilihan, seperti kataku tadi, selalu mengandaikan resiko masing-masing. Ada yang hilang saat pilihan satu diambil dan membuang yang lain. Aku hanya perlu mempersiapkan diriku untuk menerimanya. Bagaimana pun dari sini aku tahu aku akan mendapatkan banyak pelajaran berharga yang membuatku lebih mengenal diri sendiri .

Posisi netral saat aku memilih jalan tengah pada tengah jalan, mengabaikan fakta lain bahwa aku sebenarnya adalah pelaku. Aku terlibat di dalamnya. Posisi netral hanya menampik bahwa aku punya pilihan yang harus kupilih.

Aku takut. Aku masih takut dengan banyak hal. namun, setidaknya  ketakutan itu harus kuhadapi salah satunya. Aku harus tahu, seperti apakah diriku dengan pilihan yang kupunya dan telah kupilih. Entah itu akan membuatku maju ataupun semakin menyesali yang lalu, nyatanya aku akan belajar hal baru. Itu yang terpenting kiranya. Kanan maupun kiri bukan hal besar, pilih saja yang aku yakini paling benar. Toh, ini hal biasa yang mesti dihadapi manusia.

Adikku tersenyum sumringah karena penyadarannya terhadap jalan tengah tidak hanya menyentakku, melainkan juga dirinya.

Senin, 05 September 2011

Antagonisme Pikiran


Mencoba mengingkari diri itu sia-sia. Aku ingin menjadi si bijak dan berpikir lebih tenang. Namun diriku tidak sekedar digerakkan oleh pikiran rasionalku, melainkan juga oleh kehendak; entah itu hasrat pun egoku, sadar pun tidak sadar. Bahkan lebih seringnya aku bertindak tanpa kompromi dulu dengan rasio yang kuharap dapat menjadi filter saat aku tak kuasa menahan diri dan membendung emosi-emosiku. Tetapi bagaimanapun aku hanyalah darah dan daging serta mungkin ruh yang menjadikanku hidup dan bergerak. Mungkin juga ada Tuhan di dalamnya. Aku tak dapat memastikan. Hal yang dapat kupastikan adalah di antara darah dan daging itu ada ruang kosong yang kadang gelap kadang bersinar, kuanggap sebagai tempat Tuhan merasukiku.

Seringnya aku diam dan cuek dengan segala hal. Hanya pikiran saja yang ribut di dalam otak. Bergemuruh. Sedang ada perang troya atau bahkan mahabarata berlangsung di sana. Mereka beristirahat ketika aku tidur saja. Ya, setelah kupikir ulang mungkin selamanya aku akan berperang dengan diriku sendiri sebelum berperang dengan orang lain. Berperang bagiku tidak berarti mesti mengalahkan yang lain. Menang adalah tujuan yang selalu diinginkan saat kita berperang. Menang berarti berkuasa terhadap yang lainnya. Menang berarti menyingkirkan yang lain. Tetapi yang seringnya kita lupa adalah konsekuensi lain dari peperangan; kalah. Tak ada kiranya orang yang ingin kalah dalam menghadapi pertempuran apapun. Untuk mereka yang agak sabar, kekalahan dianggap sebagai kemenangan yang tertunda. Akan ada saat di mana mereka yang kalah akan bangkit dan menang. Mungkin saja benar. Bagi mereka yang tak sabaran, kalah meninggalkan dendam yang mesti dituntaskan segera dan bahkan lebih kejam.

 Kubilang hidup itu kan berperang. Peperangan abadi adanya buka di luar sana, misalnya antara kelompok massa Islam fundamentalis dengan liberal pun ahmadiyah, atau antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi pasar bebas. Tentu kita bisa mendata sejumlah peperangan yang terjadi di luar sana. Data-data yang coba kita kumpulkan pun mungkin tidak akan pernah selesai karena begitu banyaknya. Peperangan sesungguhnya terjadi dan abadi sifatnya ada di dalam diri sendiri. Banyak suara bergemuruh dan berisik yang membikin pening. Di dalam kepalaku kadang ada yang iseng berteriak,”Allahu Akbar”, “Bangsat”, “Mampus lo”, dan berjuta sumpah serapah dengan model dan jenis yang beragam. Kadang ada pula di tengah peperangan ada suara yang sok menenangkan, seolah-olah pada suatu peperangan dahsyat, ia duduk manis di tengah medan. Sosoknya kakek-kakek tua berjanggut panjang putih duduk bersila sambil mata terpejam bersuara pelan,”Astagfirullah, hentika semua ini. Ini dosa. Jangan kau berlaku kasar dan berbuat baiklah dengan sesama”. Tipe suara seperti ini rasa-rasanya ingin segera dimatikan saja supaya tidak menggangu jalannya peperangan. Solusinya sudah usang. Si kakek tua mesti mengakhiri hidupnya sendiri kalau tidak ingin diakhiri oleh massa suara yang marah dan panas.

Bagaimanapun suara-suara di dalam kepala ada banyak sekali dan cukup sulit diindentifikasi. Mereka hadir tak terduga dan kadang langsung membentuk koalisi sendiri untuk ikut dipihak mana dalam peperangan. Semua hal di dalam diriku berperang. Kadang menyenangkan, seringkali menyusahkan saat aku butuh putusan segera untuk memilih sesuatu.

Kalau tidak dapat dibilang berperang, ya dapat dibilang sedang berdebat. Seperti agora-suatu parlemen rakyat pada masa Yunani dulu. Para negarawan sibuk mengemukakan pandangannya. Berjubah putih, berkepala botak-entah pikiranku langsung membayangkan mereka bertampang layaknya Plato, Aristoteles, pun bahkan Cicero walau tak hidup sezaman dengan dua pendahulunya. Mereka sibuk beretorika macam-macam. Ada yang masuk akal pandangannya. Namun ada pula yang ngaco bin sesat sekali. Lagi-lagi ada yang liyan dalam perdebatan di antara para orang-orang bijak ini. Diam-diam hadir Aristophanes, si badut yang duduk dipojokan mendengarkan sambil senyum-senyum sendiri. Barangkali di dalam batok kepalanya sedang asyik memikirkan segala kekurangan  dari tiap argumen para ahli ini untuk dijadikan bahan lelucon atau bahkan sebuah komedi. Ya, bagi Aristophanes komedi merupakan media kualitas kedua yang mampu menghibur para awam untuk merayakan kebodohan para cendekiawan. Komedi mampu membuka diri terlebih lagi menusuk logika siapapun untuk ikut hanyut di dalamnya. Komedi barangkali menjadi suatu terminal pemberhentian manusia dari segala keagungannya yang berusaha untuk memenangkan peperangan apapun dalam hidupnya, karena ternyata hidup tak dapat selesai begitu saja hanya dengan memenangkan suatu peperangan pun perdebatan mengenai sesuatu. Hidup sekedar penuh dengan banyak pandangan dan pilihan, tetapi kita tak pernah punya cukup alasan untuk menyingkirkan siapapun atau apapun atas nama kebenaran tunggal. Semua punya rasionalitasnya sendiri, tetapi tak semua mau menerima bahwa kebenaran itu jamak hakekatnya.

Sabtu, 03 September 2011

Membaca Film


Kadang aku begitu terhanyut dalam sebuah alur. Dalam setiap peran yang bergulir aku merasakan sesuatu. Bisa jadi berbeda dan aku juga ikut di dalamnya. Tanpa sadar menempatkan diriku dalam kumparan imajinasi sebagai pemeran utama yang memiliki lebih banyak gaya dan pesona. Bersanding dengan pemeran lainnya yang juga menarik hati dan mata. 

Ada si protagonis, perannya sangat menderita dan sial luar biasa. Si antagonis pada awalnya berlagak jumawa namun kemudian menjadi tersingkir begitu saja. Alasan sederhana, karena ini kisah bahagia. Setiap kisah bahagia mesti berakhir gembira, si jahat mesti kalah untuk selama-lamanya.

Tahukah kau apa yang kita lihat saat menyaksikan sebuah alur dalam film? Suatu kesempurnaan yang hampir paripurna. Dalam limit waktu yang ditetapkan untuk segera diakhiri, kita menikmati dan berpuas hati, pada akhirnya kebahagiaanlah yang menampakkan diri. Segala duka lara pergi karena kini hanya tinggal cinta dan kebaikan yang menaungi. 

Dalam sebuah film kita juga dapat melihat semesta beserta isinya. Setiap peran menampakkan dirinya dihadapan kita yang menyaksikannya, tetapi tidak bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Jangan salahkan si jahat atau kasihani si baik karena perbuatan yang mereka ambil untuk tetap melanjutkan hidup. Karena kita adalah Tuhan yang tahu segalanya saat menyaksikan sebuah film. 

Kita menikmati keseluruhan proses dari awal hingga akhir dan mengerti  bahwa semuanya tak lain merupakan hukum sebab akibat mengapa alur yang kita saksikan menjadi demikian. Kita menjustifikasi banyak peran yang tidak kita sukai karena bersikap demikian. Perasaan geram kadang melatarbelakangi perasaan kecewa kita karena rupanya si penulis naskah menuliskannya jauh dari apa yang kita harapkan akan terjadi dengan  mereka yang ada di dalam film. Kita ingin cerita tidak berjalan seperti ini, mungkin simpati atau bahkan empati tehadap tokoh tertentu menempatkan kita mesti berjibaku untuk menyelamatkan tokoh tertentu.

Egoiskah?

Tidak. Ini adalah perihal diri manusia yang berbeda. Semua perasaan yang mengembang ke permukaan sesungguhnya merupakan cerminan diri kita. Suatu perasaan yang tidak lagi dapat direpresi dan ini membebaskan. Membebaskan kita mengenal diri sendiri. Setiap rasa tak dapat disalahkan pun tak dapat diingkari. Namun ia dapat direfleksikan, ditelaah kembali..

Aku menikmati sebuah film hari ini dan terhanyut dengan alur yang sajikannya. Sempat terbit perasaan kesal dan sedih, seolah aku saja lah yang lebih baik menjadi pemeran utamanya agar salah seorang tokoh yang kusukai tak begitu mendapatkan nasib sial dan merasa pedih. Kemudian aku menertawakan diriku sendiri, menyadari kebodohanku yang disepakati oleh imajinasiku sendiri. Aku hanya menikmati film dan terhanyut sesaat dengan alurnya. 

Aku tahu semua hal yang terjadi dalam film tersebut karena aku tak terlibat di dalamnya. Aku dapat menjustifikasi beberapa tokoh karena kutahu motif mereka. Namun, aku belajar lagi hari ini dari apa yang kuharapkan. Mungkin lebih baik begitu saja, tidak tahu dan tidak mungkin mengetahui semua hal jika kita adalah pemeran utama dari setiap film yang kita mainkan dalam kehidupan nyata. Selalu ada yang tercecer dan tak ada yang memungutnya kecuali mereka yang menyaksikan kita dari sebuah layar besar. Kita hanya dapat menikmati film tanpa tahu mesti berbuat apa untuk mengubahnya.