Semilir angin berhembus pelan.
Menyapu kilauan pekat yang tergambar jelas diwajahku bagai sebuah lukisan penuh
debu dan hampir usang. Perlahan panasnya matahari siang ini digantikan oleh
sejuknya hembusan angin di bawah pohon rindang yang mungkin sudah berusia
puluhan tahun. Aku selalu menyukai tempat ini. Gedung megah yang menjulang
dihadapanku, walau tampak sangat hebat dengan keagungan arsitekturnya, bagiku
sangat kuno. Sangat membosankan sebenarnya. Hanya puluhan ruang yang dibangun
dengan mengabaikan pentingnya konsep keruangan tanpa pintu dan jendela yang
jelas pada perkembangan arsitektur sebelum era sekarang ini. Hanya kumpulan
kaca yang mencoba menggantikan fungsi pintu dan jendela serta mengaburkan
realitas ruang yang sarat perhitungan matematik logis. Pola hitungan yang
dipakai dalam penggunakan kaca pada bangunan ini adalah ingin mengembalikan
konsep keruangan pada aspek alam sehingga jika kau lemparkan pandanganmu ke
segala arah , maka yang kau dapati pun hanya setumpuk batu yang menyusun
bangunan ini dan disangga dengan banyak kaca di mana kau dapat melihat langsung
apa yang terjadi diluar sana tanpa perlu beranjak dari tepatmu berada di
dalamnya.
Melihat bangunan ini selalu
mengingatkanku dengan suasana perpustakaan di Eropa pada zaman pertengahan saat
gereja yang memiliki peran penting dalam hampir segala aspek kehidupan
masyarakat dimana arsitektur yang berlaku zaman itu pun menggambarkan betapa
suramnya hidup tanpa keindahan, tanpa seni, tanpa keberagaman. Semuanya hampir
serupa. Semuanya mengusung kesatuan yang semu sama seperti apa yang
didengungkan oleh pihak gereja. Kira-kira begitulah gambaran umum mengenai
bangunan megah dibelakangku yang entah mengapa begitu kusukai walau bentuknya
sangat membosankan. Betapa tidak membosankan, bangunan ini memang bagus luar
biasa tapi ia memiliki kekurangan yang sangat janggal mengingat kita tidak lagi
hidup di zaman pertengahan, melainkan zaman dimana yang berbeda dapat mulai
menampakkan diri dan menyatakan kediriannya-zaman dimana demokrasi menjadi mantra
semua dapat hadir dan dihargai hak-haknya. Bangunan ini kurang warna. Tidak, bahkan tidak diwarnai
sama sekali. Kelabu saja. Betapa membosankan. Begitu kontras dengan apa yang
hadir disekitarnya; sebuah danau berarus tenang berwarna kehijauan, berbagai
pepohonan yang tumbuh dan memancarkan kilau pesona warna hijau yang
mengagumkan, jalan setapak yang dilalui banyak orang lengkap dengan berbagai
ekspresi yang tak kalah memberikan nuansa ceria, tiga taman yang sedang
dibangun dan mulai menampakkan rona alam dan sejumput canda mereka yang bermain
disana. Bangunan kelabu ini menyiratkan tempat beristirahat dengan tenang walau
dunia berputar tak pernah sabaran.
Tidak, bangunan ini adalah sebuah
mahakarya. Suatu usaha menghadirkan masa lampau ke zaman yang penuh hiruk-pikuk
dan keberagaman. Ia adalah penegasan dari demokrasi yang tampil sebagai ruang
kosong dan cair dimana siapa saja, apa saja dapat hadir tanpa perlu takut
berbeda dengan tetangganya.
Kembali kurenungi pikiran-pikiran
liarku sambil tetap mencoba menikmati suasana pengap dan panas siang ini. Siapa
kiranya manusia di dunia yang tak pernah berpikir sekejab pun? Adakah yang
memiliki kehendak untuk tidak berpikir sejenak dan permohonannya dikabulkan
oleh Tuhan? Ya, mereka yang sudah mati tidak lagi berpikir dan permohonannya
pun menguap seiring hasrat yang tak lagi dipunyainya sebagai makhluk yang hidup
dan bernapas. Karena jiwa tak lagi ada, entah kemana…
Jika ada surga, aku ingin surgaku
bentuknya seperti tempat ini. Banyak pepohonan dan terdapat danau ditengahnya
untuk kupandangi sepanjang hari. Aku bersedia duduk disampingnya, disebuah
fondasi batu bata yang sengaja dibuat mirip agora. Akan kulantunkan sajak khas
para pecinta di sore hari dimana kicauan burung menjadi orchestra yang
mengiringi penjiwaanku saat menyampaikan sebaris kata. Akan kusampaikan dengan
lantang pada Tuhan dan malaikat di surga bahwa aku telah bahagia.
Semua tentu terjadi dalam kepalaku
saat seseorang datang menghampiri dan langsung mengambil tempat tepat
disebelahku. Ia membuyarkan khayalanku tentang nirwana. Seseorang yang
tersenyum kearahku dan aku hanya menatapnya sambil lalu. Melihat air yang
terangkum di danau lebih menarik perhatianku ketimbang kedatangannya.
“Mari kita bicarakan tentangmu.”
Aku menoleh ke arahnya. Ia terlihat
sedikit pucat, cemas. “Kenapa? Memangnya ada apa?”
“Kau berbeda.”
“Semua orang berbeda, bahkan dirimu
sendiri pun berbeda dengan dirimu yang kemarin. Kita semua terjebak dalam
risalah menjadi-becoming”, jawabku
sambil mengerling padanya. Ia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu. Ya, ia
tahu benar aku sedang risau dan ia cemas karenanya.
Ia terdiam dan menatap lurus ke
depan. Aku menatapnya dan tersenyum kecut. Sekelumit pikiran liar memang tengah
mengganggu diriku. Sebagian sisanya karena dirinya. Dirimu maksudku…
“Ya, semua orang berbeda dan menjadi
dalam jejak kehidupan mereka. Dan itu masalah. Namun aku ingin mengetahui
masalahmu.”
“Bukan sesuatu yang besar dan pantas
diceritakan. Aku baik-baik saja.”
Bagaimana mungkin menceritakan apa yang
bergumul dan berkoalisi menjadi kanker dalam pikiranku jika kau salah satu
sebab kanker itu mengerak dalam batok kepalaku? Ini hanya sebuah lelucon. Percakapan
ini suatu kesia-siaan. Aku tetap harus berjarak denganmu karena masalah ini.
Bukan karena kau berbahaya, menurutku, melainkan karena tak mungkin bagiku
berbagi kecemasan mengenai dirimu sendiri.
“Setidaknya bercerita dapat membantu
meringankan bebanmu”, ujarnya.
Aku menatapnya lekat. Gurat wajahnya
tampak sedikit kelabu. Ia seperti bangunan yang tepat berdiri dibelakangku. Kau
sedang sakit namun kau memutuskan untuk pergi kesini dan menemuiku? Mengapa?
“Kau masih sakit kan? Untuk apa menemuiku? Kau kan bisa bilang kalau kau masih
sakit dan kita masih dapat berjumpa kali lain saat kau sembuh nanti.”
“Ah, kita sedang tidak membahas
tentang sakitku. Lagipula aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dapat
bertemu denganmu. Tidak setiap hari kita berjumpa dan aku tidak ingin
kehilangan kesempatan itu walau aku sakit.”
“Jangan begitu. Aku merasa bersalah
atasmu karena saat sakit pun kau mau menemuiku.”
Ia terdiam sesaat untuk mengambil
napas. Tubuh besarnya terlihat kelelahan. “Jangan merasa bersalah. Ini
pilihanku untuk bertemu denganmu. Lagipula melihatmu selama sekian menit
membuatku segar sekali”, katamu sambil tersenyum.
“Ha..ha..ha…” Aku tersipu mendengar
ucapannya dan tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Kau
memang penipu. Pernah kukatakan jangan lagi merayuku tapi kau tetap
melakukannya.
“Kau terlihat sangat cantik saat tertawa.
Wajahmu begitu hidup. Tetaplah seperti itu.” Tiba-tiba ia berkata demikian
padaku. Aku berhenti tertawa dan menatapnya, ia masih tersenyum. Entah mengapa
seketika aku merasa sedih. Air mataku hendak jatuh tapi kutahan ia baik-baik.
Tidak, aku tidak boleh katakan apapun padanya. Jangan cerita apa-apa.
Banyak hal hadir lagi dalam batok
kepalaku. Kata seseorang, hal paling sulit yang mesti dihadapi manusia adalah
dirinya sendiri. Ya, dirinya sendiri dan bukan orang lain. Kita mengalami
banyak hal dalam hidup, sadar pun tak sadar. Segala perbuatan bersumber dari
pembentukan diri sebelumnya. Semua perasaan; marah, kecewa, bahagia, gembira,
sedih dan lainnya merupakan bumbu yang menjadikan hidup berwarna dan berbeda
satu dengan lainnya. Menerima perbedaan selalu menjadi hal yang sulit karena
hasrat yang juga dimiliki manusia membuatnya enggan menerima perbedaan yang tak
dikehendaki olehnya. Perbedaan adalah liyan, sesuatu yang tak dikenal. Sesuatu
yang tak dikenal merupakan wilayah di mana ketidakpastian menjadi jebakan yang
agak menyakitkan bagi siapa saja yang menginginkan kepastian.
Pelajaran yang paling sulit dalam
memahami diri sendiri adalah menerima bahwa dirimu tidak sepenuhnya seperti apa
yang kau pikirkan; baik seutuhnya. Saat kau berhadapan dengan orang lain dan
kau bertindak menyakitinya, kau berpikir ulang bahwa ternyata kau bukanlah
orang baik. Kau bukan orang baik sama sekali. Kau hanya seseorang yang dapat
bertindak baik sekaligus buruk. Dan itulah aku.
Ya, baru-baru ini aku menyadari bahwa
diriku adalah seseorang yang jahat dan egois. Kupikir selama ini aku adalah
orang yang penuh pertimbangan dan selalu berhati-hati. kukendalikan semua hal
yang mungkin dihadapan orang lain agar aku tampak sebagai si baik bahkan si
bijak. Namun, bertemu dengannya dan seorang lainnya dalam masa hidupku kini
menunjukkan siapa diriku yang selama ini tidak kusadari. Atau setidaknya enggan
kuakui. Aku adalah si jahat karena egois dan selalu menang, sementara yang lain
rela mengalah demi kemauanku. Betapa hal ini tidak menyesakkanmu saat kau tahu
bahwa aku hanyalah seorang dungu yang sok pintar, seorang serakah yang sok
dermawan, seorang gegabah yang sok bijak, dan seorang pecundang yang sok
pemberani. Dia yang ada di sampingku kini adalah salah satu korban yang telah
kubuat sakit tetapi tetap ingin berada di dekatku.
Aku menatapmu sekilas dan kembali kupekuri
air yang berwarna kehijauan di danau. Ada banyak kata yang mengganjal dalam
benakku dan tersangkut dibibirku. Aku selalu haru bersamamu. Kutahan air mataku
karena aku tak ingin kau berpikir aku selalu sedih. Kulayangkan pandanganku
kesekeliling tempat ini untuk mengalihkanku menatap kedua matamu yang cemas
melihatku. Aku ingin kuat dihadapanmu, walau setiap usahaku selalu luruh saat
kau menatapku dengan sorot matamu yang menyiratkan ketulusan.
Aku menghadirkan metafora padamu
untuk menjelaskan apa masalahku. Banyak kata yang tak berharga kusampaikan
padamu. Namun, satu hal yang tak kusampaikan padamu: “Aku menyayangimu”