Jumat, 19 Desember 2014

Kamala, Sembuhlah!



"Kamala, kamala, kamala..."

Suara itu bergema. Seolah datang dari ketidaksadaran yang berada entah dimana. Lirih dan berulang, tapi juga agak mendesak. Sepanjang langkahku malam itu, suara itu menerus mengikuti, tak mau pergi juga.

"Kamala, kamala, kamala, sembuhlah..."

Hatiku kelu. Sakitnya sekujur tubuh. Ngilu bagai teriris sembilu. Semua karenamu yang berhati batu. Kau tak paham juga pengarai diri sendiri yang telah kukatakan dengan seluruh bahasa yang kuketahui. Kau asyik sendiri mengulum mimpi. Mengabaikan aku yang katanya kau cintai. 

Kau biarkan aku sepi dan teronggok sendiri. Kutelantarkan mimpi sendiri demi khayali mimpi-mimpi kita yang telah dirajut bersama. Tapi kau lupa berusaha untuk kita. Aku mengayuh sendiri, kau seruput bahagia dari sana. Aku mengombak sendiri, kau tak mau dengar keluhku.

"Sembuhlah, Kemala. Kemala, sembuhlah..."

Begitu dalam kuberikan mimpiku padamu. Kau acak sendiri dan gunakan semaumu. Kusandarkan diriku agar tak lagi berlayar, aku ingin melabuh padamu saja. Kau biarkan aku usaha sendiri. Kau nikmat sendiri. Kuberikan kau bahagia, kau berikan aku nestapa. 

Kutinggalkan engkau, kau tunjuk aku bersalah. Aku bersamanya, kau sebut aku sundal. Aku lepaskan ia, kau biarkan aku kembali sendirian. 

"Kemala, kemala, kemala, sembuhlah... Sembuhlah, Sayang."

Suara itu menggema entah dari mana. Aku susuri taman penuh bebungaan. Angin menyapa diam-diam. Semilir harum menjenguk indra penciumanku. Meski malam telah turun, hatiku masih berdarah-darah. Aku hilang gairah. Kau adalah bangsat yang tak mau mengerti bahasa jiwa.

"Kemala, kemala, kemala, sembuhlah. Sembuhlah, Sayang. Sembuhlah, Sayang. Kemala, Sayang."

Bulir itu keluar juga. Air mataku menitik. Sakitku kau tak peduli. Bagaimana mungkin aku mencintai batu yang tak berusaha memperlakukanku sama seperti aku memperlakukannya? Bagaimana mungkin aku masih terus berharap kau berubah dan mau berusaha untukku? Bagaimana mungkin kubiarkan diriku kalah dengan semua harapan palsu itu. Kau tak jua mau tahu. Kau adalah doa yang kuharap Tuhan tak kabulkan lagi harapan palsuku.

Demi Tuhan, Kau berjiwa batu. Aku ngilu hingga ke ulu. Kau tetap jadi batu. Hatimu sedemikian busuk untuk dapat kuobati lagi dengan keikhlasanku. Kau menyia-nyiakannya. Aku sakit hati.

"Kemala, kemala, kemala, Sayangku. Sayangku, sembuhlah..."

Malam semakin larut. Langkahku boyah. Hatiku kelu dan dingin. Tak lagi kudengar suara selain suara itu. Suara yang entah dari mana, suara yang memintaku sembuh. Lamat-lamat suara itu makin berisik. Ia teguh memintaku agar lekas sembuh. Sakit apa aku? Mengapa harus sembuh? Sakit apa aku? Mengapa kau begitu berisik?

"Kemala..."

Aku memejam entah dimana. Kesadaranku memudar. Kau mengabur, abu...

***

"Kamala atau Kemala atau Lotus atau Teratai adalah bunga yang cantik. Ia hidup sendiri di tengah koloni air tawar yang tak sejenis dengannya. Ia mampu beradaptasi dengan itu semua dan tampil cantik lagi anggun. Kau tahu, ada satu Kamala yang begitu aku suka."

"Apa itu?" Tanyaku.

"Kamala berwarna ungu. Ia jarang tumbuh. Kamala lain jamak berwarna merah muda. Yang ungu ini hidup sendiri. Selalu tumbuh satu saja."

Aku tersenyum.

"Tapi diantara semuanya aku akhirnya menemukan Kamala ungu yang jarang itu."

Kupandangi kau, bingung akan maksudmu. 

"Aku temukan kau, Kemala. Akhirnya aku temukan Kamala-ku. Sembuhlah, Sayang. Sembuhlah, Kamala."

Kau yang muncul tak dinyana jiwa. Sakitku kau yang sembuhkan, bukan dia. Kau yang berhati lapang, terjang semua sekat demi bebaskanku tumbuh seumpama kamala ungu. Katamu, jika hayat sesuatu yang renta, mengepaklah...


Selasa, 02 Desember 2014

Cahaya Mata


Bahagia itu terlihat di mata. Bagaimanapun mata jendela dunia. Ia adalah letupan kembang api perasaanmu. Gundah, letih, sedih, gembira, marah, hingga bahagia tergambar disana. Juga cinta...

Matamu serupa parade yang menggambarkan suasana hati. Bola mata hitam pada mata elang itu terlihat cemerlang saat kau bahagia. Seolah akan keluar tetesan air mata dari sana. Seumpama sungai, jernih airnya hendak meluap tapi tak sampai. Hidungmu kembang kempis menahan curahan rasa bahagia yang tergambar dari kedua matamu yang biasa saja. Tetapi dengan mantra ajaib cinta, hatimu yang keras serupa batu melunak. Hatimu panas dan penuh jadi satu. Meluapkan rona yang naik ke kerongkongan, buat tercekat dan hendak mengeluarkan air mata; haru. Kau hanya bisa membayang dalam kata-kata yang tak terucap perihal apa yang disebut bahagia.

Aku tahu kau tak pernah merasa demikian, bukan? Mungkin pernah. Beberapa kali yang tak lagi kau ingat kapan waktunya. Tapi perasaan yang begini memabukkan, kau baru rasakan dengan khidmat, kan? 

Hanya kedua matamu yang menggantikan peran kata yang tak pernah sanggup keluar dari bibirmu. Matamu penuh percikan api. Ia menyiarkan festival dimana bahagia jadi sajian utamanya. 

Matamu tak pernah salah. Ia selalu jujur. Meski kau berikhtiar sekuat tenaga menyembunyikannya lewat senyum. Tapi aku selalu tahu, senyummu palsu. Tak seperti matamu yang berkata-kata jernih meski tanpa suara. 

Kau menyimpan lara dan duka untuk sendiri. Ibarat si putri malu, kau mengatup saat kusentuh dengan hal selain cinta. Kau mengeras dan bersikeras menutup meski kuminta kau kembali membuka daunmu. Sementara jika kusentuh kau dengan cinta, kau akan terus berkembang, mengajakku bermain buka-tutup hati dan kau senang bukan kepalang. 

"Bahagia itu bisa tersenyum," kataku suatu kali padamu saat kita berbincang tentang banyak hal. Tentang semesta yang tengah kita bangun dari kepingan realitas yang berserak acak. Seringkali kepingannya tak pas dengan apa yang kita harapkan. 

Kau diam, setuju padaku. Sebab kau mengalaminya langsung, bahagia itu. Lewat senyum kau bisa merasakannya. Kau mencumbui bahagia rasa sempurna dengan bumbu sederhana. Kau menatapku dan binar matamu kembali meletup-letup dalam kuluman senyum. 

Mata juga dapat memancarkan senyum. Pertanda ia mengamini semesta bahagia. Sebuah mantra ajaib yang kutiupkan pada kita berdua hingga senyum ini tak juga mau usai. 

"Aku tak dapat berhenti tersenyum. Bagaimana ini?" Tanyamu suatu kali saat kita tengah menggelar mimpi di depan sana pada suatu malam.

Aku tak menjawabmu. Kubiarkan diriku turut larut dalam senyum sempurnaku. Kau mabuk, aku pun mabuk. Kita sama-sama tak ingin mengakhirinya. Pun tak tahu bagaimana cara menghentikan kucuran rasa bahagia ini. Satu hal yang kutahu, semua senyum dan parade kembang api dimata kita adalah perasaan paling jujur dari apa yang kita rasakan saat ini; Cinta.

Dalam gempita rasa bahagia yang begitu sederhana kuperkenalkan kau apa arti rumah. Kita membikin rumah bagi satu sama lain. Fondasi bahagia jadi jaminannya selain perasaan cinta yang tak pernah habis. Kita mesti membikin rumah, sebab aku tahu jauh dalam dirimu kau lelah berkelana dari perasaan sepimu. Sebab sepi dan sendiri hampir melekat denganmu yang bermata elang. Meski seringkali merasa damai dalam sendirimu, kau kadang merindukan rumah. Aku ingin menjadi rumah itu.

Kuingat, aku punya persyaratan mutlak yang mesti kau penuhi jika kau ingin terus mencicipi bahagia dimana matamu seumpama ribuan kembang api yang mengangsa saat malam tahun baru dan tak usainya bibirmu menyunggingkan senyum terus berlangsung. Kau hanya perlu buatku tenang, buatku nyaman, dan buatku percaya. Agar aku dapat merebahkan diriku dan kuberikan bahagia itu hanya untukmu. 

Suatu kali kupeluk kau erat, bersandar mesra di dada bidangmu. "Tolong jaga hatiku," pesanku padamu suatu malam lewat. 

Kau balas memelukku erat, mengecup pucuk kepalaku. Aku merasa haru sekaligus tenang. Aku bertaruh kau akan menjagaku apapun yang terjadi. Karena bahagiamu ada padaku. Akulah peniup serbuk sari bahagia itu.

***

Kita tak pernah dapat menebak masa yang terbentang di depan sana. Meski kita berjibaku setiap menit untuk merangkai nasib sendiri dan menyulam bahagia dengan saling beradaptasi perangai satu sama lain. Tapi Tuhan selalu punya jalan sendiri menunjukkan kuasa-Nya. Kita terjebak di sana. 

Rumah yang kita bangun pelan-pelan diterjang ombak. Kita berpisah jalan. Sakitnya luar biasa bagimu. Sekarat kondisimu, sementara aku dirudung sembilu setiap waktu. Bahagia kita retak. Tapi kupikir Tuhan hendak menguji rumah kita, menguji atap bahagia. Apakah kita tetap bertahan ataukah bercerai mimpi. 

"Kau begitu tega padaku. Kau berkhianat. Caramu sampah." 

Kau pecah dalam amarah, kecewa, dan berdarah-darah. Perasaan bahagiamu yang ternyata seumpama gelembung sabun pecah berurai-serak. Aku memang salah karena rapuh. Aku berkhianat, ya. Aku sampah. Aku bukan sampah.

"Kau juga punya andil disana. Kau mengabaikan permintaanku saat kubilang tolong jaga hatiku. Kau menganggapku seumpama mainan yang bisa kau singkirkan saat kau bosan atau kembali saat kau butuhkan. Komunikasimu buruk. Aku selalu yang mesti meminta terlebih dahulu padamu. Sakitku akumulatif. Kau tak kunjung peka."

Kau dan aku sama-sama hancur. Kita mati suri dalam luka sendiri-sendiri.

***

Hancurnya rumah yang kita bangun dari keping sekeping mimpi seharusnya menjadi alasan kuat bahwa mungkin kita tak bisa bersama. Kita tak mungkin bahagia lagi. Kita tak direstui Tuhan bersama dalam bahagia. 

Tapi munafik bagiku jika terus menyandarkan alasan dengan membawa nama Tuhan untuk alasan yang tak kumengerti. Aku berlebihan. Ya, aku memang salah karena rapuh hingga cintaku yang penuh utuh padamu terbagi kepada orang lain. Akulah yang bisa kau tunjuk-tunjuk untuk kau persalahkan terus menerus sepanjang hayatmu. Akulah yang bisa kau rendahkan sedemikian rupa bagai sampah atas apa yang tak pernah kuminta sebelumnya; jatuh cinta lagi. Akulah yang akan jadi alasanmu untuk kau berlaku jumawa di atas kita. Aku si peniup serbuk sari bahagia ini dihadapanmu kini hanya seonggok bangkai. 

***

Siapa yang bisa menebak mekanisme cinta setelahnya? Kata seorang bijak, cinta adalah penawar sekaligus racun. Keduanya jadi satu. Ia dua sisi mata pisau yang bisa menjadi pelindung pun penghancur. Cinta adalah kasih atau benci. Cinta adalah elan vital kehidupan manusia.

Kau mengaduh sakit padaku saat aku hampir kalah dan hendak menghapusmu dalam imaji hidupku. Aku mencintaimu, aku masih sangat mencintaimu. Kau pun demikian. Kita sama-sama merindukan bahagia rasa sederhana itu. 

"Aku berusaha untuk menghapusmu dalam hidupku. Aku berusaha membencimu. Aku berusaha tersenyum dan bangkit," katamu." Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa menghapusmu dalam hidupku. Aku tak bisa membencimu. Aku tak bisa tersenyum dan terpuruk. Aku tak bisa bahagia."

Air mataku tumpah. Perasaanku penuh. Hatiku dilanda badai hebat. 

"Aku tak bisa bahagia tanpamu."

Kita pun pada akhirnya kembali membangun rumah dari serpihan badai hebat yang kini menjelma kanker. Semuanya melekat dan tak bisa hilang. Tetapi kau berbesar hati menerimaku lagi karena cinta.

Pupuk itu pada awalnya kita sebar banyak-banyak. Semua bagian yang bolong kita coba perbaiki bersama. Meski aku selalu tahu dalam lubuk hati masing-masing, kita ragu hubungan ini akan langgeng. Kita akan mampu menggapai bahagia lagi. Kau masih begitu sakit atas apa yang kulakukan. Aku juga masih ragu kau akan memperbaiki sifatmu dan menerimaku utuh. Kita simpan sekam dalam diam. Kita pelihara ranjau yang siap sedia meledak jika salah injak. 

Tetapi bahagia itu tak dinyana masih mampu hadir ditengah hubungan penuh ancaman itu. Bahagia itu masih dengan rasa yang sama. Binar matamu kembali menyala dan pelan-pelan kutiupkan kembali mantra sisa yang kupunya agar kau kembali tersenyum.

***

Salah seorang kawanku di Yogya pernah berkata, cinta pantas diuji hingga 33 kali. "Bagai hitungan biji tasbih sebelum kalian melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Setiap masalah adalah biji tasbih yang mesti dirapal. Jika kalian bisa merapalnya meski susah payah, itu bagus."

Kupikir badai pertama yang meluluh-lantakkan rumah kita adalah hitungan biji tasbih pertama. Kita bangkit bersama untuk melanjutkan merapal biji tasbih kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya meski terseok-seok menjalaninya. Tapi bayangan bahagia yang hendak kita bangun selalu menjadi cambuk agar tak lantas berhenti berusaha. 

Rupanya hidup punya kejutannya sendiri. Aku bertemu muka dengan biji tasbih kedua, tapi mungkin bagimu ini tak masuk hitungan untuk hubungan kita. 

Seseorang dari masa lalumu yang pernah kau sangat cinta membawa kabar mencengangkan. Aku bukan marah atas apa yang terjadi padanya, melainkan karena kau masih sayang padanya. Kau rela mengorbankan banyak hal untuknya meski hanya terbersit dalam pikiranmu. Aku yakin kau masih menyimpan asa padanya. Kau masih mencintainya juga meski kau berkilah tidak.

Kau tak berusaha keras meyakinkanku jika memang semua prasangkaku salah. Aku murka, kau menjauh. Kau melarikan diri dari rasa marahku. Tak kau padamkan apiku, justru kau biarkan saja. Aku terbakar sendiri. Kau kemana kan janjimu dulu untuk membuatku bahagia dan membuatku tenang? Kau memilih bersama dengan orang dari masa lalumu, membantunya sekuat tenagamu. Sementara kau biarkan aku menghidu hingga sakit sendiri. 

Tahukah kau, saat seperti ini yang sering datang dalam hubungan kita membuatku selalu teringat kembali dengan ia yang kucinta juga. Ia yang kau benci karena merebutku dan bahagiamu. Ia yang mengambil kepingan hatiku sebelah. Ia selalu menggantikan tempatmu saat kau semestinya bertanggung jawab pada hubungan kita. Ia menjadi tempat aku mencurahkan segala rupa beban hatiku. Karena kau tak mau mendengarkanku dan memilih melarikan diri. Sementara ia selalu sedia menyediakan hati untukku mengaduh sakit.

Aku berpikir selesai dengan hubungan kita. Kau diam dalam jenak tak berusaha meyakinkanku. Kau relakan hubungan kita selesai. Padahal janji kita dulu di taman itu adalah untuk saling berusaha untuk hubungan ini. Tetapi kau biasa saja saat aku bilang kita selesai. Aku masih begitu terluka atas sikapmu yang demikian rela membiarkan hubungan kita selesai. Aku mengujimu dan kau mengabulkan permintaanku begitu saja. 

"Ya sudah kalau kau ingin selesai. Aku harus komentar apa," begitu katamu padaku, dingin.

Lagi-lagi mesti aku yang menghamba padamu agar kita membicarakan ini empat mata. Aku ingin kita bertemu dan menuntaskannya sampai akhir. Meski pada akhirnya kata "kita selesai" tak jadi hadir, aku hanya tahu kau mulai berubah. Kau perlahan meninggalkan rumah itu dengan jalinan komunikasi kita yang tak sebebas dan selepas dulu. Aku merasa banyak hal yang kau sembunyikan padaku. Kau mengabaikanku setapak demi setapak. Aku mulai redup dalam mencapai bahagia bersamamu. 

Ya, aku mengeluarkan kata "kita selesai" lagi. Kau lagi-lagi biasa saja. Kau menerimanya. Mungkin memang kau sudah muak denganku. Kau ingin berkelana lagi dan sendiri dalam urusan hidupmu. Dalam keangkuhanmu kau selalu rela melepaskanku. Mungkin memang kita tak lagi semarak menuju bahagia yang sebelumnya kita pancangkan tinggi-tinggi untuk diraih. 

Hampir sebulan kita tak lagi bersama. Kini kau mengaduh lagi. Kau bilang sakit karena mencintaiku. Aku juga sakit mencintaimu. Aku tak tahu, apakah bahagiamu masih sama? Apakah ini masuk hitungan biji tasbih kita?

Sore itu kita bersitatap sekian detik. Kau tersenyum. Tetapi kutahu itu semua palsu. Matamu kehilangan redup. Tak ada kehidupan di sana. Tandus dan kemarau. 

Haruskah selalu aku yang mesti menyapamu untuk kita berbincang bersama? Haruskah aku yang memintamu kembali padaku? Haruskah aku yang mengobatimu terlebih dahulu? Lantas kau berbuat apa padaku? Luka kita sama meski kau menganggap lukamu lebih dalam dan menganga.

Cahaya matamu mati suri. Tak ada gemericik api lagi disana. Mata tak pernah salah, meski senyummu berusaha mengelabuinya. Kita akan kembali karena cinta atau selesai karena cinta pula. Tapi bahagia adalah selalu bisa tersenyum. Tak hanya dibibir, melainkan juga tampak dimata.

Pangkalan Jati, 23 Januari 2014

Jumat, 14 November 2014

Peran Ulama Santri dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia




Buku : Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949

Penulis : Zainul Milal Bizawie

Penerbit : Pustaka Compass, Tangerang, xxxii + 420 hal

 

 

Versi lain sebuah rekonstruksi sejarah menegakkan kemerdekaan di bumi Indonesia. Buku pertama dari trilogi sejarah Mata Rantai Ulama-Santri dalam kiprahnya melawan penjajah. Ditulis oleh Zainul Milal Bizawie yang tumbuh kembang dalam tradisi NU. Sebuah sejarah yang tak lekang kepentingan.

 

 

Buku-buku sejarah yang kadung terbit mengenai Indonesia hampir tak pernah membahas secara komprehensif peran ulama-santri. Yang banyak dijumpai biasanya soal peran raja atau tokoh penting dalam suatu kerajaan pun organisasi. Sementara peran tokoh agama, hampir pasti tak disinggung di dalamnya.

 

Padahal, dalam buku-buku seperti Babad Tanah Jawi hingga telaah antropologis Clifford Geertz, secara implisit pun eksplisit memaparkan kehidupan masyarakat Jawa khususnya yang tak lekang pengaruh tokoh agama. Dalam perang melawan VOC di tanah Jawa yang diinisiasi oleh dua kerajaan besar Islam – Mataram dan Banten – dibaliknya ada jejak ulama yang memberikan pendapat kepada raja pun turun langsung ke medan laga.

 

Bahkan, paska perang Pangeran Diponegoro, perlawan terhadap penjajah bergeser ke pesantren hingga membangun jaringan ulama-santri dan antar pesantren. Setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro adalah para ulama-santri yang meneruskan perjuangannya. Sebut saja Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta'ad Cirebon, Kyai Hasan Besyari Tegalsari Ponorogo dan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan serta lainnya. Mereka ini menjadi simpul-simpul yang membentuk jejaring ulama di Nusantara hingga menjadi benteng utama perjuangan menegakkan Indonesia. Nahdatul Ulama (NU) menjadi jam'iyah terbesar di Nusantara.

 

Tak pelak saat dicetuskan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, jejaring ulama santri ini massif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya pengobar semangar ulama-santri, Resolusi Jihad juga menyasar pemerintah agar tegas dalam menentukan sikap mempertahankan kedaulatan NKRI.

 

Batas akhir Resolusi Jihad yang diserukan adalah ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui Belanda. Peristiwa ini terjadi pada 19 Desember 1949 saat berlangsung Konferensi Meja Bundar. Sebab tujuan resolusi jihad tersebut adalah diakuinya kedaulatan dan teguhnya RI.

 

Buku setebal 240 hal ini boleh disebut sebagai upaya Milal yang besar dalam tradisi NU untuk menghadirkan yang tercecer dalam kisah sejarah perjuangan Indonesia. Jika selama ini tak ada penulis sejarah yang mengulas mengenai peran ulama-santri dalam kemerdekaan Indonesia, boleh jadi karena peran mereka tak dominan atau bahkan diingkari. Karena sejarah adalah soal siapa yang menyusun dibelakangnya dan demi kepentingan apa.

 

Kiranya Milal menyadari betul bahwa sejarah bukanlah gelar kisah masa lalu yang bisa objektif an sichdengan meghadirkan semua pelaku. Sejarah adalah soal perspektif dengan menyodorkan meotodologi seketat mungkin untuk menghadirkan kebenaran. Tetapi mengenai kebenaran itu sendiri, Nietzsche punya pandangannya, truth is for down the list of the things that are important to man and society.

 

 

 

Rabu, 12 November 2014

Doa



Rendaplah laraku,

Hapuskan senja yang tak lagi menguning

Biar mega berganti pelangi setelah hujan turun


Deraskan lapangku,

Agar pedih kunjungi semenanjung

Damai merasuk kalbu


Laraskan jiwaku,

Simfoni sumbang mengalun jadi indah

Digdaya tak menjelma jumawa


Terangkan pikirku,

Biar fitrah hampiri sesat tak terurai

Bebungaan kuarkan harum taman surga


Duhai Semesta pemiliki hidup matiku

Sungguh sempurna tak pernah merupa

Aku hilang akal dan rasa

Buta tuli juga



-13112014-

Selasa, 11 November 2014

Demokrasi Disensus; Politik Dalam Disensus




DEMOKRASI DISENSUS; POLITIK DALAM PARADOKS

Penulis: Budiarto Danujaya

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, xxxv + 430 hal, Jakarta, 2012

 

Daya tarik demokrasi bagi negara-negara di dunia rupanya masih sangat kuat. Berbagai gelombang yang menuntut demokratisasi yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi penandanya. Rezim totaliter yang sebelumnya diusung oleh negara-negara tersebut akhirnya mesti runtuh juga ditangan rakyat yang menginginkan kebebasan dan independensi bagi hak-hak mereka. Demokrasi adalah jawabannya.

 

Meskipun sampai saat ini demokrasi hanya baru bergerak dalam batasan formal-prosedural, menjadi semacam jargon keberadaan sistem dan perilaku politik-sebagai prasyarat untuk meraih legitimasi dalam pergaulan politik global, tetapi tak menyurutkan kepercayaan banyak orang untuk terus berharap hak-hak mereka dijaga dan dihargai dalam demokrasi. Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi bahwa didalamnya ada jalan menuju kesejahteraan berupa penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda dan saling menghargai menjadi semacam utopia tersendiri. Nyatanya demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan akbar saat masa modern di Eropa belum bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda. Silang sengkarut pendapat antar individu bahkan kelompok seringkali berujung pada pengeliminasian kelompok yang dianggap minoritas. Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa  dan kuasa lebih besar, menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni.

 

Lewat persoalan inilah, Budiarto Danujaya, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia menuliskan keluh kesahnya perihal demokrasi dalam buku berjudul Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks. Demokrasi yang umum dipahami sejak dari masa modern hingga sekarang adalah demokrasi yang memenangkan mayoritas. Mayoritas dalam kerangka filsafat politik adalah rakyat. Sehingga demokrasi adalah gagasan mengenai kuasa dari rakyat. Kuasa rakyat ini terepresentasikan dengan wakil-wakil rakyat yang dipercaya membawa suara rakyat dalam tata kelola suatu negara. Pengambilan keputusan dalam suatu perkara yang menyangkut rakyat diambil lewat jalan kesepakatan atau konsensus.

 

Inilah yang mewarnai tampilan pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan negara bangsa. Demokrasi dijalankan selama ini dengan membawa muatan konsensus. Konsensus terbentuk atas cita rasa bersama (sensus communis) yang berlandaskan rasionalitas individualisme normatif. Artinya kesepakatan dicapai dengan tujuan terhadap yang ideal dalam kondisi satu dengan yang lain setara. Padahal dalam pengambilan keputusan apapun tidak ada kondisi setara antara satu pihak dengan pihak lain. Selalu ada beban kepentingan dan konflik yang beradu disitu. Selalu ada pihak yang tidak terangkul dalam upaya mencapai kesepakatan dalam demokrasi konsensus.

 

Jika demokrasi yang mengutamakan konsensus dalam laku pengambilan keputusan dipercaya mampu membawa kebaikan bagi rakyat banyak dengan mengeliminasi pihak yang tercecer dalam upaya mencapai kesepakatan, maka demokrasi dianggap gagal. Kegagalan demokrasi konsensus ini terlihat dari ide awal yang ingin menjamin hak-hak setiap individu. Tidak terangkulnya pihak yang tercecer dalam konsolidasi kesepakatan dalam mekanisme konsensus adalah bukti tak terbantahkan gagalnya demokrasi sebagai tata pemerintahan. Berbagai kasus kekerasan agama dan sosial lain di Indonesia menjadi cerminan tidak terangkul dan terabaikannya hak-hak setiap warga negara untuk memperoleh kebebasan atas apa yang diyakininya.

 

Bertitik tolak dari persoalan inilah, Budiarto Danujaya mencoba menawarkan pembacaan demokrasi lewat cara yang berbeda. Ia menawarkan melihat demokrasi dengan mengedepankan disensus. Ketakpercayaan bahwa sistem politik apapun mampu menggalang konsensus dengan asas semua senang, semua terima keputusan menjadi landasan dalam memahami demokrasi sebagai disensus. Asumsi antropologis yang dijabarkan Budiarto adalah ketidakmungkinan konsensus untuk tak mereduksi otonomi dalam korelasi. Karena korelasi antarmanusia pada dasarnya merupakan koeksistensi antarunikum. Upaya menuju konsensus dengan sendirinya tidak akan pernah selesai karena selalu ada yang tertinggal dalam pencapaian pada satu kesepakatan.

 

Pengambilan keputusan dalam kerangka demokrasi disensus bukanlah pencapaian terhadap kesepakatan final, melainkan diartikan sebagai keikutsertaan pada proses politik sebagai terminal sementara dalam dinamikan antagonisme berkelanjutan dalam medan politik. Sementara itu antagonisme merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman yang sudah menjadi sifat dasar relasi sosial. Sehingga tak mungkin merangkum segala perbedaan dalam demokrasi ke dalam konsensus. Demokrasi sebagai wadah memiliki kapasitas menggalang harmoni dari faktisitas sosiopolitik yang beragam dan berbeda.

 

“Manusia diera ini ditakdirkan bukan untuk mengatasi melainkan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan keragaman; jadi, menerima situasi polisemi serta ambivalensi yang diakibatkan apa adanya, termasuk dalam ranah etik maupun politik,” tulis Budiarto di dalam bukunya (hal. xxx). Jelas sudah bahwa dalam telaahnya, Budiarto Danujaya ingin menegaskan kembali arti demokrasi sebagai penghargaan terhadap hak-hak individu masyarakat. Demokrasi Disensus yang ditulisnya mencoba menawarkan kembali demokrasi sebagai etikopolitik, suatu sikap hidup bersama dengan mereka yang berbeda.

Biografi Karni Ilyas; Lahir Untuk Berita




40 Tahun Jadi Wartawan, Karni Ilyas; Lahir Untuk Berita

Penulis: Fenty Effendy

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, xix + 396 hal, Jakarta, 2012


 

40 tahun, rentang waktu yang cukup panjang untuk menuai hasil dari apa yang pernah diimpikan seorang Karni Ilyas. Mencoba untuk konsisten dengan apa yang pernah dicita-citakan sewaktu kecil menjadi pertaruhan tersendiri. Sisanya ditunjukkan lewat totalitas yang dituntun elan vital – daya juang. Dan semua menghasilkan cerita yang lebih dari sebuah kesuksesan; sebuah perjuangan...

 

***


Rabu, 17 Oktober 2012 silam, ballroom Djakarta Theater disambangi sejumlah orang terkenal. Tampak beberapa yang hadir pada malam itu ialah Wiranto, Rahman Tolleng, Jusuf Kalla, Jimly Assidiqie, Abu Rizal Bakrie, dan sejumlah nama lain yang tak kalah beken. Hari itu memang dipersiapkan sebagai acara luncur buku biografi Karni Ilyas, 40 Tahun Jadi Wartawan; Lahir Untuk Berita.

 

Pada acara yang juga disiarkan secara langsung oleh tvone, terurai segelintir kisah mengenai jejak hidup pria kelahiran Johong Pahambatan, Balingka 25 September 2012. Anak pertama pasangan Ilyas Sultan Nagari dan Syamsinar ini rupanya sejak muda sudah ingin menjadi seorang wartawan. Saat itu ia tengah berjalan-jalan dengan sepupunya disepanjang tepi Laut Padang naik Bendi, menceritakan kepada sepupunya ingin menjadi wartawan. Alasannya sederhana, kepingin terkenal!

 

Namun, nyatanya terkenal hanyalah sebuah jawaban tanpa pikir yang dilontarkan Karni kepada sepupunya. Liku untuk tetap konsisten dijalur kewartawanan menunjukkan bukan menjadi terkenal yang ditujunya. Terbukti dirinya bahkan sempat menolak jabatan sebagai Jaksa Agung saat Megawati Soekarnoputri menjabat presiden hingga ditawari menjadi direktur perusahaan petrokimia, Karni tak bersemangat. Memang bukan disana passion-nya.

 

Saya teringat salah satu novel berjudul The Alkemist karya Paulo Coelho, si pengarang yang lagi digandrungi dunia sastra saat ini. Novel tersebut menceritakan mengenai perjalanan Santiago, seorang pengembala muda yang melepas semua domba-dombanya untuk mengejar mimpi sampai ke Piramida yang ada di Mesir. Coelho menggunakan metafora Legenda Pribadi untuk menyebut setiap impian yang datangnya dari hati nurani, Jiwa Dunia. Saya melihat Santiago pada sosok Karni Ilyas yang kini berusia 60 tahun.

 

Perjalanan menjadi seorang wartawan bukan sebuah tur menyenangkan yang selalu dialami Karni. Mumulai profesi wartawan di Suara Karya, dirinya hanya bermodalkan ijazah SMA. Sempat diragukan kemampuannya oleh Rahman Tolleng, pimpinan redaksi Suara Karya saat itu, Karni tidak menyerah. Ia tetap ngeyel meyakinkan Rahman Tolleng untuk menjajal dirinya dalam menghimpun dan menulis berita, terutama berita hukum dan kriminal.

 

Sifat keras dan kerja kerasnya dalam memburu berita sampai ke sumber langsung inilah yang membawa dirinya dilirik TEMPO. Tak seperti gaya wartawan lain yang asik nongkrongin dan menunggu narasumber, Karni justru memilih melakukan lobi-lobi sendiri kepada setiap narasumber utama yang mesti ia kejar. Berita tanpa konfirmasi langsung dari yang berperkara tidak memuaskan dahaga beritanya. Lima tahun setelahnya Karni ditunjuk sebagai redaktur yang mengampu rubrik hukum dan kriminalitas.

 

Sekitar tahun 1992 saat TEMPO mengambil alih majalah dwimingguan, FORUM Keadilan yang hampir mati suri, Karni ditunjuk oleh Eric Samola, bos besar PT Grafiti Press untuk mengurusnya. Format majalah yang ingin mengetengahkan persepsi hukum dan demokrasi secara lebih luas dan umum menjadi ideologi yang coba  ditanamkan  Karni bagi FORUM keadilan. Belum punya nama taktis membuat majalah ini tidak dikenal umum. Namun, siapa sangka berkat tangan dinginnya, Karni mampu membuat  FORUM menjadi majalah yang paling banyak dibaca masyarakat pada kurun waktu 1992-1999.  

 

Sempat mewawancarai Kartika Thahir, janda wakil bos Petamina atas  rekening US$ 78 juta yang diduga merupakan uang suap membuat hatrick tersendiri dalam sejarah karier jurnalistik Karni. Bagaimana tidak, dirinyalah satu-satunya wartawan yang mampu melakukan wawancara dengan Kartika saat siapapun tidak mampu menembus kesempatan melakukan wawancara . Selain itu, Kartika yang sengaja menghilangkan dirinya selama 12 tahun membuat cerita kesuksesan Karni menjadi sempurna.

 

Meski  gigih dan gencar dalam memburu berita – dan hampir-hampir memiliki insting menangkap berita yang akan laku dipasaran – tidak seiring langkah Karni mulus begitu saja. Forum ditangan dinginnya tidak hanya sekedar “laku”, melainkan juga kritis dalam menyajikan berita yang akan disantap masyarakat. Tak pelak , majalah yang oplahnya tiap kali terbit mencapai 150 ribu eksemplar  turut jadi bidikan orde baru untuk dibungkam. Namun - lagi-lagi, kemampuan lobinya dengan para petinggi militer membuat FORUM bisa terus bernapas .

 

Saat itu diketahui Karni dengan cerdik menghubungi beberapa petinggi militer seperti Prabowo, Hendropiyono, dan Hartono. “Saya meminta mereka semua menelepon ke Harmoko bahwa yang punya majalah itu mereka,”demikian yang ditulis Fenty Effendy dalam biografi Karni Ilyas (hal.222). Beberapa Jenderal ini menelepon Harmoko yang kemudian menjadi bingung. Karni mengetahui Harmoko tidak akrab dengan militer dan menggunakan kesempatan itu untuk menyelamatkan FORUM Keadilan.

 

Dalam buku setebal 396 halaman ini juga memuat berbagai testimoni dari berbagai kalangan yang turut menggambarkan perangai Karni yang tegas dan keras. Beberapa mantan wartawan yang pernah bersama Karni menuturkan, sosok pria kecil dan berkulit gelap ini tidak terima kegagalan. Kalimat andalannya saat memarahi wartawan asuhannya adalah Jangan Menunggu Tahi Hanyut.

 

Selain sukses membesarkan FORUM Keadilan, Karni juga sebagai salah satu orang yang mendirikan Jakarta Lawyers Club (JLC) ditahun 1992. JLC merupakan wadah diskusi para praktisi hukum yang kemudian meluas patisipannya. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam JLC multidisiplin namun dibedah lewat perspektif asas penegakan hukum.

 

Dipecat sebagai pemimpin redaksi FORUM Keadilan karena intimidasi pemilik modal tak lantas mematikan kecintaan Karni untuk terus bergelut di dunia jurnalistik. Dirinya diminta Henry Pribadi, pemilik SCTV untuk membidani kesuksesan divisi pemberitaan liputan 6. Lagi-lagi berkat tangan dinginnya, Liputan 6 yang mati segan mati tak mau itu lambat laun menjajaki diri sebagai program berita yang banyak ditonton oleh masyarakat. Prinsipnya yang ingin mendapatkan berita teranyar lewat sumber utama membuat pamor SCTV melonjak. Salah satu pemberitaan sukses Liputan 6 saat dibawah Karni adalah soal bom bali dan teroris, Amrozi cs.

 

Karni Ilyas merupakan sosok manusia biasa yang tampil luar biasa dengan segala kegigihan dan kerja keras. Totalitasnya dalam menghimpun berita menunjukkan dirinya memang lahir untuk berita. Sosoknya mengingatkan siapa pun bahwa menjadi wartawan adalah pilihan hidup, bukan pilihan pekerjaan. Dia wartawan yang jarang kita jumpai saat ini...                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

Semangat Membatu Film Rata-rata


 

Garuda 19; Semangat Membatu
Sutradara : Andibachtiar Yusuf
Pemain : Mathias Muchus, Ibnu Jamil, Rendy Ahmad, Sumarlin Beta
Produksi : Mizan Productions 2014

 

 

Indra Sjafri kemimpi suatu saat sepakbola Indonesia berlaga di Piala Dunia. Langkah pertama telah dijejak. Timnas U-19 berhasil menjuarai piala AFF U-19 pada 2013. Kisah ini kemudian diangkat ke layar lebar. Ide memberi semangat, eksekusi film biasa saja.

 

***

Sepanjang 2013 lalu, kita ingat, salah satu hal membanggakan diraih Indonesia adalah berhasil peroleh juara dalam AFF U-19 setelah mengalahkan Vietnam. Di tengah pusaran dualisme berebut kuasa di PSSI, anak-anak didik Indra Sjafri mampu menorehkan prestasi. Apalagi selama ini dunia sepakbola Indonesia sepi prestasi, gaduh masalah.

 

Kegemilangan Garuda Jaya yang jarang terjadi menyelipkan kisah Indra Sjafri dan tim pelatihnya mencari bibit-bibit terbaik hingga jauh ke pelosok negeri. Semua dengan biaya dan usaha sendiri. Sementara pusat tak mau peduli. Kisah inilah yang menarik hati Andibachtiar Yusuf, sang sutradara untuk mengangkat kisahnya ke muka khalayak dalam medium film. Garuda 19 sendiri diadaptasi dari buku “Semangat Membatu” karya FX Rudy Gunawan dan Guntur Cahyo Utomo.

 

Cerita dibuka dengan momen adu finalti laga final Indonesia vs Vietnam pada piala AFF U-19 di Sidoarjo. Garuda Jaya berhasil lolos final setelah berjibaku mengalahkan Korea Selatan yang dikenal jawara sepakbola asia. Kisah pun berlanjut alur mundur saat Indra Sjafri (Mathias Muchus) beserta tim pelatihnya; coach Guntur (Ibnu Jamil), coach Djarot (Puadi Redi), coach Nur Saelan (Reza Aditya), dan Adit (Verdi Solaiman) mencari bibit pemain dari Ngawi, Jawa Timur hingga Alor, NTT.

 

Perjalanan Sjafri dan tim demi mengumpulkan pemain terbaik negeri ditengah kondisi federasi yang kacau kiranya menjadi ide besar film ini dibuat. “Semangat membatu” tak cuma soal kepercayaan Sjafri di Indonesia pasti menyimpan mutiara di pelosok-pelosok nun jauh sana, tapi juga soal ke”batu'an Sjafri ingin membawa Indonesia menuju piala dunia.

 

Sayangnya, semangat membatu yang menjadi kuncian film ini tak begitu terasa. Cenderung hambar dan biasa saja. Peran keempat pelatih pendamping Sjafri terasa mengganggu. Tek tok dialog yang dilontarkan keempatnya tak asyik ditelinga. Mereka lebih tampak seolah Punakawan dalam cerita Wayang.

 

“Piala Dunia” yang sering dilontarkan Sjafri untuk membakar semangat tim mudanya juga tak menghasilkan daya greget. Belum lagi selipan cinta remaja yang dilakoni Yabes (pemuda asal Alor, NTT) dan Yazid (pemuda asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara) dengan pujaan hati masing-masing. Bagian mengenai romantika remaja mereka pun tak tergali dalam dan nanggung.

 

Tapi akting menawan ditampilkan oleh Rendy Ahmad, pemeran Sahrul si beck asal Ngawi, Jawa Timur. Pemuda asal Belitung ini memukau saat berakting di film Sang Pemimpi sebagai Arai. Jika pada film sebelumnya ia sukses menampilkan Arai dengan logat dan tabiat Belitung, kini Rendy menampilkan Sahrul dengan logat Jawa kental. Peralihan logat tersebut sukses dibawakan Rendy dalam film tersebut. Tampak alamiah ditengah bangunan film yang biasa saja.

 

Keseluruhan film berdurasi dua jam ini biasa saja. Meski ide dan semangat yang ingin ditampilkan bagus, tapi tak tampak dalam sajian film. Semua serba nanggung.

 

Seorang kawan pernah berujar, Film Indonesia jarang yang memiliki formula untuk menjadi sukses. Apa yang menjadi formula itu? Katanya, tidak ada formulanya. Sebuah film hanya perlu jujur dan apa adanya. Salah satunya bisa tergambar dari seberapa kuat skenario yang disajikan.

Amarah Sebuah Tank



Film : Fury

Sutradara : David Ayer

Pemain : Brad Pitt, Shia LaBeouf, Logan Lerman
Produksi : Columbia Pictures, 2014

 

Kisah ini mengenai ingatan sebuah tank bernama Fury. Kisah ini mengenai lima orang prajurit Amerika yang menjadi awak Fury saat perang dunia II melawan Jerman. Kisah ini mengenai Fury dalam arti metaforis, amarah.

 

***

 

Perang Dunia masih menjadi tema yang tak habis-habis dikemas menjadi film. Beragam genre mulai dari drama, komedi, hingga action mengambil perang dunia sebagai latar waktu dan peristiwanya.  Salah satu film terbaru mengenai tema ini adalah Fury yang disutradarai dan ditulis skenarionya oleh David Ayer.

 

Kisah bermula dari betapa cemen-nya pasukan tank Amerika saat melawan pasukan tank Jerman di perang dunia II. Kekalahan demi kekalahan yang diderita AS salah satu sebabnya karena tank milik mereka kalah canggih dengan milik Jerman. Di tengah kondisi kekalahan ini, salah satu tank milih Amerika menyimpan kisah heroiknya. Fury namanya.

 

Fury sebelumnya hanya diawaki oleh Don “Wardaddy” Collier (Brad Pitt), Boyd “Bible” Swan (Shia Labeaouf), Trini “Gordo” Garcia (Michael Pena), dan Grady “Coon-Ass” Travis. Keempat orang ini adalah orang-orang yang hampir kebas membunuh musuh di medan perang. Kemudian datanglah Norman Ellison (Logan Lerman) si juru ketik yang masih bersih jiwanya dan penuh rasa kasih terhadap sesama.

 

Saat pasukan Amerika terus maju merangsek wilayah Jerman guna menumpas Nazi, mereka tak segan membantai musuh. Dalam perang, kata Wardaddy, tak kenal siapa yang benar dan yang salah. Yang ada hanyalah kita membunuh atau kita dibunuh. Tapi bagi Norman yang masih hijau di medan perang, tak tega ia mengambil nyawa orang lain.

 

Masuknya Norman dan upaya Fury untuk terus bertahan dalam perang menjadi pintu masuk tersibaknya konflik. Pergolakan batin tak cuma dialami oleh awak Fury, tapi juga Nazi. Bahkan, Hitler memerintahkan perempuan dan anak bergabung menjadi pasukan perang melawan Sekutu.

 

Meski adegan bunuh membunuh dalam perang terkesan nyata dan membuat bergidik, tapi film ini lebih kuat kesan drama. Atmosfer ketegangan psikologis mengenai apa yang benar-salah atau baik-jahat lebih terasa. Dalam salah satu adegan Wardaddy bahkan menahan tangis setelah menembak seorang prajurit Nazi yang ternyata masih bocah.

 

Film berdurasi 134 menit ini konsisten membawa pergolakan batin para awak Fury dalam tekanan psikologis. Ayer sukses membawa pesan mengenai makna perang sesungguhnya. Tidak hanya kuatnya naskah, tapi juga sokongan akting para pemain yang mumpuni.

 

Brad Pitt rupanya masih tak hilang kegemilangannya dalam membawakan peran Wardaddy. Di tengah tekanan psikologis anak buahnya, Brad Pitt sukses berdiri sebagai Wardaddy yang mesti tampil lebih kuat dan tabah dibanding anak-anak buahnya dalam menghadapi musuh. Padahal saat ia sendirian dan tanpa pengawasan, emosinya pecah juga. Konstelasi konflik dalam diri Wardaddy inilah yang sukses dilakoni Pitt.

 

Tak hanya Pitt, LaBeouf berperan sebagai prajurit perang yang memilih jalan religius untuk menguatkan dirinya juga tampil apik. Atau Lerman yang polos dalam perang menambah ketegangan konflik jiwa awak Fury. Bagaimana mereka di satu sisi mengubur harapan terhadap diri mereka sendiri, tapi disisi lain mereka menumpahkan semua amarah soal perang pada musuh. Hingga kesan brutal dan bengis yang menyisa.

 

Ikhwal perang bukan melulu soal siapa yang menang dan benar. Perang hanyalah diplomasi absurd yang digunakan penguasa untuk memuaskan hasrat menguasai pihak lain. Mereka yang menjadi alat perpanjangan tangan penguasa demi kemenangan dalam perang mesti sedia korbankan tak cuma nyawa, tapi juga jiwa. Maka saat Fury ngotot untuk tetap berjuang hingga akhir hayatnya, sesungguhnya ini juga suatu upaya memadamkan amarah mengenai perang yang belum juga berakhir.

Senin, 10 November 2014

Ilusi Kehendak Bebas Setengah Manusia



Film : Robocop (2014)
Sutradara : Jose Padilha
Pemain : Joel. Kinnaman, Gary Oldman, Michael Keaton
Produksi :. Metro Goldwyn Mayern (MGM) & Columbia Pictures, 2014

Jadi imaji Amerika di tahun 2028 adalah akan laku perang dengan Iran. Entah dengan alasan apa. Pokoknya perang itu akan dilakoni oleh robot-robot canggih dimana punya kemampuan memindai seseorang berbahaya atau tidak. Jika seseorang potensial berbahaya sebab membawa senjata maka akan langsung dimatikan oleh mereka. 

Jalan-jalan di Teheran banyak robot dan setiap warga diceritakan tak keberatan dengan tiap saat dipindai demi keamanan mereka sendiri. Robot lawan manusia. Jika alurnya begini, Iran bakalan kalah telak dengan Amerika. Tak hanya angan-angan hendak perang dengan Iran, Robocop versi baru ini juga menempatkan laboratorium robot di China. Alasan Amerika, robot-robot ini dibuat demi kebijakan luar negeri Amerika.

Meski maha canggih dan efisien meminimalisir jatuhnya korban sipil dalam perang, robot tak punya kepekaan rasa. Sebagian anggota senat AS menolak penggunaan robot untuk berperang. Terancam produknya berhenti beroperasi, Raymond Sellars (Michael Keaton) pemilik perusahaan Omnicorp mesti putar otak agar penggunaan robot tak dihentikan. Sebab ia bisa jatuh bangkrut.

Hingga terbitlah ide menciptakan robot setengah manusia. Sebuah produk yang memiliki hati nurani. Penekanannya adalah,"Kau manusia karena otakmu, bukan tubuhmu." 

Bekerja sama dengan Dr. Dennet Norton (Gary Oldman), Raymond menyidik calon-calon potensial setengah cacat yang bisa diberdayakan dalam proyeknya. Terpilihlah Alex Murphy (Joel Kinnaman), seorang polisi Detroit jujur yang jadi korban pembunuhan oleh mafia setempat akibat laku lurusnya menegakkan hukum. Antara pilihan mati saja atau jadi setengah robot, istri Alex memilih suaminya dijadikan setengah robot. Maka lahirlah Robocop, transformasi Alex menjadi setengah mesin.

Film remake berjudul sama yang dibuat tahun 1987 ini tentu lebih maju dari segi sajian visual. Jose Padilha, sang sutradara tampaknya juga ingin mesin setengah manusia ini menjadi lebih humanis. Selipan drama keluarga Alex menjadi pertandanya. Pilihan Clara, istri Alex yang terpukul suaminya dalam kondisi sekarat pada akhirnya memutuskan Alex lebih baik menjadi robot saja. Toh, Alex akan tetap ingat ia dan anaknya. 

Namun, ada yang janggal dalam proses pilihan Clara yang ditampilkan Padilha. Geng Omnicorp yang punya kepentingan murni ekonomi, meyakinkan bahwa adalah baik bagi suaminya hidup jadi robot ketimbang mati begitu saja. Maka Clara mesti berterima kasih untuk itu.

Tak cuma soal persuasi yang dilakukan Omnicorp, Norton pun menyetting otak Alex agar seolah-olah dirinyalah yang mengendalikan mesin. Padahal sebaliknya. Norton menyebutnya, Ilusi Kehendak Bebas. Tindakan-tindakan Alex selaku robot dalam memedangi kejahatan sesungguhnya adalah gerak mekanik yang diciptakan Norton. Bukan karena Alex yang menghendaki itu, meski ia polisi jujur.

Argumen yang hendak dibangun oleh Padilha untuk film berbugdet US$ 100 juta ini absurd. Banyak harapan Amerika yang tampaknya sengaja disisipkan Padilha. Seperti soal ambisi Amerika hendak meluluhlantakkan Iran atau mendirikan laboratorium semi militer di China. Kemudian juga soal persuasi duet yang dilakukan oleh Omnicorp dengan sebagian politisi bahwa tujuan mereka baik. Buktinya adalah Robocop, produk berhati nurani yang memberantas kejahatan.

Tetapi Padilha juga menyadari, sebuah film selalu butuh chaos. Robocop yang disetting memberantas kejahatan, akhirnya mengubah misi menguak misteri upaya pembunuhan terhadap dirinya sendiri. Alex memberontak. Si robot memilih untuk membalas dendam. Gelembung sabun ilusi kehendak bebas meletus. Menandakan bagaimanapun di dalam perangkat mesin canggih Alex masih memiliki pilihan untuk dirinya sendiri, menjadi manusia.

Dan film Hollywood hampir selalu menyajikan kemenangan dalam kekacauannya sendiri. Karena dari sana akan lahir pahlawan baru yang patut dielu-elukan. Robocop jadi pahlawan tak sekedar karena ia melawan kejatahan di jalan-jalan Detroit, melainkan juga karena melawan keterbatasan dirinya sendiri. Film ini pun ditutup dengan pernyataan arogan Pat Novak, pembawa acara kenamaan Amerika,"America is now and always be great country in this world."

Menggenggam Sekam di Sekuel Hunger Games



Film - The Hunger Games; Cacthing Fire
Sutradara: Francis Lawrence
Pemain: Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Donald Sutherland
Produksi: Lionsgate, 2013

"Kamu harus bisa mengenali siapa musuhmu sesungguhnya..."
Kalimat ini menjadi azimat yang dilontarkan beberapa kali dalam sekuel The Hunger Games, Cathing Fire.

***

Menjadi pemenang dalam kompetisi Hunger Games ke-74 nyatanya tak membuat tenang apalagi aman hidup Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence). Kemenangannya dengan cara mencurangi permainan adu nyawa bersama rekannya, Peeta Mellark (Josh Hutcherson) diketahui oleh Presiden Snow (Donald Sutherland). Pasalnya aksi heroik pemuda-pemudi distrik 12 ini menghembuskan angin harapan kepada segenap rakyat di 12 distrik negara Panem, eks Amerika Utara paska bencana hebat.
 
Hal demikian tentu merupakan pertanda tak baik bagi kelangsungan rezim Snow di Capitol. Apalagi pada film sebelumya, kompetisi sumbang nyawa ini dijadikan selebrasi bagi seluruh Panem. Snow ingin menunjukkan pengorbanan akan keutuhan dan kesatuan Panem dibawah Capitol adalah sesuatu yang mutlak. Sekaligus Snow ingin menunjukkan bahwa laku lacung revolusi yang 74 tahun lalu pernah terjadi dan gagal, tak akan pernah berhasil sampai kapan pun. 

Hunger Games sendiri dirancang dengan memilih pemuda-pemudi dari12 distrik. Mereka diadu dalam serangkaian permainan bertahan hidup, membunuh atau dibunuh. Kompetisi kejam ini disiarkan ke seluruh penjuru negeri lewat program televisi reality show yang dipandu Caesar Flickerman (Stanley Tucci).

Dianggap memiliki potensi membangkitkan revolusi, Katniss menjadi sasaran pembunuhan oleh Snow. Alih-alih membunuh Katniss secara langsung, Snow mengikuti saran perancang Hunger Games pengganti Seneca Crane, Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman). Bertepatan dengan kompetisi Hunger Games ke-75 yang, agar peserta yang ikut adalah mereka yang memenangkan Hunger Games pada tahun-tahun sebelumnya dari 12 distrik. Plutarch merancang kompetisi Hunger Games ke-75 lebih sulit dengan lawan yang sulit. Tujuannya hendak menampilkan sosok Katniss yang siap membunuh terlebih dahulu sebelum dibunuh oleh lawannya. Agar sekam revolusi yang ada dalam benak rakyat Panem tak membara karena sosok Katniss yang dianggap sebagai simbol perjuangan. 

Film berdurasi 146 menit ini dikemas Francis Lawrence dengan mengaburkan batasan tokoh protagonis dan antagonis. Meski kita bisa saja mengklasifikasikan siapa yang berada dipihak Katniss atau Snow, tetapi munculnya tokoh baru seperti Plutarch dan beberapa pemenang Hunger Games sebelumnya tak bisa ditebak. Nyatanya bara revolusi di masing-masing distrik mulai menyulut.

Dengan racikan sedikit teori kelas Karl Marx, totalitarianisme ala Machiavelli, dan teori dilema narapidana, Francis sukses menampilkan Hunger Games; Cathing Fire. Nasib 12 distrik menyedihkan  yang menjadi penopang kemewahan Capitol menjadi ciri penanda pikiran Marx meresap dalam film. Rezim kekuasaan yang dijalankan Presiden Snow menunjukkan totaliarianisme yang hendak dijaga pemerintahan Punam. Kompetisi yang mengisolasi ke-24 pemenang dalam arena bertahan hidup memaksa mereka menggunakan rasionalitas tak percaya (instrumental) adanya kerja sama antar satu dengan lainnya demi keluar hidup-hidup sebagai pemenang Hunger Games.

Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Suzanne Collins ini memang ringan meski tetap ada adegan hantam-hantaman. Biasa saja sebenarnya, dengan alur yang lambat dan tak terlalu mencekam. Mengingat ini adalah film yang seharusnya membawa kesan garang dan kejam karena ada banyak darah yang terkorbankan. Tetapi kesan tersebut tak dominan.






Primavera a la Vida En El Dia de Los Muertos (Bangkit Hidup di Hari Orang Mati)


Film : Book of Life
Sutradara : Jorge R. Gutierrez
Pemain : Diego Luna, Zoe Saldana, Channing Tatum
Produksi : Twentieth Century Fox, 2014


Perayaan Hari Orang Mati menjadi latar kisah cinta segitiga Manolo, Joaquin, dan Maria. Sajian visual meriah dan semarak dibalut animasi. Book of Life memenuhi kemasan dongeng bagi anak-anak. 

***

Manolo (Diego Luna), Joaquin (Channing Tatum), dan Maria (Zoe Saldana) karib sejak kanak-kanak. Bahkan Manolo dan Joaquin sama-sama jatuh hati pada Maria. Perasaan mereka dijadikan taruhan oleh La Muerte (Kate del Castillo), Penguasa Negeri Mereka yang Diingat dan Xibalba (Ron Perlman), Penguasa Negeri Mereka yang Dilupakan. Taruhannya yakni siapa diantara keduanya yang akan menikahi Maria kelak dewasa.

Ditengah haru biru cinta kanak-kanak, Maria dikirim ayahnya ke Eropa belajar tata krama. Manolo dan Joaquin menghabiskan remaja tanpa Maria. Manolo yang turun temurun keluarganya menjadi matador dipaksa melanjutkan profesi keluarga oleh sang ayah. Sementara Manolo senangnya memetik gitar ketimbang membunuh banteng. Kelembutan ditambah sisi puitis Manolo membuatnya dianggap menjadi pecundang.

Sedang Joaquin, anak almarhum ksatria kota San Angel tumbuh kuat dan cemerlang. Ia diproyeksi menjadi pahlawan kota dengan segala kegagahannya. Ia kuat dan perkasa. Joaquin merepresentasikan sosok laki-laki maskulin yang berpikir dengan otot alih-alih perasaan dan otak.

Sekian tahun akhirnya Maria yang kini tumbuh menjadi kembang kembali ke kota kelahirannya. Cinta Manolo dan Joaquin tak pernah padam pada Maria. Berdua berkompetisi menarik perhatian dan cinta Maria. 

Kompetisi ini pun direcoki Xibalba yang tak mau kalah taruhan dari La Muerte hingga gunakan cara curang. Xibalba mengirim Manolo yang ternyata dicintai Maria ke Negeri Mereka yang Diingat lewat gigitan ular jadi-jadian; mati. Cerita pun terus mengalir bagaimana upaya Manolo agar hidup kembali demi cintanya pada Maria.

Book of Life mengambil cerita mengenai perayaan orang mati di Meksiko sebagai latar sosio kulturnya. Perayaan yang dirayakan tiap 2 November ini dilakukan demi mengingat mereka yang mati. Selebrasi yang dirayakan adalah menyalakan lilin dan mendoakan para arwah. Konon, mereka yang mati selama diingat oleh yang hidup akan terus mengingat kita.

Sementara keberanian Manolo yang bangkit dari kematian demi cinta adalah cerita yang dihidupkan kemudian oleh Jorge R. Gutierrez, sang sutradara. Gutierrez menumbuhkan cerita baru dari ladang perayaan El Dia de Los Muertos (Hari Orang Mati) yang tenar di Meksiko. Benihnya adalah mengenai cinta sejati dan upaya segenap jiwa raga demi meraihnya. Tak ayal film ini dominan nuansa romantis meski menjelma animasi.

Sebab Book of Life dibalut animasi oleh Gutierrez, menjadikan film berdurasi 95 menit ini tereduksi romantismenya. Ada selipan adegan lucu atau dialog-dialog konyol yang dimunculkan Gutierrez. Tampilan tokoh-tokoh seturut dunianya dalam Book of Life juga sangat meriah dan semarak. Secara visual, keseluruhan Book of Life pekat dimata dan menyenangkan. 

Secara keseluruhan film ini boleh dibilang upaya Gutierrez mencipta dongeng baru. Book of Life hadir dengan pengkayaan makna mengenai cinta, pengorbanan, kejujuran, dan menjadi diri sendiri. Anak-anak pasti akan suka sementara orang dewasa akan menikmati Book of Life. Agar epik, maka Gutierrez membangkitkan Manolo dari kematian di Hari Orang Mati.  Primavera a la Vida En El Dia de Los Muertos.

Eksotisme Indonesia dimata Bule




Judul Buku : Indonesia's Hidden Heritage; Cultural Journeys of Discovery
Penulis : David Metcalf & Stephanie Brookes
Penerbit : A Now! Jakarta Publication, 2014


Sebaran warna sephia berpadu-padan dengan birunya lautan pun langit. Hamparan gradasi warna hijau di bumi khatulistiwa. Cerita mengenai manusia yang berbeda; jalani hari dengan kepercayaan dan tradisi yang mengakar sejak dahulu kala. Ini kiranya yang membuat Indonesia eksotik di mata dua orang “bule”.

***

David Metcalf, seorang fotografer profesional yang punya klinik fotografi di Ubud, Bali. Bersama dengan Stephanie Brookes, penulis perjalanan lepas asal Selandia Baru mengunjungi beberapa tempat di Indonesia. Perjalanan mereka terangkum dalam buku Indonesia's Hidden Heritage; Cultural Journeys of Discovery.

Ada dua belas tempat yang mereka kunjungi. Eksotisme suku Bajo di Pulau Selayar yang ada di ujung selatan pulau Sulawesi. Desa Ngaju Dayak yang ada di tinggal di sepanjang sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Tradisi Pasola – adu ketangkasan dari atas kuda – di Sumba. Kawah Ijen di Jawa Timur dan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. 

Balapan kerbau di Jembrana, Bali. Desa yang hilang nun jauh di pedalaman Wae Rebo, Flores. Festival Isen Mulang – arti: tak kenal menyerah dan berusaha sampai akhir – yang merupakan salah satu tradisi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Festival Pencak Silat dan Kejawen di Jawa Tengah. 

Foklor masyarakat suku Tengger di lereng Gunung Bromo. Mitos, legenda, dan dongeng dari Sumbawa. Kebudayaan Wetu Telu – percampuran agama Islam dengan tarekat animisme di Lombok Utara. Dan bagaimana masyarakat Dayak Kenyah menjadi penjaga hutan di Kalimantan Timur. 

Buku ini lebih kepada kumpulan foto dengan sedikit catatan perjalanan. David mengabadikan momen, sementara Stephanie merangkai perjalanan mereka lewat kata. Meski sesekali David yang menuliskan memoar perjalanannya. Tak ayal, representasi perjalanan mereka lebih banyak dalam medium foto.

Foto-foto yang di ambil David dalam tiap perjalanannya tak cuma kaya panorama alam. Ia juga hendak mengabadikan manusia yang hidup di dalamnya. Alam dan manusia dipadukan menjadi serangkai kisah tentang warisan tersembunyi yang dimiliki Indonesia. Sebuah harta karun yang ditemukan oleh duo asing ini mengenai kekayaan nusantara. 

Buku ini menggambarkan  kekaguman dan suka cita mereka menyelami alam dan budaya Indonesia. Sesuatu yang tentu dirasa asing dan berjarak dalam latar belakang mereka yang Barat. Seolah bertemu cermin dalam aliran jernih sungai Kahayan di Palangkaraya. Atau menemukan harmoni antara alam dan manusianya. 

Meski demikian, apa yang ditulis dan ditampilkan oleh David maupun Stephanie bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia sendiri. Jauh sebelum mereka, sudah banyak orang yang mengabadikan tempat-tempat tersebut lewat foto pun tulisan. Bahkan yang dijabarkan oleh para pendahulu mereka lebih komprehensif dan fokus dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu. 

Isi Indonesia's Hidden Heritage; Cultural Journeys of Discovery tak seheboh judulnya. Tapi bagi mereka yang menatap Indonesia dengan mata seorang Barat, apa yang ditulis dua karib ini mungkin sesuatu yang baru dan menakjubkan. Sebuah eksotisme Timur yang belum tereksplorasi. 

Seperti butir-butir kata yang lahir dari rahim penyair termasyhur India, Rabindranath Tagore dalam puisinya, Poems of Beauty;

“Beauty is truth's smile. When she beholds her own face in a perfect mirror. 
Beauty is in the ideal of perfect harmony, which is in the universal being; 
Truth the perfect comprehension of the universal mind.” 



Menebar Harapan Paska Konflik Maluku



Film : Cahaya Dari Timur; Beta Maluku 
Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
Pemain : Chicco Jericho, Jajang C. Noer, Shafira Umm, Ridho "Slank"
Produksi : Visinema Pictures



Masjid Raya di Tulehu baru kali ini tak menyiarkan kumandang azan ke pelosok desa. Begitu pun dengan Gereja di Passo, Maluku yang tak gelar ibadah misa. Tak cuma masjid dan gereja, tapi sekolah hingga warung makan tidak melakukan aktivitas selayaknya. 

Hampir setiap orang Maluku khidmat mendengarkan siaran langsung via telepon pertandingan final Indonesia Cup U-15 di Jakarta. Sebab, laga final U-15 tak disiarkan stasiun televisi. Padahal saat itu tim sepak bola Maluku tengah adu pinalti dengan tim sepak bola DKI Jakarta. 

Bagi warga Maluku, tim sepak bola mereka bisa maju babak final Indonesia Cup U-15 sungguh membanggakan. Suatu kabar baik di tengah ketegangan paska konflik agama antar Islam dan Kristen yang terjadi sekitar tahun 1999. Perjalanan tim muda ini tak serta merta. Ini sebuah kisah mengenai mengatasi perbedaan dan melumat dendam primordial. 

Adalah Sani Tawainella (Chicco Jericho), mantan atlet sepak bola yang gagal masuk uji PSSI Baretti. Sani balik ke desanya di Tulehu dan memilih bekerja sebagai tukang ojek. Di tengah situasi konflik Maluku merebak, ia bertekad menyelematkan anak-anak desanya. Salah satu cara yang ditempuh yakni lewat sepak bola.

Sekian tahun melatih sepak bola anak-anak korban konflik, bukan berarti hidup Sani tanpa masalah. Ia dihadapkan permasalahan keluarga dengan kecintaannya kepada sepak bola. Bagaimana tidak, guna menghidupi dapur keluarganya tak cukup, Sani mesti harus menyisihkan waktu melatih tim kecilnya ini. 

Tersaruk-saruk mengatasi segala persoalan yang ada, akhirnya Sani dan anak-anak didiknya bertemu kesempatan ikut Kejuaraan Nasional U-15. Di tengah sentimen negatif warga Muslim dan Kristen di Maluku yang masih menegang, Sani berdiri di antaranya. Ia mesti memadamkan api dendam di hati beberapa anak didiknya. Sani mulai mengenalkan mereka mengenai arti bersatu, menjadi Maluku. Bukan Tulehu, bukan Passo. Bukan Islam, bukan juga Kristen.

Film Cahaya Dari Timur; Beta Maluku berurai dari kisah nyata. Angga Dwimas Sasongko, sutradara tak sengaja menemukan Sani saat berkeliling Maluku untuk keperluan syuting tahun 2007. Terinspirasi atas apa yang dilakukan Sani, Angga bertekad membuat film tentang dirinya. Selama dua tahun ide cerita ini diedarkan ke beberapa rumah produksi tetapi di tolak. Hingga akhirnya Glenn Fredly dan dibantu sejumlah pihak bersedia menjadi produser bersama dengan Angga.

Ini tampaknya merupakan proyek film idealis Angga dan Glenn. Proses produksi yang memakan waktu cukup lama berbuah manis. Angga cemerlang mengelaborasi visual dan karakter masing-masing tokohnya sebagai kesatuan yang padu. Alam indah bumi Maluku tergambarkan dengan sangat baik. Campur baur dengan kehidupan asli masyarakat Tulehu.

Akting para pemain juga apik dan alamiah. Chicco Jericho yang baru kali pertama main di film layar lebar tampil memukau. Sosok Sani sukses dibawakannya. Para pemeran anak-anak tim sepak bola Maluku ini juga menawan. Mereka adalah orang asli Maluku yang di casting oleh Angga dan diberikan pelatihan akting dari IKJ. 

Kecermelangan mereka dibantu oleh kekuatan naskah yang ditulis secara apik oleh putra Maluku sendiri, Irfan Ramly dan Swastika Nohara. Hampir 90 persen dialog yang dipakai dalam film adalah bahasa Maluku. Sehingga rasa yang terwakili adalah juga rasa menjadi Maluku.

Film berdurasi sekitar 150 menit ini bukan semata film tentang sepak bola. Bukan juga tentang sosok Sani dan keberhasilannya semata. Film ini adalah soal bertatap muka dengan keberbedaan dan mengatasi trauma. Film ini adalah suatu upaya rekonsiliasi paska konflik yang di alami Maluku. Menegaskan kembali bahwa kita semua satu, apapun latar belakangnya. Satu Maluku, satu Indonesia juga.